Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Freeport Dua Bulan Lagi? |
Kegiatan penambangan PT Freeport Indonesia boleh jalan terus. Tapi, dengan satu syarat: Departemen Pertambangan dan Energi melarang Freeport membuang limbah batuan penutup (overburden) ke Danau Wanagon.
Keputusan Jumat lalu itu menempatkan perusahaan tambang emas terbuka (open pit mining) terbesar dunia itu dalam posisi yang sulit. Di sebelah timur Grasberggunung yang ditambang Freeportterdapat cekungan Cartenszweide. Namun, ''danau" ini tak cukup besar. ''Dua bulan saja bakalan penuh," kata seorang anggota Tim Inspeksi Tambang yang datang ke lokasi. Padahal, masa konsesi Freeport jalan terus sampai 2041.
Danau Wanagon menjadi kawasan ''verboden" setelah jebol dua pekan lalu. Menurut Tim Inspeksi Tambang dari Departemen Pertambangan, gara-gara hujan tak kunjung henti, 750 ribu kubik batuan bercampur air Wanagon longsor dan menghanyutkan tujuh orang. Tiga orang selamat, empat lainnya lenyap. Selain itu, sejumlah ternak dan rumah penduduk sekitar danau tersapu habis.
Ini ''kecelakaan" kedua bagi Wanagon setelah dua tahun lalu juga jebol oleh hujan. Daerah di dataran tinggi Papua itu memang labil, sering kena gempa dan curah hujannya tinggi. Tanpa tanggul yang memadai, Wanagon, yang terus diuruk bebatuan ratusan ribu ton, itu setiap saat harus siap ketiban sial.
Freeport sendiri tampak seperti menerima vonis itu dengan patuh. Jika Wanagon dilarang dipakai, ''Banyak tempat lain yang bisa dijadikan kubangan limbah," kata Siddharta Moersjid, Humas Freeport. Ia tak menjelaskan ''kubangan" yang mana.
Tampaknya Freeport tahu betul daya tawarnya amat tinggi. Perusahaan yang berbasis di Louisiana, Amerika Serikat, itu selama tujuh tahun terakhir (sampai 1998) telah ''menyumbangkan" US$ 1,674 miliar dalam bentuk pajak, royalti, dan dividen kepada pemerintah Indonesia. Belum lagi, lapangan kerja dan denyut perekonomian yang tumbuh di sekitar pertambangan tampaknya terlampau besar untuk ditutup.
Selain itu, perusahaan yang menjaring laba ratusan juta dolar setiap tahun ini juga cukup besarbahkan untuk ukuran Amerika Serikat. Dengan sejumlah tokoh elite politik dalam jajaran pejabat tinggi Freeport McMoran Copper and Gold, induk Freeport di AS, agaknya perusahaan ini tak gampang digusur begitu saja.
Jangan kaget kalau mantan Menteri Luar Negeri Henry Kissinger atau bahkan Menteri Luar Negeri Madeline Allbright tiba-tiba terbang ke Jakarta.
Indorayon, eh, Indopulp |
PT Inti Indorayon Utama harus berganti nama. Sidang kabinet Rabu lalu memutuskan, perusahaan kontroversial itu harus menanggalkan unit rayon dan tinggal menyisakan pabrik bubur kayu (pulp) saja. Tanpa alasan jelas, sidang kabinet menyimpulkan, produksi rayon dianggap lebih mencemari lingkungan ketimbang pulp
Dengan keputusan itu pun, Indorayon belum bebas ''merdeka". Mereka terus diawasi dengan syarat-syarat lingkungan yang lebih ketat. Tiap tiga bulan, mereka harus melaporkan pemantauan dan pengelolaan lingkungan kepada Bapedal. Jika dalam tempo setahun Indorayon tetap mencemari, kata Menteri Lingkungan Hidup Sonny Keraf, ''Kita akan mengambil keputusan final." Maksudnya, Indorayon ditutup selama-lamanya.
Hilangnya unit rayon Indorayon akan melenyapkan 60 ribu ton produk rayon per tahun. Dengan harga jual rayon US$ 1.000 per ton, anak perusahaan Grup Raja Garuda Mas itu akan kehilangan pendapatan US$ 60 juta. Indonesia juga akan banyak kehilangan devisa karena 70 persen produksi rayon Indorayon diekspor ke Eropa.
Komisaris Utama Indorayon, Palgunadi Setiawan, menilai penutupan ini berbau politik. Menurut Palgunadi, bahan baku Indorayon yang dipasok dari hutan tanaman sendiri telah membuat keder produsen rayon lain. Indorayon bisa memanen eucaliptus (tanaman bahan baku rayon) setiap lima tahun. Sementara itu, hutan di Eropa baru bisa dipangkas setelah 12 tahun. ''Jelas, mereka takut," katanya.
Si Kecil Ingin Kuota |
Dunia usaha terkadang ganjil. Jika diatur, mereka ingin bebas. Tapi, begitu dibebaskan, eh, malah minta diatur lagi. Soal kuota tekstil menunjukkan gejala anomali seperti itu.
Menteri Perindustrian dan Perdagangan Luhut Panjaitan pekan lalu menyatakan, mulai tahun depan, kuota ekspor tekstil akan ditenderkan. Keputusan ini diambil untuk menghindari adanya dugaan kolusi yang muncul kalau kuota dibagikan secara tertutup seperti selama ini. Harap maklum, nilai kuota ekspor memang tak kecil. Menurut penasihat Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Chamroel Djafri, dari US$ 10 miliar ekspor tekstil tahun lalu, separuhnya berasal dari kuota.
Lelang kuota ini sebenarnya bisa menjadi ajang latihan bagi pengusaha menjelang perdagangan bebas tahun 2004. Saat itu, sistem kuota bakal dihapuskan. Namun, menurut Chamroel, saat ini pemerintah justru harus tetap membagi kuota kepada pengusaha kecil dan menengah agar ''Menolong mereka mandiri." Sistem pasar bebas, katanya, cuma cocok untuk pengusaha besar yang sudah lebih siap.
Royalti Pertambangan Naik |
INI aba-aba untuk industri tambang yang mau masuk Indonesia. Sejak akhir pekan lalu, pemerintah menaikkan royalti untuk setiap mineral dan logam yang dikeruk. Nilai royalti emas, misalnya, naik tiga kali lipat dari 1-1,5 persen menjadi 3,75 persen. Royalti perak juga naik dua kali lipat dari 2 menjadi 4 persen.
Keputusan ini diambil karena nilai royalti lama dianggap sudah tak pantas lagi dengan kondisi perekonomian Indonesia. Royalti baru itu nantinya hanya akan dipakai untuk kontrak karya baru. Sedangkan perusahaan yang sudah jalan tetap memakai tarif lama.
Apa pun alasannya, kenaikan tarif ini dikritik Indonesian Mining Association (IMA). Bagi IMA, kenaikan royalti akan menghambat masuknya investasi pertambangan ke Indonesia. ''Apalagi masalah keamanan belum terjamin," kata B.M. Wahju, Ketua IMA. Ia yakin, untuk menghindari tarif baru ini, para investor akan memilih negara lain yang bebas royalti (sayangnya, mineral di bumi Indonesia tak bisa dikeduk dari negara bebas royalti itu).
Duit Malaysia di Jalan Tol |
BERBAHAGIALAH para pemakai jalan. Proyek jalan tol lingkar luar Jakarta atawa Jakarta Outer Ring Road (JORR), yang sudah hampir setahun mandek, akan segera dilanjutkan. Rencananya, menurut Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Cacuk Sudarijanto, Juli nanti, pemasangan tiang pancang jalan tol ini akan dimulai kembali.
Proyek mahal ini bisa digelar lagi dengan masuknya empat investor swasta dari Malaysia. Mereka bersedia menyiapkan dana US$ 500 juta untuk konstruksi, plus Rp 680 miliar guna pembebasan tanah. Nantinya, mereka akan membentuk perusahaan patungan dengan BPPN.
Lalu, bagaimana nasib investor lama, Mbak Tutut dan kawan-kawannya dulu itu? Belum lagi jelas. Tapi, tampaknya, pemerintah akan berbaik hati. Menurut Cacuk, mereka akan diberi saham sebesar 10 persen, ''Sebagai goodwill." Baguslah, asal itung-itungan-nya wajar dan adil.
Jual Murah Bank Central Asia |
BANK swasta terbesar di Indonesia, Bank Central Asia (BCA), akhirnya dijual dengan harga murah. Menurut Kepala BPPN Cacuk Sudarijanto, setiap saham BCA akan dilepas pada harga Rp 1.400. Harga jadi ini termasuk dalam batas bawah dari kisaran Rp 1.350-Rp 1.700, yang semula diperkirakan.
Tampaknya, jurus jual obral ini tak bisa dihindari. Penjualan saham BCA, sialnya, bersamaan dengan kurang sedapnya kabar-kabar tentang Indonesia. Kendati transaksi perdagangan oke, ekspor menanjak, dan cadangan devisa meningkat, nilai tukar rupiah cenderung terperosok terus dalam dua pekan terakhir. Selain itu, investor luar negeri mengkhawatirkan situasi politik. ''Mereka lebih banyak menanyakan situasi politik ketimbang kondisi BCA," kata Cacuk sepulang dari road show menjajakan saham BCA di luar negeri.
Dilihat dari ukuran nilai buku (ukuran yang biasa dipakai untuk menilai harga saham bank), harga saham BCA saat ini mencapai 0,8 kali nilai buku. Ini jauh lebih murah ketimbang bank-bank lain di bursa Jakarta, yang dijajakan dua sampai tiga kali nilai buku. Tapi, dibandingkan dengan bank-bank di Thailand dan Korea, saham BCA tidaklah tergolong murah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo