Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagi Indofood, ekspansi ini merupakan suatu tikungan nasib. Sampai satu tahun lalu, para pengelola Indofood pusing kepala memikirkan beban utang US$ 773 juta atau hampir Rp 6 triliun. Sekitar US$ 400 juta dari tagihan itu harus dilunasi pada Juni ini. Merasa tak punya pilihan, mereka memutuskan untuk menjual salah satu harta terbaiknya: kilang penggilingan gandum terbesar di Asia, Bogasari.
Sayangnya (atau justru untung?), Bogasari tak juga ketemu pembeli. Boleh jadi, itu karena Indofood terlalu jual mahal atau terlampau "sayang" kepada Bogasari. Lalu, bagaimana dengan pembayaran utang? Itulah hebatnya: di tengah-tengah krisis, penjualan Indofood malah terus menanjak. Akhir tahun lalu, industri makanan terpadu itu berhasil menyisakan uang kas Rp 2,8 triliun.
Dana "nganggur" segede itu cukup untuk menebus kontrak swap dolar guna melunasi utang yang jatuh tempo. "Kami tak perlu lagi buru-buru menjual Bogasari," kata Direktur Utama Indofood, Eva Ryanti Hutapea. Kilang tepung terigu itu tetap akan dijual, tapi nanti-nanti kalau sudah ketemu cara terbaik yang memberinya peluang dilepas dengan harga termahal. Tampaknya Eva mencoba meyakinkan publik bahwa tanpa menjual Bogasari pun, posisi keuangan Indofood cukup aman untuk melunasi utang, bahkan untuk menambah utang baru.
Tingginya kemampuan finansial ini sebenarnya sudah tampak dari hebatnya peringkat surat utang yang diberikan Pefindo. Menurut lembaga pemeringkat efek itu, obligasi Indofood menjala rating AA + (dobel A plus), peringkat tertinggi yang pernah diraih perusahaan di Indonesia. Sebelumnya, rekor tertinggi adalah A +, satu tingkat di bawah Indofood, yang didapat perusahaan negara PT Jasa Marga. Itu artinya, tingkat risiko obligasi ini amat rendah atau, dengan kata lain, Indofood "dijamin" mampu melunasi utang-utangnya.
Persoalannya sekarang: kalaupun tak mengancam posisi keuangan, apakah ekspansi yang dibiayai utang ini sudah mendesak? Ada banyak pendapat.
Sebagian besar analis pasar modal percaya, ekspansi Indofood hukumnya fardlu alias wajib. Dengan pabrik-pabrik dan kebun yang ada saat ini, pertumbuhan Indofood sudah mentok. Dalam hal minyak sawit, misalnya. Dengan kilang yang ada sekarang, Indofood cuma memasok 40 persen kebutuhan minyak sawitnya. Karena itu, menurut analis SocGen Global Equities, Erwan Teguh, pilihan untuk membangun industri minyak sawit baru di Dumai, "Sangat rasional."
Begitu juga keputusan untuk merelokasi sekaligus menambah kapasitas industri makanan bayi di Bogor. Kapasitas produksi makanan bayi Indofood saat ini sudah terpakai hampir 90 persen. Dengan "pesanan" baru dari UNICEF, badan PBB yang mengurusi kesejahteraan anak-anak, Indofood perlu memompa produksinya lebih kencang lagi.
Tapi, Wilianto Ie, seorang analis perusa-haan sekuritas asing, punya pendapat lain. Ekspansi memang penting. Tapi, alangkah baiknya jika tidak saat ini ketika kondisi keuangan Indofood belum stabil. Ibaratnya, "Baru napas sedikit, sudah mau ngutang lagi," katanya. Ia menyarankan agar Indofood menggelar hajatnya tahun depan ketika arus kasnya benar-benar aman, beban utangnya sudah lunas, dan duitnya menumpuk di bank.
Selain itu, ada sejumput kekhawatiran lain. Sudah lama kelompok Salim yang dikomandani Om Liem ini dikenal jago dalam rekayasa keuangan. Dengan jurus akuisisi internal, memindahkan anak perusahaan dari satu tangan ke tangan yang lain, Salim banyak mengeruk keuntungan pribadi. Ekspansi Indofood kali ini tak lepas dari jurus-jurus lama yang terkenal itu. Pabrik mi di Arab Saudi dan pabrik susu Indomilk yang diincar Indofood adalah kekayaan pribadi Salim yang akan dioper ke perusahaan publik.
Apakah publik, lagi-lagi, harus dibebani biaya ekstra untuk menggemukkan kantong pribadi Salim?
Nugroho Dewanto, Dwi Arjanto, Leanika Tanjung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo