Sesudah embargo minyak dicabut pertengahan 1974, barulah negara
konsumen sadar bahwa minyak dunia kini dikuasai oleh
beberapa gelintir negara saja. Perhatian dunia kini beralih
ke Wina, di mana markas besar OPEC berada, dan yang selama ini
tak menarik banyak perhatian. Lukisan di bawah ini dipetik dari
buku Anthony Sampson yang terkelal itu, The Seven Sisters.
TAK ada kota di Eropa yang menggambarkan masa lampaunya secara
megah selain Wina. Jalan yang berliku di bagian kota lama.
bangunan kuno dengan arsitekturnya yang megah, gerbang-gerbang
dan gapura, semuanya mengingatkan kepada Maria Theresia,
Metternich, Havdn, Mozart. Melewati belokan jalan di depan
gedung opera dan balai kota tampak satu gedung dari marmer putih
dan dipintu gerbangnya terbacaTEXACO karena di sinilah anak
perusahaan minyak AS itu bermarkas. Tapi di antara tulisan pada
kuningan juga terbaca ORGANISATION OF PETROLEUM EXPORTING
COUNTRIES (OPEC): Ist and 2nd Floors. Tak ada satupun tanda di
sekitarnya yang menandakan bahwa di gedung inilah bermarkas satu
kekuatan finansiil terbesar dalam sejarah. Pada umumnya tak ada
yang menarik di gedung ini. Dinding dalamnya penuh dengan
gambar-gambar dari beberapa anggotanya. Gambar tangki minyak
dari Iraq, gambar penyulingan gas-minyak dari Libya, gambar
kapal tangki di satu pelabuhan Arab Saudi. Di kiri kanan
lorongnya terdapat kamar buat para ahli statistik-dan ahli
ekonomi OPEC. Juga beberapa kamar untuk para sekretaris yang
kebanyakan berbangsa Inggeris dan Austria. Mereka sibuk sekali
bila OPEC mengadakan pertemuannya. Di tingkat atas satunya lagi,
duduklah sang Sekjen OPEC posisi yang tak begitu megah dan yang
selalu berganti setiap dua tahun.Pada tahun-tahun kritis itu,
saat di mana OPEC membuat sejarah, jabatan Sekjen ini dipegang
oleh Dr. Abdurrachman Khene dari Aljazair, yang tingkahnya
cocok dengan titelnya, seorang dokter: penyabar dan lembut. dan
dengan kumisnya yang kecil melilit dan ikat pinggangnya yang
lebar dia nampaknya tak begitu tertarik dengan perobahan
kekuatan yang tiba-tiba. Kepada seorang wartawan dia bilang
bahwa yang berobah bukan kekuasaan, tapi kenyataan yang mesti
dihadapi Barat. Negara Barat katanya mesti bersedia untuk hidup
lebih hemat demi kebaikan Dunia Ketiga. Sekarang dia sudah
diganti oleh M.O. Feyide dari Nigeria.
Selama bertahun-tahun OPEC tak banyak menarik perhatian orang.
Konperensinya tak lebih menarik daripada satu kongres ormas
buruh. Tak banyak wartawan yang mengkovernya. Tapi begitu harga
minyak meledak pada akhir 1973, semua mata berpaling ke gedung
yang suram di Wina ini. Dan ketika rapat tahunan OPEC diadakan
pada tahun 1974 Wina menjadi pusat perhatian dunia. Wartawan
yang datang kali ini bukan saja yang berasal dari Petroleum
Intelligence Weekly atau Middle East Economic Survey, tapi
dari semua surat kabar di dunia dari yang ternama sampai yang
tak dikenal. Wartawan-wartawan mereka sampai di Wina masih belum
tahu persis apa itu arti buy-back, equity, discount, dan apa
pula itu posted prices?
Menjelang pertemuan-pertemuan OPEC, pesawat-pesawat terbang
berdatangan dari Caracas Lagos, Kuwait dan Jakarta. Empat buah
hotel terkemuka penuh dengan nama-nama yang susah diucapkan. Di
Hotel Imperial di seberang gedung Opera, di mana Wagner pernah
tinggal satu suite khusus berwarna kuning menanti kedatangan
Jamshid Amouscgar dari Iran. Di Hotel Inter-Continental, di
tingka paling atas kamar nomor 1141 sedang dipersiapkan untuk
kedatangan Sheik Zaki Yamani.
Pada resepsi pembukaan, ruang resepsi penuh dengan wartawan
dengan jepretan kameranya yang menyilaukan. Satu per satu
delegasi bermunculan: Abdul Rahman Atiqi, Menteri Minyak Kuwait
melangkah bangga dengan senyum yang menarik kumisnya yang tebal
- dia punya tiga juta barrel sehari - sepersepuluh produksi
OPEC. Berikutnya muncul Dr. Amozegar, mulutnya siap melucu - dia
punya enam juta barrel sehari. Dia berbisik pada seorang
wartawan bahwa dia tak setuju dengan tindakan tiga negara yang
menaikkan harga minyak secara sepihak sebelum pertemuan dimulai.
Lalu muncul Menteri Minyak Iraq Ahdul Karim, pucat dan
cemberut lalu pemimpin delegasi Venezuela,
Dr. Hernandez kelihatan intelek tapi angkuh. Mereka menuju satu
ruang konperensi yang cukup sempit, lalu duduk di kursi yang
disediakan menurut bendera negara yang terpasang. Di meja
pimpinan duduk M. Bouy-Boutzit pemimpin delegasi Gabon. Di
sekitar meja perundingan nampak berbagai warna, berbagai wajah
hitam, merah, putih, tak ada persamaan yang bisa dibayangkan,
kecuali minyak.
Lama sesudah para delegasi ini duduk, muncullah satu Mercedez
hitam di luar gedung. Pintu terbuka dan ini dia, Sheik Zaki
Yamani, dengan pakaian jas hujannya berwarna hitam melangkah
keluar tersenyum dan tangan siap menyalam para penjemputnya yang
siapa lagi kalau bukan wartawan? Mikropon-mikropon mengelilingi
mukanya dan kawat-kawat nampak seperti ular. Sambil berjalan
masuk dia terdengar menegaskan beberapa kata: "harga harus
turun, harga harus turun..."
Suasana itu mungkin akan berulang kembali di tempat lain, kalau
markas besar OPEC itu betul jadi pindah dari Wina. Peristiwa
pembajakan para raja minyak di Wina tempo hari rupanya
menimbulkan rasa was-was beberapa anggota OPEC. Wina agaknya
sudah dianggap tak aman lagi. Kesempatan ini tentu saja tak
diliwatkan oleh Jenewa, kota konperensi internasional yang
terkenal di Swiss itu. Maka ketika ke-13 anggota OPEC itu
secara mendadak mengadakan pertemuan yang tertutup rapat di
Jenewa 2. April lalu, penjagaan yang teramat ketat dari
pemerintah Swiss itu agaknya ingin membuat para minyakwan itu
lebih betah untuk kumpul di Jenewa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini