Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bahwa rupiah makin jeblok, itu bukan cerita baru. Bahwa kurs rupiah mencapai rekor terendah, itu juga bukan lagi istimewa. Namun, yang membuatnya jadi khusus, jatuhnya rupiah kali ini bukan karena sebab-sebab yang jelas. ''Merosotnya rupiah kali ini tak bisa dimengerti," kata Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri Kwik Kian Gie.
Menurut Menteri Kwik, landasan perekonomian kita sangat oke. Nilai ekspor bulan Maret lalu hampir mencapai US$ 5 miliar, sebuah rekor tertinggi dalam sejarah perekonomian Indonesia. Surplus perdagangan meningkat, cadangan devisa melonjak hingga melebihi tujuh bulan kebutuhan impor, inflasi terkendali, jauh di bawah ''target" lima persen.
Tapi mengapa rupiah bonyok? Sejumlah orang menyebut banyak sebab. Misalnya pernyataan Gus Dur seolah-olah ada komplotan terencana yang akan menghabisinya. Ada pula yang menyebut, jatuhnya rupiah disebabkan oleh tingkat kepercayaan terhadap Gus Dur mulai luntur. Kompetensi pemerintahan Gus Dur dalam membenahi perekonomian, kata seorang dealer pasar valuta asing, juga mulai diragukan pasar. Selain itu, ini yang cukup berat, ''Ada petunjuk," kata seorang pejabat pemerintah, ''penyakit menahun nepotisme jalan terus, bahkan juga pada kerabat Presiden."
Sayang, di antara begitu banyak jawaban, tak satu pun yang bisa mengatakan seberapa besar bobot pengaruh setiap faktor. Satu-satunya alasan yang bisa dilihat dalam jangka pendek adalah rencana Sidang Dewan Gubernur Bank Sentral AS menaikkan suku bunga dolar, 16 Mei ini. Hampir semua pelaku pasar sepakat, The Feds akan mendongkrak bunga dolar setengah persen lebih tinggi agar laju perekonomian AS tak terlalu kencang.
Betul, rencana kenaikan suku bunga dolar itu sudah lama dicium pasar. Tapi, menurut Direktur Treasury Bank Buana, Pardy Kendy, kenaikan suku bunga dolar menekan rupiah dari dua sisi. Bagi para pemain uang, kenaikan bunga dolar memperbesar benefit tabungan dolar. Dengan suku bunga deposito dolar 7,5 persen dan swap (premium yang dibayar untuk membeli dolar tahun depan) 4-5 persen, para penabung deposito rupiah (yang bunganya cuma 11 persen) tak lagi mendapat insentif.
Selain itu, penerima pinjaman dolar juga ketar-ketir. Rencana kenaikan suku bunga dolar memperbesar biaya cicilan. ''Ini mendorong mereka memborong dolar," kata Pardy.
Pertanyaannya sekarang: apakah gerak jatuh ini akan tertahan? Hampir semua pengamat dan pemain pasar uang yakin, di posisi Rp 8.500 saat ini, rupiah sudah dihargai terlalu murah. Karena itu, di atas kertas, harga rupiah mestinya akan naik mendekati nilai keseimbangannya. Lucunya, tak seorang pun pemain pasar valas ini yang berani meramal kurs rupiah akan segera naik.
''Sayang memang," kata seorang bankir asing, ''tak ada berita yang bisa menjadi sumber tenaga pendongkrak." Kalaupun ada, paling banter soal pencairan utang dari Dana Moneter Internasional senilai US$ 400 juta yang sudah hampir pasti itu. Dan karena sudah diramalkan, daya dorong pencairan utang ini terhadap rupiah tidak akan kuat.
Secara teknis, awal pekan ini, kurs rupiah terhadap dolar AS akan bergerak di antara koridor Rp 8.300 dan Rp 8.500. Artinya, kata seorang bankir asing, begitu harga dolar mendekati batas bawah, orang ramai-ramai memborong, dan sebaliknya, ketika dolar mulai naik mendekati batas atas, orang akan mulai menarik untung dengan menjualnya. ''Tapi itu cuma batasan psikologis," katanya.
Bisa saja batas psikologis itu jebol pada menit-menit pertama transaksi Senin pagi ini. Jika tanggul atas bobol, kata seorang bankir asing, harga dolar akan melambung tak tertahankan sampai ke Rp 9.000. Di sana, pasar akan mengetesnya kembali. Jika batas itu kembali ambrol, masa-masa harga dolar belasan ribu rupiah sudah membayang di depan mata.
Cuma, jangan terlampau kecut. Andai saja Gus Dur berani melakukan gebrakan politis, misalnya, menangkap Soeharto, gerak sebaliknya akan terjadi. Dengan obat kuat ini, nilai tukar rupiah akan menanjak hingga harga dolar di bawah Rp 8.000.
Dwi Setyo, Dwi Wiyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo