BERBICARA tentang bisnis eceran di Indonesia, Kumhal Djamil spontan mengakui bahwa, "Banyak yang masih harus kita lakukan." Dirjen Perdagangan Dalam Negeri ini merencanakan kerja sama dengan LP3ES, dalam upaya pembinaan pengecer kecil. Mengapa? Dia memikirkan 800.000 pedagang kecil yang katanya harus jadi ujung tombak produsen. Menurut Kumhal, masalah pengecer kecil ini amat mendesak, karena mereka harus bersaing dengan pedagang modern. Secara tak langsung ia mengakui bahwa pengecer kecil itu mulai terancam. Tapi pedagang modern, yang diduga merupakan ancaman itu, ternyata juga ketar-ketir berhadapan dengan sesama saingan mereka. Singkat kata, bisnis eceran modern berada dalam situasi jor-joran, saling jegal, saling hajar. Jor-joran paling seru terjadi sejak akhir Maret hingga awal April di Medan, ketika Matahari Department Store menginjakkan kakinya di sana. Caranya mempromosikan diri memang luar biasa. Di samping iklan besar di media cetak, hampir di semua jalan protokol, terpampang spanduk, bertuliskan "Jangan Belanja sebelum 1 April". Dan itu belum semua. Selama seminggu sebelum peresmian, 100 becak bermotor dikontrak untuk ditempeli papan iklan. "Setiap becak kami bayar Rp 4.000 per hari," kata Darmanto, Manajer Matahari di Medan. Lalu, empat hari menjelang 1 April -- saat pembukaan itu -- sebuah pesawat meraung-raung di atas Medan, menebarkan selebaran. Isinya, "Simpan uang Anda... Tunda acara shopping... Tunggu kejutan dari Jakarta. Ada yang akan menjadi terbesar di Medan." Sungguh sangat menantang. Dan membuat orang penasaran. Tapi masih disusul iklan yang berbunyi, "Sejak 1 hingga 3 April, kepada pembeli diberikan discount 20 persen." Itulah jurus terakhir yang dianggap telak untuk merebut hati calon pembeli. Matahari rupanya habis-habisan, untuk cabangnya yang ke-26. Yuki, salah satu department store di Medan yang terbilang berhasil, tak mau tinggal diam. Dalam waktu hampir bersamaan ia juga membuka cabang, seatap dengan Matahari di Thamrin Plaza. Untuk itu, Yuki melayangkan jurus pamungkas. Ia mendahului Matahari, membuka pintunya pada 24 Maret silam. Selain pemasangan umbul-umbul di sekitar Thamrin Plaza, sebuah iklan dipasang seakan menjawab iklan-iklan yang ditembakkan Matahari. "Tunggu apa lagi? Berbelanjalah sekarang! Kami sudah buka." Jadi, kalau Matahari menyuruh menunggu, Yuki justru sebaliknya. Itulah sekelumit gambaran tentang persaingan antar-department store, yang di awal 1989 ini semakin nenjamur. Jor-joran semacam itu terjadi di banyak kota, tapi pelakunya adalah department store yang bermodal kuat. Sementara itu, yang pas-pasan cukup menonton dari luar. Potongan harga 20 persen benar-benar promosi hebat. Di Matahari Medan itu pengunjung membludak, sampai masa penjualan diperpanjang, dari pukul 22.00 menjadi pukul 22.45. "Dua kali lagi saja ada promosi gila-gilaan seperti itu. Saya kira akan banyak department store di Medan yang gulung tikar," kata Makmur Amdalu, Manajer Pemasaran Yuki . Perkara promosi bagi Hari Darmawan -- pemilik merangkap direktur utama Matahari Group bukanlah soal enteng. Ia tampaknya begitu yakin, itulah salah satu faktor yang mengangkat Matahari hingga mampu meraih omset Rp 180 milyar setahun. Makanya, uang yang disediakan untuk promosi mencapai Rp 5 milyar setahun. Dana tersebut seluruhnya diatur sendiri. Mulai dari mencetak selebaran, iklan di media cetak, hingga fashion show. Jadi, Matahari tak menggunakan jasa perusahaan iklan, seperti banyak dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar. Kepercayaan pada kekuatan sendiri juga terlihat di bagian lainnya. Dalam mendesain mode, misalnya, Hari hanya mengandalkan kemampuan Susiawati Darmawan, anak perempuannya yang menimba ilmu fashion di New York. Ia sadar, posisi fashion designer bagi department store merupakan salah satu kunci keberhasilan. Tapi sampai kini ternyata, "cukup dengan desainer kami sendiri" kata Hari, yang menguasai 50% saham Matahari Group sisanya dikuasai oleh istrinya. Dalam pengadaan barang, Matahari, yang awalnya hanya sebuah toko kecil di tahun 1958, tidak tergantung penuh pada pemasoknya yang berjumlah sekitar 2.000. Di Bogor sebuah pabrik garmen yang cukup besar (mempekerjakan 600 karyawan) siap menyuplai etalase-etalase induk perusahaannya. Di segi manajemen, kendati mendapat bantuan teknis dari Keio Department Store di Jepang, Hari lebih banyak belajar sendiri. Ia, misalnya, sering terlihat bolak-balik ke Jepang dan Amerika untuk mempelajari jurus-jurus canggih bisnis eceran. Salah satu konsep utama yang dipeolehnya -- adalah, department store tidak boleh terlalu kecil. Tapi juga tak bagus kalau terlampau besar. Kini, hasilnya boleh dicemburui. Ada 26 Matahari mempekerjakan sekitar 10 ribu karyawan. Plus total investasi Rp 260 milyar. Tapi angka itu mungkin hanya mcrupakan jumlah minimal. Sebab, Hari ada mengatakan, setiap pembukaan cabang baru, dibutuhkan sedikitnya Rp 10 milyar. Untuk apa? Nah, ini satu jurus lagi. Ternyata, Matahari tidak terlampau mengandalkan bangunan milik sendiri. Dari 26 cabang itu hanya 30% yang menggunakan gedung milik sendiri. Sisanya cukup menyewa (seperti yang di Medan itu). Sedangkan dana yang ditanamkan, selain untuk membeli barang dagangan -- barang konsinyasinya tak pernah melebihi 15% dari yang dipajang -- lebih banyak digunakan untuk promosi dan biaya dekorasi. Bayangkan, untuk peralatan toko (seperti manekin, rak, gantungan baju, dan etalase) saja setiap cabang menghabiskan Rp 1,5 milyar. Tapi nyaman dan menarik belum merupakan jaminan sukses. Kenapa? Biasanya, "kegagalan di bidang retail di sini karena soal manajemen," kata Hari. Bukan orang saja yang perlu dikelola agar menjadi profesional, tapi juga (terutama) barang dijajakan. Di ini Hari bertindak ketat. Barang yang masuk dari pemasok, misahlya, paling lambat tiga jam harus sudah dipajang. Gudang Matahari pun tidak mentolerir barang yang ngendon di sana lebih dari tiga hari. "Sebab, kelambatan memajang dan penumpukan di gudang akan menurunkan keuntungan sampai 1,5% ," ujarnya. Tidak besar tapi itulah, membahayakan. Sebab, persentase keuntungan bersih yang diperoleh department store juga tidak besar -- kendati nilai rupiahnya cukup menggiurkan. "Jadi, bisa dibayangkan, kalau sekalinya kami rugi, ya rugi besar," kata Hari, yang mengaku tak semua tokonya mendatangkan keuntungan. Bicara soal diskon tampaknya tak semua pengusaba eceran menyukainya. "Kami takkan melayani perang diskon," kata Amdalu dari Yuki. Toh Yuki dan rekan-rekan seprofesinya -- di Medan ada 9 department store yang berkomunikasi baik -- gelisah melihat gaya menjual Matahari. Suara senada bergaung di Jakarta. Dengan 4 department store yang berebutan porsi, persaingan jadi lebih ketat lagi. Maka, jangan heran kalau obral dan diskon merajalela. Namun, di sela-sela persaingan yang sengit, toh ada yang pantang berdiskon ria. "Sebenarnya, pembeli yang datang ke department store itu mencari kepuasan dari pelayanan, harga bukan masalah," kata Ronny, Manajer Ramayana di bilangan Palmerah, Jakarta. Seperti halnya Matahari, Ramayana, yang juga memakai nama Robinson, termasuk department store yang sukses, yang akhir bulan lalu mulai mengoperasikan cabangnya yang ke-10. Pengecer lain, yang juga tergolong sukses tapi belum begitu terkenal, adalah tiga bersaudara Kumbo, Hembo, dan Rimbo. Menyadari adanya kekuatan-kekuatan yang berlaga, mereka berusaha menghindar dari bentrokan. Caranya, dengar menggeser sasaran ke segmen pasar lain yang masih sepi dari persaingan. Di Jakarta dan sekitarnya, misalnya group ini menyebar di daerah seperti Tanjung Duren (Jakarta Barat), Kebon Jeruk, Kalimalang, dan Bekasi (4 daerah yang jauh dari raksasa seperti Matahari). Mau tidak mau, "kita harus mempertimbangkan lokasi dan daya beli yang ada dengan cermat," kata Fredy Zakaria, salah seorang manajernya. Dan hasilnya, walau tak mencolok, tidak mengecewakan dengan omset total (dari delapan departmen store) Rp 2 milyar sebulan. Tapi, seperti halnya Ramayana Group, "kami bukan toko diskon. Kami hanya menjanjikan kualitas barang dan kenyamanan berbelanja," ujarnya. Persaingan tampak juga d kota-kota besar lainnya seperti Surabaya, Bandung, Yogya, dan Malang. Tapi, kecuali Malang, di kota-kota itu pun Matahari tetap dianggap sebagai pesaing yang berat. Di Yogya, misalnya, semula Gardena-lah yang primadona. Tapi ketika department store itu berhenti operasi tahun 1987-1988, karena kebakaran, Matahari membuka cabang di sana. Untunglah, Gardena mempunyai kocek yang tebal. Dengan berani dia pun melayani persaingan bergaya diskon dan berhadiah (di Yogya, hampir setiap toko besar memakai sistem promosi ini). Sehingga N.Z.A. Manuputty, General Manager Gardena, begitu optimistis. "Kalau tak terkena musibah kebakaran, saya yakin bisa mencapai omset Rp 1 milyar sebulan," ujarnya. Sekarang omsetnya rata-rata baru Rp 500 juta. Di Semarang, primadonanya adalah MM alias Mickey Mouse. Bermula dari toko seluas 40 meter persegi (1972), kini MM berhasil meraih omset Rp 1,5 milyar sebulan. "Naik 15% jika dibandingkan tahun lalu," kata Alvin Lie, Managing Director MM. Kalau melihat angka-angka penjualan seperti itu, bisa dibayangkan betapa besar omset total semua department store yang ada di Indonesia. Tapi jangan kaget kalau angka-angka itu ternyata baru seujung kuku para pendahulunya. Sears & Roebuck Company, jaringan retail business terkemuka di Amerika, misalnya, berhasil menarik 70% penduduk AS sebagai konsumennya. Omsetnya di tahun 1987 mencapai 44,3 milyar dolar (sekitar Rp 78 ribu milyar), dengan laba 1,45 milyar dolar (Rp 2.544 milyar). Sedangkan K-Mart, saingan terberat Roebuck, dengan 2.000 department store, beromset total 24,2 milyar dolar. Konsepnya? "Saya mengahabiskan waktu 1957-1958 berkeliling dunia, untuk mencari cara baru berdagang eceran," kata Bernard Failber, pimpinan K-Mart. Gaya Jepang lain lagi. AS cenderung main kecil, tapi Jepang lebih suka main besar. Maksudnya, depato (demikian orang Jepang menyebutnya) di sana banyak memakan tempat. Dua belas depato Seibu, yang menjadi leader di sana, memakai tempat 280 ribu meter persegi. Ini berarti, setiap depato menempati 23 ribu meter persegi lebih. Wajar kalau setiap harinya 12 depato Seibu bisa menarik 820 ribu pengunjung. Omsetnya pun tidak main-main, 344 milyar yen (sekitar Rp 4,4 trilyun) pada 1987. Itu baru dari satu depato saja, lho. Angka penjualan yang raksasa juga diraih oleh Mitsukoshi -- didirikan tahun 1673. Dari 14 jaringannya di dalam negeri, plus 16 cabang yang tersebar di Paris, Roma, London, New York, Frankfurt, dan kota-kota dunia lainnya, tahun lalu tercatat angka penjualan 643 milyar yen (Rp 8.356 milyar). Depato terkenal lainnya seperti Isetan. Takashima, Daimaru, dan Sogo juga mencatat omset besar. Sehingga, tidaklah aneh kalau depato di Jepang maupun AS dijadikan salah satu tolok ukur pertumbuhan ekonomi negara. Bagaimana depato di Indonesia? "Kita masih baru," kata Menteri Perdagangan Arifin Siregar. Maksndnya, depato di Indonesia baru tahap pertumbuhan awal, ketika BUMN Sarinah didirikan tahun 1963. Jadi, tidak mengherankan kalau terjadi gejolak dan riak. Dalam proses ini, akan tumbuh banyak depato, seiring matinya depato-depato lain yang tak mampu bersaing.Budi Kusumah, Yusril Djalinus, Bachtiar Abdullah, Muchsin Lubis,I Made Suarjana, Zed Abidin, Bandelan Amarudin, Ida Farida, M. Baharun, Joko Daryanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini