Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Obat Asma Pendongkrak Daging

Kementerian Pertanian menemukan pemakaian zat penghilang lemak berbahaya pada pakan penggemukan sapi. Imbas persaingan ketat peternak raksasa.

29 Juni 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RAPAT Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia diwarnai perdebatan keras yang membuat perkumpulan pengusaha penggemukan sapi itu terbelah dalam dua kubu. Kubu pertama mengklaim tidak menggunakan zat penghilang lemak berbahaya pada pakan sapi. Kubu lain diduga memakai zat berbahaya bagi kesehatan manusia tersebut.

Dalam pertemuan yang berlangsung di kantor Asosiasi di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, akhir April lalu, itu muncul lontaran agar pengusaha pemakai zat berbahaya keluar dari Asosiasi. Tidak mau kalah, yang dituduh memakai "BA-2" menuding kubu lain sengaja mengembuskan kabar negatif karena kalah dalam persaingan bisnis.

Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia atau Apfindo adalah kumpulan peternak besar yang mengimpor sapi bakalan dari Australia. Bisnis mereka menggemukkan sapi dari bobot 250 kilogram menjadi sekitar 450 kilogram dalam jangka tiga-empat bulan. Johny Liano, Direktur Eksekutif Apfindo, membenarkan terbelahnya anggota Asosiasi. "Saya harus menetralisasi agar asosiasi ini tidak bubar," katanya kepada Tempo, Kamis pekan lalu.

Perseteruan dua kubu pengusaha itu buntut dari temuan Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner Kementerian Pertanian Akhmad Junaidi, yang mengungkap praktek pemakaian zat atau obat penghilang lemak dikenal dengan beta2-agonist (BA-2) pada pakan sapi. Ada banyak jenis obat golongan BA-2. Dalam pengujian tim Akhmad, sampel pakan dari sejumlah perusahaan penggemukan sapi terindikasi mengandung BA-2 jenis salbutamol dan clenbuterol.

Salbutamol dikenal sebagai obat untuk melegakan pernapasan, terutama buat penderita asma. Adapun clenbuterol digunakan untuk membakar lemak manusia. Akhmad mengatakan penggunaan salbutamol dan clenbuterol pada manusia diperbolehkan dengan dosis tertentu. Namun penggunaan dua obat itu pada hewan ternak dilarang pemerintah. "Kita tidak tahu berapa dosis yang dicampur dengan pakan ternak," ujarnya Selasa pekan lalu.

Kabar peternak memakai BA-2 mulai santer pada 2011. Terjadi pro-kontra pemakaian BA-2 di kalangan pengusaha. Menurut Akhmad, kebijakan setiap negara berbeda-beda terhadap pemakaian BA-2 untuk sapi. Negara yang membolehkan pemakaian BA-2 adalah Cina. Mayoritas negara, seperti Australia, masih melarang pemakaian BA-2. Bahkan Amerika Serikat, yang tadinya membolehkan, menurut Akhmad, belakangan melarang penambahan BA-2 ke dalam pakan.

Juan Permata Adoe, pemilik PT Bina Mentari Tunggal, salah satu perusahaan penggemukan sapi, menilai pro dan kontra muncul karena pemerintah tidak tegas menerbitkan aturan. "Silakan atur, BA-2 boleh atau tidak," katanya.

Akhmad membantah tudingan Juan. Ia mengklaim pemerintah telah melarang melalui Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan Nomor 18 Tahun 2009 dan dikuatkan oleh Surat Edaran Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Nomor 30059 Tahun 2011, yang isinya melarang pemakaian beta2-agonist. Akhmad beralasan, meski melarang, pemerintah belum pernah mengendus pemakaian zat terlarang ini karena uji laboratorium selalu ditujukan untuk mendeteksi antibiotik dan zat adiktif.

Memasuki awal 2015, kabar penggunaan BA-2 semakin kencang. Akhmad mulai menelisik praktek ini setelah mendengar desas-desus di kalangan pengusaha. Dengan kedok program sosialisasi, kunjungan, hingga pembinaan, "intelijen" Kementerian Pertanian mengulik sampel pakan ternak di setiap kandang pengusaha. Di 35 perusahaan, terkumpul 91 sampel selama Februari-Maret lalu.

Akhmad mengatakan tujuan mengambil sampel pada Februari-Maret karena sapi yang digemukkan pada masa itu siap dipanen pada Juni-Juli, yang bertepatan dengan Ramadan dan Lebaran. "Momentumnya pas," ucapnya.

Puluhan sampel itu diuji di Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Produk Hewan milik Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan di Bogor pada Maret lalu. Hasilnya, dari 35 perusahaan, sampel pakan milik 19 perusahaan terindikasi mengandung salbutamol atau clenbuterol.

Merujuk pada hasil itu, Akhmad memanggil semua perusahaan tersebut ke kantornya di Ragunan, Jakarta Selatan, pada 28 April lalu. Dari 42 perusahaan, 38 perseroan adalah anggota Apfindo. Seorang pengusaha anggota Apfindo mengatakan separuh anggota Apfindo terdeteksi memakai beta2-agonist.

Johny Liano, yang ikut hadir di ruangan Akhmad, mengatakan mayoritas anggota Asosiasi terkejut. "Semua kaget," katanya. Kendati terperanjat, tidak ada satu pun yang mengakui. Seorang anggota Apfindo mengatakan para peternak besar itu tahu sama tahu siapa yang memakai BA-2 dan tidak. "Yang memakai mana mungkin mengaku?" ujar anggota Apfindo itu.

Pemanggilan oleh Kementerian memicu kehebohan di kalangan internal Apfindo. Sehari setelah pertemuan dengan Akhmad Junaidi, Apfindo berkumpul di kantornya di Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Di sinilah mereka terancam terbelah menjadi dua kubu.

Johny mengatakan perdebatan itu lebih terkesan persaingan bisnis. Beberapa perusahaan berhasil menemukan formula pakan dengan hasil daging berkualitas. Ini membuat iri perusahaan lain yang kesulitan menemukan formula pakan maknyus untuk sapi.

Seorang pejabat Kementerian Pertanian mengatakan yang dimaksud perusahaan bisa meramu pakan berkualitas adalah dengan menambahkan beta2-agonist. Pemakaian bahan ini membuat konversi pakan menjadi daging lebih tinggi ketimbang tanpa pemakaian BA-2. Misalnya, tanpa menambahkan BA-2, konversi 1 kilogram pakan mampu mengerek tambahan bobot sapi sebesar 1 kilogram. Dengan penambahan BA-2, 1 kilogram pakan bisa menambah berat 1,5 kilogram.

Penambahan daging yang lebih tinggi disebabkan oleh sifat beta2-agonist yang menekan produksi lemak. Artinya lemak sapi dengan pakan mengandung BA-2 lebih sedikit dan dagingnya lebih banyak. Ini sangat menguntungkan secara bisnis karena konsumen domestik paling gandrung pada daging rendah lemak.

Peneliti Kementerian Pertanian yang juga praktisi peternakan sapi menghitung pemakaian beta2-agonist untuk satu ekor sapi bisa mendongkrak produksi daging hingga 25 kilogram. Dengan rata-rata harga daging sapi Rp 100 ribu per kilogram, tambahan 25 kilogram akan mengerek penghasilan peternak sebesar Rp 2,5 juta per ekor.

Pada 2015, kebutuhan daging mencapai 640 ribu ton. Para peternak raksasa ini mengantongi 350 ribu ekor sapi bakalan (untuk penggemukan) atau setara dengan 60 ribu ton daging hingga semester pertama. Penggunaan beta2-agonist, yang menambah penghasilan Rp 2,5 juta per ekor, membuat peternak dengan 100 ekor sapi bisa memperoleh tambahan pendapatan Rp 250 juta. Inilah yang membuat iri peternak yang tidak memakai BA-2.

Penolakan pengusaha terhadap hasil uji laboratorium, menurut Akhmad Junaidi, sudah diprediksi tim hukum Kementerian Pertanian. Alasannya, pengambilan sampel yang tidak sesuai dengan prosedur dan metode pengujian BA-2 yang belum baku.

Namun Akhmad tak begitu saja melempar handuk. Dokter hewan itu putar otak agar temuan anak buahnya tak sia-sia meski para peternak tak mengaku.

Dua hari setelah pertemuan pertama, Akhmad mengumpulkan kembali para peternak raksasa itu. Secarik kertas disodorkan kepada tiap pengusaha. Mereka diminta meneken surat pernyataan yang isinya berjanji tidak mencampur pakan dengan beta2-agonist. Semua pengusaha menekennya.

Tidak berhenti di situ. Akhmad juga meminta adanya audit internal dan eksternal yang disepakati pemerintah dan pengusaha. Audit internal adalah uji laboratorium yang sampel pakannya dipilih oleh peternak. Adapun sampel uji eksternal ditentukan pemerintah. Hasil keduanya akan ditandingkan.

Untuk audit internal, peternak menyodorkan 661 sampel kepada tim Akhmad. Sampel pakan sapi ini diuji di Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Produk Hewan dengan metode enzyme-linked immunosorbent assay (Elisa) atau kerap disebut uji kekebalan enzimatis. Akhmad mengatakan metode ELISA mampu mendeteksi BA-2 dalam konsentrasi rendah, meski sifatnya kurang sensitif dalam mengendus jenis BA-2.

Johny Liano menilai metode ELISA lemah. Alasannya, metode itu bisa menunjukkan hasil positif terhadap sampel yang sebenarnya negatif. Untuk mendapatkan hasil akurat, beberapa perusahaan mengirimkan sampelnya ke laboratorium di Singapura, Amerika Serikat, hingga Australia.

Akhmad menilai langkah peternak mengirim sampel ke laboratorium mancanegara itu bisa merepotkan timnya menerbitkan keputusan. Tidak ada pilihan, ia juga mengirimkan sampel ke Agri-food and Veterinary Authority atau Otoritas Pangan dan Kesehatan Hewan pemerintah Singapura.

Metode pengujian Otoritas Singapura menggunakan teknik liquid chromatography-mass spectrometry (LC-MS), yang berbeda dengan metode ELISA. Bagi Johny, metode LC-MS lebih akurat ketimbang ELISA.

Adapun Akhmad menilai LC-MS tidak bisa mendeteksi kandungan beta2-agonist dalam konsentrasi rendah. Dengan kelebihan dan kekurangan LC-MS dan ELISA, Akhmad mengingatkan hasil ELISA yang positif tidak bisa dimentahkan dengan hasil metode LC-MS yang negatif. "Jangan jadikan alasan bahwa hasil ELISA salah," katanya. "Tidak ada akurasi 100 persen."

Menurut Akhmad, hasil pengujian kedua ini baru mencapai 90 persen. Dari pengamatan acak, ada beberapa sampel tidak mengalami perubahan hasil seperti pengujian pada 91 sampel sebelumnya. Ada yang konsisten positif atau negatif. Namun, untuk menerbitkan keputusan akhir, Akhmad menunggu pengujian ketiga, yang akan selesai Juli mendatang.

Johny mengatakan hasil positif tidak otomatis membuat peternak bersalah. Alasannya, pakan ternak tak diproduksi oleh peternak, tapi disuplai oleh perusahaan pakan ternak. Kemungkinan jika benar-benar ada beta2-agonist, yang mengetahui zat itu adalah perusahaan pakan ternak. Agar tidak menjadi kambing hitam, Johny mengklaim sudah meneken kesepakatan dengan penyuplai bahwa pakan ternak yang dipasok bebas BA-2.

Juan Permata Adoe menilai keruwetan ini akibat regulasi yang longgar. Ia meminta pemerintah lebih tegas dengan menerbitkan larangan atau membolehkan penggunaan beta2-agonist. Menanggapi hal itu, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Muladno tidak mau ceroboh mengusulkan aturan baru menyikapi perkara ini.

Ia memilih menunggu kajian pakar pangan terkait dengan aman-tidaknya daging mengandung BA-2 dikonsumsi manusia. Hasil sementara dari anak buahnya yang menyebutkan puluhan pakan ternak milik perusahaan feedlot terdeteksi BA-2 tidak bisa dijadikan satu-satunya rujukan untuk menerbitkan keputusan, apalagi menjatuhkan sanksi. "Ini semua masih indikatif," ucapnya.

Akbar Tri Kurniawan


KEBUTUHAN SAPI 2015: 640 Ribu ton

IMPOR SAPI BAKALAN
Kuartal I: 100 ribu ekor setara dengan 18 ribu ton

Kuartal II:
250 ribu ekor setara dengan 43 ribu ton

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus