Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Serikat Petani Indonesia atau SPI menanggapi soal impor 200 ribu ton beras yang siap didatangkan pemerintah bulan ini. Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional Dewan Pengurus Pusat (DPP) SPI, Mujahid Widian menyayangkan kebijakan tersebut, terlebih nilai tukar petani (NTP) sedang menunjukan tren positif selama empat bulan terakhir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kalau sudah impor, yang harus diperhatikan ya nasib petani bagaimana? Terlebih lagi di awal tahun 2023 nanti beberapa wilayah sudah menyatakan akan panen raya,” kata Mujahid kepada Tempo, Selasa malam, 6 Desember 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NTP nasional pada November 2022 berada di angka 107,81 atau mengalami kenaikan 0,50 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Kenaikan tersebut, salah satunya disebabkan indeks yang diterima oleh petani (lt) mengalami kenaikan sebesar 0,66 persen lebih tinggi dari kenaikan indeks harga yang dibayar petani (lb) sebesar 0,15 persen. Selain itu, tren positif juga ditopang oleh membaiknya NTP perkebunan rakyat yang sempat anjlok beberapa bulan lalu.
Terhitung sejak Agustus 2022, NTP nasional terus mengalami peningkatan dan sudah mencapai nilai yang ditarget pemerintah yakni rentang 105 sampai 107. Secara khusus, kata dia, kenaikan NTP didorong oleh subsektor tanaman pangan.
Ia melanjutkan, NTP subsektor tanaman pangan pada bulan November 2022 mencatat kenaikan sebesar 0,02 persen disebabkan kenaikan indeks lt sebesar 0,22 persen lebih tinggi dari kenaikan lb sebesar 0,20 persen. Kelompok tanaman padi menjadi penyumbang terbesar kenaikan tersebut.
Menurut Mujahidin, hal itu terlihat dari kenaikan harga gabah dan beras saat ini, yang bahkan menurut BPS sudah mengalami inflasi selama lima bulan terakhir. Penyebabnya adalah terbatasnya panen pada akhir tahun sehingga memicu kenaikan harga.
"Persoalannya apakah ini secara langsung dinikmati oleh petani? Ini yang menurut kita di SPI tidak otomatis terjadi, karena stok gabah atau beras sudah tersebar baik itu di Bulog, pedagang, penggilingan maupun rumah tangga,” tuturnya.
Selanjutnya: Impor Beras Bukti Banyak Masalah Domestik karena ...
Ia menilai impor beras yang dilakukan pemerintah karena cadangan beras di Bulog tiris adalah berlarutnya persoalan pangan di Indonesia secara komprehensif. Pasalnya, permasalahannya sama dan terjadi berulang kali, yaitu soal perbedaan data antara kementerian maupun lembaga.
Padahal menurutnya, persoalan ini sudah diantisipasi dengan perbaikan-perbaikan data, seperti penggunaan data tunggal, sehingga terhindari dari tarik-menarik kepentingan.
Persoalan cadangan beras pemerintah, ucap Mujahid, seharusnya dapat diantisipasi lebih baik dengan melakukan beberapa perubahan kebijakan. Pertama adalah perubahan harga pembelian pemerintah (HPP). Menurut dia HPP sudah tidak relevan dan harus segera direvisi. Pasalnya, harga saat ini beserta persyaratan penyerapan Bulog yang cukup ketat membuat petani lebih memilih menjual tengkulak dibandingkan kepada Bulog.
Untuk itu, ia menyarankan Bulog bekerja sama dengan koperasi-koperasi petani untuk merancang skema penyerapan beras, dengan harga yang adil baik bagi petani maupun pemerintah.
Kedua, soal ketersediaan lahan pangan di Indonesia. Indonesia dinilai sedang dihadapkan pada laju konversi lahan pangan yang masif, oleh karenanya perlu upaya serius untuk mempertahankan lahan pangan yang ada. Meski ada UU Perlindungan Lahan Pangan Berkelanjutan, ia menilai implementasinya sangat lamban. Sebagai gambaran, lahan perkebunan sawit mencapai 20 juta hektar, sementara lahan pangan hanya 7 juta hektar. "Ini yang harusnya menjadi perhatian pemerintah,” ucapnya.
Sementara itu, Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi berjanji impor beras tidak akan mengganggu hasil panen petani. Alasannya, beras impor itu hanya akan digunakan untuk kegiatan pengendalian harga dan pemenuhan pangan di tengah kondisi darurat atau bencana melalui Perum Bulog.
“Kita pastikan betul beras komersial ini tidak akan mengganggu beras dalam negeri produksi petani," ucap Arief usai Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, Jakarta, dikutip melalui keterangannya pada Senin, 6 Desember 2022.
Adapun beras impor komersial itu merupakan persediaan akhir tahun ini sampai menunggu panen raya pada Februari hingga Maret 2023. Selanjutnya, pemerintah melalui Bulog akan menyerap hasil panen dalam negeri pada Februari hingga Maret 2023 hingga stok Bulog mencapai 1,2 juta ton sesuai target.
Menurutnya, stok cadangan pangan pemerintah (CPP) saat ini, khususnya beras, berada di posisi yang tiris. Sehingga perlu ditambah sebagai instrumen stabilisasi gejolak harga dan untuk mengantisipasi kondisi darurat. Kendati demikian, Arief menilai pemenuhan cadangan beras itu tidak serta-merta menunjukan produksi beras nasional tidak mencukupi.
Pasalnya, berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) hasil produksi dalam negeri surplus sekitar 1.7 juta ton.
Produksi beras nasional Januari hingga Desember 2022 pun diproyeksikan sebesar 31,90 juta ton. Sementara kebutuhan beras nasional tahun 2022 sekitar 30,2 juta ton, sehingga diproyeksikan mengalami surplus beras sekitar 1,7 juta ton.
Untuk memastikan akurasi dan kesiapan data stok beras nasional, akan dilakukan verifikasi di lapangan pada 31 Desember 2022. Survei akan dilaksanakan oleh Badan Pangan Nasional, BPS, Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan untuk mengetahui mengenai jumlah stok beras yang ada di seluruh Indonesia.
RIANI SANUSI PUTRI
Baca: Pemerintah Resmi Impor Beras 200 Ribu Ton, Bapanas: Hanya untuk Kegiatan Pemerintah
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini