PELAKSANAAN otonomi daerah yang dimulai tahun 2001 sungguh penuh warna. Sejak awal proses penghitungan dana alokasi umum (DAU) yang total berjumlah Rp 60,5 triliun, sudah muncul sejumlah kegaduhan. Beberapa pemerintah daerah (pemda) mengeluhkan dana yang mereka terima terlalu kecil sehingga tak cukup untuk menggaji karyawan pusat yang didaerahkan.
Protes itu bukan gertak sambal. Buktinya, sempat terdengar kasus pegawai negeri atau guru di daerah yang gajinya terlambat dibayar. Akibatnya, di beberapa daerah, para pamong dan pendidik generasi masa depan itu terpaksa libur mengajar karena menggelar unjuk rasa.
Ironisnya, desentralisasi fiskal juga membuat sejumlah daerah memiliki dana berlebih. Untuk menyerap kelebihan dana itu, pemerintah pusat menawarkan obligasi senilai Rp 886,7 miliar dengan bunga 21 persen per tahun kepada daerah kaya seperti Riau, Kalimantan Timur, dan DKI Jakarta.
Ada kabar angin, DAU bisa digelembungkan lewat patgulipat dengan oknum pejabat pusat. Caranya? Konon dengan mengutak-atik bobot DAU yang ditentukan oleh potensi penerimaan dan kebutuhan daerah. Cerita miring ini memang belum tentu benar. Namun, banyak orang mempercayainya setelah melihat cara sejumlah pemda membelanjakan jatah anggarannya. Seorang bupati di Sumatra Utara, misalnya, menurut sinyalemen Ketua Komisi IX DPR, Benny Pasaribu, menggunakan DAU untuk membeli mobil Mercedes bagi kendaraan dinasnya. Penyelewengan juga terjadi di Kabupaten Kutai Kertanegara. Di sana, dana Rp 1 miliar yang dikucurkan untuk setiap desa ternyata lebih banyak dilahap para kontraktor, yang kebanyakan bukan berasal dari desa bersangkutan.
Sementara itu, otonomi daerah juga mendorong penerbitan puluhan peraturan daerah (perda) yang menimbulkan masalah lain. Soalnya, beleid yang dikeluarkan untuk mendongkrak penghasilan daerah itu justru mengganggu pergerakan modal, barang, dan jasa sehingga membuat pengusaha segan berinvestasi. Alhasil, pemerintah pusat akhirnya didesak oleh Dana Moneter Internasional (IMF) untuk mencabut perda-perda ngawur itu. Saat ini, pemerintah tengah membahas langkah untuk membatalkan perda-perda yang menghambat investasi, transportasi, dan aktivitas ekonomi lainnya.
Beberapa hal itu hanyalah sekadar contoh yang menunjukkan pelaksanaan otonomi daerah yang masih semrawut. Toh, betapapun semrawutnya, otonomi daerah tampaknya akan jalan terus. Boleh jadi, semua kegaduhan itu hanyalah ibarat anak kecil yang sedang belajar naik sepeda, yang beberapa kali terjatuh tapi akhirnya lancar bersepeda juga.
Nugroho Dewanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini