DI suatu pagi April yang lalu sesuatu yang luar biasa terjadi
di sekitar Hotel Inter-Continental di Jenewa. Beberapa
anggota polisi bersenjata lengkap kelihatan berjaga di
sekeliling hotel. Kabar yang tersiar menyebutkan bahwa malam itu
akan menginap saudara Sultan Kuwait - yang katanya minta
pengawalan khusus dari pihak polisi. Tapi keesokan harinya tak
urung berita pecah bahwa rupanya di hotel tersebut baru dimulai
salah satu sidang OPEC terpenting, sidang yang untuk pertama
kalinya diadakan di luar markas besarnya di Wina. Tiga bulan
sebelumnya di Wina segerombolan teroris menyerbu markas besar
OPEC, tempat sidang tingkat menteri berlangsung. Waktu itu tiga
orang tewas dan delapan menteri minyak menjadi sandera. Dan
itulah sebabnya penjagaan ketat --termasuk buat Menteri Sadli,
dari Indonesia, yang agak kikuk juga: dari pesawat sampai hotel
delegasi Indonesia dikawal dengan dua tank.
Dalam Hotel Inter-Continental itulah dibicarakan pokok-pokok
yang akan jadi agenda pertemuan OPEC di Bali 27 Mei mendatang.
Para ahli ekonomi OPEC yang tergabung dalam komisi ekonomi
menyusun serangkaian naskah yang berisi analisa tentang
perkembangan yang terjadi pada minyak. Dari naskah inilah para
menteri minyak di Bali nanti akan memutuskan apakah harga minyak
akan naik, atau akan dibekukan pada tingkat sekarang.
Harga minyak yang kini didasarkan atas jenis Ras Tanura pada US$
11,51/ barrel diputuskan pada sidang OPEC sebelumnya pada
September tahun lalu, yang merupakan kenaikan 10% atas harga
sebelumnya. Sekalipun Saudi Arabia dikabarkan ingin harga minyak
dipertahankan sekurangnya sampai akhir tahun ini, tapi banyak
orang menduga hahwa konperensi Bali nanti akan memutuskan
kenaikan harga menjadi 5%.
Ini rupanya didasarkan ata pernyataan Sekjen OPEC sendiri, M.O.
Feyide, yang menuntut adanya kenaikan harga minyak yang adil.
"OPEC tidak memaksakan harga yang tidak realistis", katanya. Ia
menambahkan bahwa yang diinginkan OPEC adalah utuhnya daya beli
penghasilan minyaknya. Selama inflasi di negara industri dapat
dikendalikan, maka kenaikan harga minyak yang diusulkan juga tak
akan seberapa.
Dan ini yang rupanya sedang terjadi. Kecuali Italia, maka hampir
semua negara maju sudah lebih berhasil mengendalikan inflasi.
Inggeris sedang berusaha keras menekan inflasinya di bawah 10%,
sedang di AS inflasi sudah sekitar 6%. Karena kurs dollar AS
kuat dibanding dengan kurs mata uang lain, maka hasil dari
ekspor minyak yang umumnya dinyatakan dalam dollar justru
sedikit menguntungkan negara produsen minyak.
Tapi yang bakal ramai dibicarakan di Bali nanti bukanlah
kenaikan harga minyak itu sendiri, melainkan perbedaan harga
minyak di tiap negara. Sekalipun harga ditetapkan US$ 11,51 per
barrel, dalam prakteknya harga yang terjadi justru di bawah itu.
Memang dalam sidang sebelumnya dibenarkan adanya perbedaan
harga, tergantung jenis minyak yang dihasilkan dan letak
geografis sang produsen. Karena inilah maka semacam "perang
harga" telah terjadi di antara anggota OPEC. Dalam situasi
ketika ekonomi belum pulih dari resesi dan permintaan minyak
merosot, ternyata negara produsen sulit mempertahankan harga.
Persaingan mencari pembeli begitu tajam di antara sesama anggota
OPEC, dan senjata yang paling ampuh dalam perang ini adalah
penurunan harga.
Indonesia sendiri hanya menaikkan harganya 2%, sekalipun OPEC
memutuskan kenaikan 10%. Iran untuk mempertahankan langganannya
terpaksa harus banting harga dengan memberi korting 9,5 sen
dollar per barrel. Tapi tak ada yang lebih getol menurunkan
harga dari pada Iraq. Negara itu diam-diam menurunkan harga jauh
di bawah rekan-rekannya dalam upaya memperebutkan pembeli.
Sekalipun pemerintah Iraq membantah penurunan ini, tapi penjabat
perusahaan minyak yang membeli minyak Iraq juga berani bersumpah
bahwa Iraq memang menurunkan harga jauh di bawah harga yang
layak. Sheik Zaki Yamani, Menteri Urusan Minyak Saudi Arabia
sampai menuduh, bahwa harga minyak Iraq 'tidak sampai satu
dollar per barrel". Akibatnya, tahun lalu tatkala ekspor minyak
Saudi Arabia turun 17% dan ekspor minyak Iran turun 11%, maka
ekspor Iraq melompat naik 17%.
Tahun 1975 merupakan tahun yang muram bagi produsen minyak,
sesudah lompatan spektakuler selama 1974. Hampir semua produsen
utama minyak mengalami penurunan produksi. Indonesia bukan saja
mengalami sedikit penurunan produksi, tapi juga mengalami
musibah Pertamina. Sekalipun produksi Iran naik 17%, tapi
produksi minyak seluruh Timur Tengah merosot 10,5% Nigeria
merosot 20%, dan Venezuela merosot 26%, yang merupakan penurunan
produksi terbesar di antara anggota OPEC. Secara keseluruhan,
produksi minyak dunia turun 11,5%.
Bagaimana prospek tahun 1976 ini? Pulihnya resesi jelas akan
menambah permintaan dunia akan minyak. Kemungkinan besar
kemerosotan produksi akan tertahan, bahkan produksi bisa naik
dengan ditemukannya beberapa sumber minyak baru yang cukup besar
oleh Meksiko. Sementara itu Inggeris dan RRT diharapkan akan
menemukan sumber-sumber baru. Apabila tambahan produksi ini
melampaui meningkatnya permintaan akan minyak, kenaikan harga
minyak akan sulit dipertahankan. Karena itu bila konperensi di
Bali nanti misalnya memutuskan untuk menaikan harga minyak 5%,
sulit dibayangkan bagaimana kenaikan harga itu dapat
dipertahankan. Paling-paling yang akan terjadi adalah apa yang
sudah terjadi selama ini. Yakni perang harga di antara
anggota-anggota OPEC yang masing-masing menjual di hawah harga
dasar yang ditetapkan.
Pertnyaan yang cukup menggelisahkan setiap orang adalah sampai
di manakah dollar minyak yang membubung itu telah dimanfaatkan
oleh negara untuk kemakmuran rakyatnya?
* INDONESIA
Dengan terjadinya musibah Pertamina rata-rata orang Indonesia
akan bingung apa manfaatnya menjadi negara produsen minyak. Di
samping itu penerimaan minyak pada APBN hanya cukup untuk
membiayai anggaran belanja rutin, dan proyek-proyek pembangunan
praktis dibiayai seluruhnya dari bantuan luar negeri. Memang
bisa dikatakan bahwa seandainya penerimaan dari minyak tak
sebesar sekarang, barangkali pemerintah masih memerlukan bantuan
luar negeri hanya untuk membiayai anggaran belanja rutinnya.
* IRAN:
Sekalipun sedang membangun industri dasar secara besar-besaran
dengan uang minyaknya, tapi ternyata pembangunan tersebut
memerlukan lebih banyak impor. Terutama mtuk mesin-mesinnya.
hingga Iran terpaksa mencari kredit dari luar negeri. Satu hal
yang ironis bagi satu negara minyak terkemuka. Lebih dari itu,
Iran sudah menghabiskan US$ 11 milyar (sekitar 3 kali
pengllasilan bersih ekspor minyak Indonesia) untuk membeli
senjata dari AS. Bahkan Iran kini menawarkan barter minyaknya
dengan 300 buah pesawat tempur F-16 dari Mc Donnel Douglas dan
sekitar 6 skwadron pesawat khusus dari Boeing.
* ARAB SAUDI:
Negeri kerajaan ini memang sudah menggunakan uang minyaknya
untuk menbangun proyek-proyek industri, jalan raya, pelabuhan,
dan malah merencanakan untuk menghijaukan padang pasir dengan
pengairan de-salinisasi.
Namun haru dicatat bahwa Arab Saudi sudah menghabiskan lebih
dari US $ 1 milyar untuk Mesir dan Siria yang hanya digunakan
untuk membeli senjata. Tak ada pengkritik yang lebih keras
terhadap cara negara-negara OPEC menggunakan uang minyaknya
dari pada Juan Alfonso. Bekas Menteri Perminyakan Venezuela dan
salah seorang pendiri OPEC. Dalam wawancaranya baru-baru ini
dengan The New Straits Times, Alfonso yang kini hidup
menyendiri di sebuah rumah di luar Caracas menyatakan bahwa tak
ada satupun anggota OPEC mampu merobah dollar minyak menjadi
kemakmuran yang terus-menerus Dia mengkritik negara-negara
OPEC yang berambisi menjadikan dirinya negara industri. dan
menyebut mereka ini sebagai negara yang kehilangan akal dan tak
tahu lagi konsep-konsep yang realistis. "Uang itu hanya sekedar
simbol dan hanya bisa dimanfaatkan oleh mereka yang tahu
bagaimana menggunakannya", katanya. "Uang minyak adalah uang
yang gampang, yang diperoleh tanpa kerja dan keringat. Uang
semacam ini bisa berbahaya".
Juan Alfonso juga menganjurkan negara-negara penghasil minyak
berhenti meniru-niru pembangunan negara maju, dan mulai
melaksanakan pembangunan atas dasar kesanggupannya yang wajar.
Menurut Alfonso, cadangan minyak paling lama akan bertahan
sampai 70 tahun lagi. Makanya konsumsi minyak seharusnya mulai
dikurangi, dan ekspor juga dltekan. Ini sekaligus akan
mengurangi polusi akibat penggunaan bahan bakar minyak secara
berlebih-lebihan.
Tak kurang pentingnya dari pada pemanfaatan petro-dollar itu,
adalah seberapa kuat solidaritas OPEC kini. Sekalipun sampai
sekarang persatuan dalam tubuh OPEC masih terjaga, tapi
kenyataan membuktikan bahwa dalam OPEC sering terjadi
polarisasi antara Kelompok Arab dan non-Arab, radikal versus
moderat. Dan yang paling tajam adalah pertentangan antara Arab
Saudi dan Iran. Dalam masalah harga minyak keduanya selalu
bertentangan secara ekstrim. Arab Saudi ingin harga minyak
diturunkan, tapi Iran ingin harga dinaikkan sebanyak mungkin.
Karena adanya dua pendaat yang ekstrim ini, maka putusan harga
minyak selalu merupakan jalan tengah. Dan pertentangan ini
bukan tak mungkin akan terbawa sampai di pertemuan di Bali
nanti. Arab Saudi lewat Menteri Urusan Minyaknya Zaki Yumani
pagi-pagi sudah menyatakan minatnya untuk mempertahankan harga
minyak pada tingkat sekarang ini sampai akhir tahun.
Sedang pemimpin delegasi Iran Jamshid Amuzegar sudah
memperingatkan pembicaraan tentang differensial harga
bisa mempunyai konsekwensi serius terhadap persatuan OPEC".
Peringatan Amuzegar ini cukup gawat mengingat masalah
differensial harga inilah yang paling pelik dan sensitif. Ini
terbukti dengan tindakan Iraq yang membanting harga minyaknya
tapi yang mendapat celaan yang keras dari anggota OPEC yang lain
Tapi memang untuk membuktikan apakah suatu negara melanggar
persetujuan harga OPEC juga tak mudah, karena perjanjian harga
hanya meliputi harga marker crude, yakni Arabian Light Crude,
"dollarnya OPEC", menurut Menteri Sadli. Minyak mentah lain
tidak ditetapkan harganya secara resmi, tetapi harus dihitung
dari harga marker crude itu dengan membandingkan kadar belerang,
berat jenis, harga bensin atau minyak bakarnya dan biaya
pengangkutan.
Di sini terselip kesulitan praktis, OPEC tidak dapat menetapkan
harga untuk semua jenis minyak dasar. Yang bisa ditetapkan
hanyalah tingkat harga umum dari marker crude itu. Dan bila
OPEC hendak memaksakan harga untuk segala jenis minyak kasar,
dari setiap negara, pasti akan timbul banyak perselisihan antara
negara yang bersangkutan dan OPEC. Bukan saja rumus dan
administrasinya rumit, tapi juga karena pasar berobah dari waktu
ke waktu. Dua tahun yang lalu misalnya minyak kasar yang berat
(untuk solar dan aspal) lebih dibutuhkan oleh industri dari
pada minyak ringan (untuk bensin, minyak tanah). Tapi karena
resesi, industri lebil banyak membutuhkan minyak ringan
daripaada minyak berat hingga minyak ringan sekarang lebih
laku.
OPEC sekarang ini berusaha untuk mengatur perbedaan-perbedaan
ini. Suatu panitia teknis (Economic Commission Board, ECB)
sudah ditugasi untuk keperluan ini. ECB diharapkan untuk
menciptakan suatu sistim harga menurut satu model yang ilmiah,
kwantitatif atas dasar perhitungan komputer dan obyektip, untuk
memeriksa harga masing-masing minyak kasar secara periodik.
Dalam sidang di Bali nanti ECB harus melaporkan hasil kerjanya
tersebut. OPEC mungkin tak akan menerima hasil rumusan ECB ini,
karena memang masalahnya begitu rumit dengan begitu banyaknya
variabel yang berpengaruh. Paling yang bisa diputuskan oleh OPEC
nanti hanyalah menetapkan tenggang harga -- sampai sejauh mana
harga suatu jenis minyak bisa naik atau turun. Misalnya hanya
10% dari tingkat harga rata -rata.
Kalau OPEC setuju dengan rumus demikian, maka tugas OPEC untuk
mengendalikan harga akan lebih mudah. Tapi rumus itu sendiri
pasti tak akan cukup, karena OPEC tak dapat memakai negara
anggota untuk mentaati setiap waktu, dan sanksinya juga tak ada.
Karena itu masalah pengaduan yang timbul dari pelanggaran Iraq
misalnya tetap bisa menjadi pembicaraan nan ramai.
Agaknya masalah "solidaritas harga" itulah yang kembali
dibicarakan dalam pertemuan OPEC di Jenewa, sebagai lanjutan
dari pertemuan di Wina yang dikacau oleh teror Carlos "The
Jackal" dan kawan-kawam .Tak banyak menang yang bisa dikorek
dari pertemuan rahasia yang berlangsung di sebuah villa
terpencil di luar Jenewa. Kalangan pers menduga bahwa yang
menjadi pembicaraan adalah menetapkan pokok-pokok persoalan
sebelum mereka bertemu di Bali minggu depan. Tegasnya yang
menyangkut kebijaksanaan penentuan harga dan produksi minyak.
Sekalipun tak keluar pernyataan resmi dari Jenewa, konon
pertemuan yang mendadak itu telah bisa mendekatkan beberapa
perbedaan antara dua kutub pendapat: Arab Saudi dan Iran.
Mungkin merasa lega, Dr Valentin Hernandez Acosta dari Venezuela
atas pertanyaan pers mengatakan, "tak ada perbedaan yang serius
di antara kami". Katanya pula: "Semuanya berjalan lancar. Tak
ada lagi persoalan". Kalau memang begitu, bisa diramalkan
pertemuan OPEC di Bali akah melahirkan pernyataan dan kata
sepakat yang sudah mereka rintis di Jenewa.
TAPI omong-omong, akankah Bali membicarakan peranan , OPEC
untuk membantu rekannya dari Dunia Ketiga yang tak punya rejeki
minyak? Beberapa kalangan minyak optimis OPEC akan melangkah
lebih maju lagi mengucurkan petrodollar-nya kepada negeri-negeri
berkembang. Dua hari setelah usainya sidang ke IV UNCTAD di
Nairobi, ibukota Kenya, kabarnya OPEC menyetujui untuk
menyalurkan $AS400 juta, guna meningkatkan produksi pangan di
negeri-negeri berkembang. Menurut Clyde H. Farnsworth dari
harian New York Times, janji bantuan sebanyak itu merupakan
salah satu keputusan sidang khusus para Menteri Keuangan
negeri-negeri OPEC di Paris 12 Mei lalu. Dana itu kabarnya akan
disalurkan melalui sebuah badan khusus PBB, yang akan terdiri
dari 18 anggota - 6 dari OPEC, 6 dari negara berkembang non-OPEC
dan 6 lainnya dari negara industri. Di samping janji yang $ 400
juta itu, Arab Saudi dan Iran masing-masing sudah setuju untuk
mennbah $ 50 juta, hingga seluruh komitmen OPEC itu jadi
mencapai $AS 500 juta. Kapan dana itu akan disalurkan, masih
wallahualam. Mudah-mudahan akan diputuskan di Bali nanti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini