Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Opec: Minyak Di Bali

Harga minyak meledak lagi. Beberapa negara anggota opec telah menaikkan harga sendiri-sendiri. kenaikan harga itu merupakan agenda utama sidang opec di bali. manfaat uang minyak dipertanyakan. (eb)

22 Mei 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI suatu pagi April yang lalu sesuatu yang luar biasa terjadi di sekitar Hotel Inter-Continental di Jenewa. Beberapa anggota polisi bersenjata lengkap kelihatan berjaga di sekeliling hotel. Kabar yang tersiar menyebutkan bahwa malam itu akan menginap saudara Sultan Kuwait - yang katanya minta pengawalan khusus dari pihak polisi. Tapi keesokan harinya tak urung berita pecah bahwa rupanya di hotel tersebut baru dimulai salah satu sidang OPEC terpenting, sidang yang untuk pertama kalinya diadakan di luar markas besarnya di Wina. Tiga bulan sebelumnya di Wina segerombolan teroris menyerbu markas besar OPEC, tempat sidang tingkat menteri berlangsung. Waktu itu tiga orang tewas dan delapan menteri minyak menjadi sandera. Dan itulah sebabnya penjagaan ketat --termasuk buat Menteri Sadli, dari Indonesia, yang agak kikuk juga: dari pesawat sampai hotel delegasi Indonesia dikawal dengan dua tank. Dalam Hotel Inter-Continental itulah dibicarakan pokok-pokok yang akan jadi agenda pertemuan OPEC di Bali 27 Mei mendatang. Para ahli ekonomi OPEC yang tergabung dalam komisi ekonomi menyusun serangkaian naskah yang berisi analisa tentang perkembangan yang terjadi pada minyak. Dari naskah inilah para menteri minyak di Bali nanti akan memutuskan apakah harga minyak akan naik, atau akan dibekukan pada tingkat sekarang. Harga minyak yang kini didasarkan atas jenis Ras Tanura pada US$ 11,51/ barrel diputuskan pada sidang OPEC sebelumnya pada September tahun lalu, yang merupakan kenaikan 10% atas harga sebelumnya. Sekalipun Saudi Arabia dikabarkan ingin harga minyak dipertahankan sekurangnya sampai akhir tahun ini, tapi banyak orang menduga hahwa konperensi Bali nanti akan memutuskan kenaikan harga menjadi 5%. Ini rupanya didasarkan ata pernyataan Sekjen OPEC sendiri, M.O. Feyide, yang menuntut adanya kenaikan harga minyak yang adil. "OPEC tidak memaksakan harga yang tidak realistis", katanya. Ia menambahkan bahwa yang diinginkan OPEC adalah utuhnya daya beli penghasilan minyaknya. Selama inflasi di negara industri dapat dikendalikan, maka kenaikan harga minyak yang diusulkan juga tak akan seberapa. Dan ini yang rupanya sedang terjadi. Kecuali Italia, maka hampir semua negara maju sudah lebih berhasil mengendalikan inflasi. Inggeris sedang berusaha keras menekan inflasinya di bawah 10%, sedang di AS inflasi sudah sekitar 6%. Karena kurs dollar AS kuat dibanding dengan kurs mata uang lain, maka hasil dari ekspor minyak yang umumnya dinyatakan dalam dollar justru sedikit menguntungkan negara produsen minyak. Tapi yang bakal ramai dibicarakan di Bali nanti bukanlah kenaikan harga minyak itu sendiri, melainkan perbedaan harga minyak di tiap negara. Sekalipun harga ditetapkan US$ 11,51 per barrel, dalam prakteknya harga yang terjadi justru di bawah itu. Memang dalam sidang sebelumnya dibenarkan adanya perbedaan harga, tergantung jenis minyak yang dihasilkan dan letak geografis sang produsen. Karena inilah maka semacam "perang harga" telah terjadi di antara anggota OPEC. Dalam situasi ketika ekonomi belum pulih dari resesi dan permintaan minyak merosot, ternyata negara produsen sulit mempertahankan harga. Persaingan mencari pembeli begitu tajam di antara sesama anggota OPEC, dan senjata yang paling ampuh dalam perang ini adalah penurunan harga. Indonesia sendiri hanya menaikkan harganya 2%, sekalipun OPEC memutuskan kenaikan 10%. Iran untuk mempertahankan langganannya terpaksa harus banting harga dengan memberi korting 9,5 sen dollar per barrel. Tapi tak ada yang lebih getol menurunkan harga dari pada Iraq. Negara itu diam-diam menurunkan harga jauh di bawah rekan-rekannya dalam upaya memperebutkan pembeli. Sekalipun pemerintah Iraq membantah penurunan ini, tapi penjabat perusahaan minyak yang membeli minyak Iraq juga berani bersumpah bahwa Iraq memang menurunkan harga jauh di bawah harga yang layak. Sheik Zaki Yamani, Menteri Urusan Minyak Saudi Arabia sampai menuduh, bahwa harga minyak Iraq 'tidak sampai satu dollar per barrel". Akibatnya, tahun lalu tatkala ekspor minyak Saudi Arabia turun 17% dan ekspor minyak Iran turun 11%, maka ekspor Iraq melompat naik 17%. Tahun 1975 merupakan tahun yang muram bagi produsen minyak, sesudah lompatan spektakuler selama 1974. Hampir semua produsen utama minyak mengalami penurunan produksi. Indonesia bukan saja mengalami sedikit penurunan produksi, tapi juga mengalami musibah Pertamina. Sekalipun produksi Iran naik 17%, tapi produksi minyak seluruh Timur Tengah merosot 10,5% Nigeria merosot 20%, dan Venezuela merosot 26%, yang merupakan penurunan produksi terbesar di antara anggota OPEC. Secara keseluruhan, produksi minyak dunia turun 11,5%. Bagaimana prospek tahun 1976 ini? Pulihnya resesi jelas akan menambah permintaan dunia akan minyak. Kemungkinan besar kemerosotan produksi akan tertahan, bahkan produksi bisa naik dengan ditemukannya beberapa sumber minyak baru yang cukup besar oleh Meksiko. Sementara itu Inggeris dan RRT diharapkan akan menemukan sumber-sumber baru. Apabila tambahan produksi ini melampaui meningkatnya permintaan akan minyak, kenaikan harga minyak akan sulit dipertahankan. Karena itu bila konperensi di Bali nanti misalnya memutuskan untuk menaikan harga minyak 5%, sulit dibayangkan bagaimana kenaikan harga itu dapat dipertahankan. Paling-paling yang akan terjadi adalah apa yang sudah terjadi selama ini. Yakni perang harga di antara anggota-anggota OPEC yang masing-masing menjual di hawah harga dasar yang ditetapkan. Pertnyaan yang cukup menggelisahkan setiap orang adalah sampai di manakah dollar minyak yang membubung itu telah dimanfaatkan oleh negara untuk kemakmuran rakyatnya? * INDONESIA Dengan terjadinya musibah Pertamina rata-rata orang Indonesia akan bingung apa manfaatnya menjadi negara produsen minyak. Di samping itu penerimaan minyak pada APBN hanya cukup untuk membiayai anggaran belanja rutin, dan proyek-proyek pembangunan praktis dibiayai seluruhnya dari bantuan luar negeri. Memang bisa dikatakan bahwa seandainya penerimaan dari minyak tak sebesar sekarang, barangkali pemerintah masih memerlukan bantuan luar negeri hanya untuk membiayai anggaran belanja rutinnya. * IRAN: Sekalipun sedang membangun industri dasar secara besar-besaran dengan uang minyaknya, tapi ternyata pembangunan tersebut memerlukan lebih banyak impor. Terutama mtuk mesin-mesinnya. hingga Iran terpaksa mencari kredit dari luar negeri. Satu hal yang ironis bagi satu negara minyak terkemuka. Lebih dari itu, Iran sudah menghabiskan US$ 11 milyar (sekitar 3 kali pengllasilan bersih ekspor minyak Indonesia) untuk membeli senjata dari AS. Bahkan Iran kini menawarkan barter minyaknya dengan 300 buah pesawat tempur F-16 dari Mc Donnel Douglas dan sekitar 6 skwadron pesawat khusus dari Boeing. * ARAB SAUDI: Negeri kerajaan ini memang sudah menggunakan uang minyaknya untuk menbangun proyek-proyek industri, jalan raya, pelabuhan, dan malah merencanakan untuk menghijaukan padang pasir dengan pengairan de-salinisasi. Namun haru dicatat bahwa Arab Saudi sudah menghabiskan lebih dari US $ 1 milyar untuk Mesir dan Siria yang hanya digunakan untuk membeli senjata. Tak ada pengkritik yang lebih keras terhadap cara negara-negara OPEC menggunakan uang minyaknya dari pada Juan Alfonso. Bekas Menteri Perminyakan Venezuela dan salah seorang pendiri OPEC. Dalam wawancaranya baru-baru ini dengan The New Straits Times, Alfonso yang kini hidup menyendiri di sebuah rumah di luar Caracas menyatakan bahwa tak ada satupun anggota OPEC mampu merobah dollar minyak menjadi kemakmuran yang terus-menerus Dia mengkritik negara-negara OPEC yang berambisi menjadikan dirinya negara industri. dan menyebut mereka ini sebagai negara yang kehilangan akal dan tak tahu lagi konsep-konsep yang realistis. "Uang itu hanya sekedar simbol dan hanya bisa dimanfaatkan oleh mereka yang tahu bagaimana menggunakannya", katanya. "Uang minyak adalah uang yang gampang, yang diperoleh tanpa kerja dan keringat. Uang semacam ini bisa berbahaya". Juan Alfonso juga menganjurkan negara-negara penghasil minyak berhenti meniru-niru pembangunan negara maju, dan mulai melaksanakan pembangunan atas dasar kesanggupannya yang wajar. Menurut Alfonso, cadangan minyak paling lama akan bertahan sampai 70 tahun lagi. Makanya konsumsi minyak seharusnya mulai dikurangi, dan ekspor juga dltekan. Ini sekaligus akan mengurangi polusi akibat penggunaan bahan bakar minyak secara berlebih-lebihan. Tak kurang pentingnya dari pada pemanfaatan petro-dollar itu, adalah seberapa kuat solidaritas OPEC kini. Sekalipun sampai sekarang persatuan dalam tubuh OPEC masih terjaga, tapi kenyataan membuktikan bahwa dalam OPEC sering terjadi polarisasi antara Kelompok Arab dan non-Arab, radikal versus moderat. Dan yang paling tajam adalah pertentangan antara Arab Saudi dan Iran. Dalam masalah harga minyak keduanya selalu bertentangan secara ekstrim. Arab Saudi ingin harga minyak diturunkan, tapi Iran ingin harga dinaikkan sebanyak mungkin. Karena adanya dua pendaat yang ekstrim ini, maka putusan harga minyak selalu merupakan jalan tengah. Dan pertentangan ini bukan tak mungkin akan terbawa sampai di pertemuan di Bali nanti. Arab Saudi lewat Menteri Urusan Minyaknya Zaki Yumani pagi-pagi sudah menyatakan minatnya untuk mempertahankan harga minyak pada tingkat sekarang ini sampai akhir tahun. Sedang pemimpin delegasi Iran Jamshid Amuzegar sudah memperingatkan pembicaraan tentang differensial harga bisa mempunyai konsekwensi serius terhadap persatuan OPEC". Peringatan Amuzegar ini cukup gawat mengingat masalah differensial harga inilah yang paling pelik dan sensitif. Ini terbukti dengan tindakan Iraq yang membanting harga minyaknya tapi yang mendapat celaan yang keras dari anggota OPEC yang lain Tapi memang untuk membuktikan apakah suatu negara melanggar persetujuan harga OPEC juga tak mudah, karena perjanjian harga hanya meliputi harga marker crude, yakni Arabian Light Crude, "dollarnya OPEC", menurut Menteri Sadli. Minyak mentah lain tidak ditetapkan harganya secara resmi, tetapi harus dihitung dari harga marker crude itu dengan membandingkan kadar belerang, berat jenis, harga bensin atau minyak bakarnya dan biaya pengangkutan. Di sini terselip kesulitan praktis, OPEC tidak dapat menetapkan harga untuk semua jenis minyak dasar. Yang bisa ditetapkan hanyalah tingkat harga umum dari marker crude itu. Dan bila OPEC hendak memaksakan harga untuk segala jenis minyak kasar, dari setiap negara, pasti akan timbul banyak perselisihan antara negara yang bersangkutan dan OPEC. Bukan saja rumus dan administrasinya rumit, tapi juga karena pasar berobah dari waktu ke waktu. Dua tahun yang lalu misalnya minyak kasar yang berat (untuk solar dan aspal) lebih dibutuhkan oleh industri dari pada minyak ringan (untuk bensin, minyak tanah). Tapi karena resesi, industri lebil banyak membutuhkan minyak ringan daripaada minyak berat hingga minyak ringan sekarang lebih laku. OPEC sekarang ini berusaha untuk mengatur perbedaan-perbedaan ini. Suatu panitia teknis (Economic Commission Board, ECB) sudah ditugasi untuk keperluan ini. ECB diharapkan untuk menciptakan suatu sistim harga menurut satu model yang ilmiah, kwantitatif atas dasar perhitungan komputer dan obyektip, untuk memeriksa harga masing-masing minyak kasar secara periodik. Dalam sidang di Bali nanti ECB harus melaporkan hasil kerjanya tersebut. OPEC mungkin tak akan menerima hasil rumusan ECB ini, karena memang masalahnya begitu rumit dengan begitu banyaknya variabel yang berpengaruh. Paling yang bisa diputuskan oleh OPEC nanti hanyalah menetapkan tenggang harga -- sampai sejauh mana harga suatu jenis minyak bisa naik atau turun. Misalnya hanya 10% dari tingkat harga rata -rata. Kalau OPEC setuju dengan rumus demikian, maka tugas OPEC untuk mengendalikan harga akan lebih mudah. Tapi rumus itu sendiri pasti tak akan cukup, karena OPEC tak dapat memakai negara anggota untuk mentaati setiap waktu, dan sanksinya juga tak ada. Karena itu masalah pengaduan yang timbul dari pelanggaran Iraq misalnya tetap bisa menjadi pembicaraan nan ramai. Agaknya masalah "solidaritas harga" itulah yang kembali dibicarakan dalam pertemuan OPEC di Jenewa, sebagai lanjutan dari pertemuan di Wina yang dikacau oleh teror Carlos "The Jackal" dan kawan-kawam .Tak banyak menang yang bisa dikorek dari pertemuan rahasia yang berlangsung di sebuah villa terpencil di luar Jenewa. Kalangan pers menduga bahwa yang menjadi pembicaraan adalah menetapkan pokok-pokok persoalan sebelum mereka bertemu di Bali minggu depan. Tegasnya yang menyangkut kebijaksanaan penentuan harga dan produksi minyak. Sekalipun tak keluar pernyataan resmi dari Jenewa, konon pertemuan yang mendadak itu telah bisa mendekatkan beberapa perbedaan antara dua kutub pendapat: Arab Saudi dan Iran. Mungkin merasa lega, Dr Valentin Hernandez Acosta dari Venezuela atas pertanyaan pers mengatakan, "tak ada perbedaan yang serius di antara kami". Katanya pula: "Semuanya berjalan lancar. Tak ada lagi persoalan". Kalau memang begitu, bisa diramalkan pertemuan OPEC di Bali akah melahirkan pernyataan dan kata sepakat yang sudah mereka rintis di Jenewa. TAPI omong-omong, akankah Bali membicarakan peranan , OPEC untuk membantu rekannya dari Dunia Ketiga yang tak punya rejeki minyak? Beberapa kalangan minyak optimis OPEC akan melangkah lebih maju lagi mengucurkan petrodollar-nya kepada negeri-negeri berkembang. Dua hari setelah usainya sidang ke IV UNCTAD di Nairobi, ibukota Kenya, kabarnya OPEC menyetujui untuk menyalurkan $AS400 juta, guna meningkatkan produksi pangan di negeri-negeri berkembang. Menurut Clyde H. Farnsworth dari harian New York Times, janji bantuan sebanyak itu merupakan salah satu keputusan sidang khusus para Menteri Keuangan negeri-negeri OPEC di Paris 12 Mei lalu. Dana itu kabarnya akan disalurkan melalui sebuah badan khusus PBB, yang akan terdiri dari 18 anggota - 6 dari OPEC, 6 dari negara berkembang non-OPEC dan 6 lainnya dari negara industri. Di samping janji yang $ 400 juta itu, Arab Saudi dan Iran masing-masing sudah setuju untuk mennbah $ 50 juta, hingga seluruh komitmen OPEC itu jadi mencapai $AS 500 juta. Kapan dana itu akan disalurkan, masih wallahualam. Mudah-mudahan akan diputuskan di Bali nanti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus