Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERUSAHAAN tekstil PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), secara resmi menghentikan operasionalnya pada Sabtu, 1 Maret 2025. Dampaknya, lebih dari 10 ribu pekerja mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penutupan Sritex terjadi karena ketidakmampuan perusahaan dalam melunasi utangnya, yang berujung pada status pailit sebagaimana dikonfirmasi dalam rapat kreditur kepailitan. Baik debitur maupun kurator menilai bahwa perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara ini tidak memiliki dana yang cukup untuk membayar utang, sehingga tidak dapat mempertahankan kelangsungan usahanya (going concern).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Tidak mungkin dijalankan going concern dengan kondisi yang telah dipaparkan oleh kurator maupun debitur pailit,” kata Hakim Pengawas Pengadilan Negeri Niaga (PN) Semarang Haruno Patriadi dalam rapat kreditur kepailitan Sritex di Semarang, Jawa Tengah, Jumat, Jumat, 28 Februari 2025, seperti dikutip dari Antara.
PHK massal akibat putusan pailit ini berdampak pada 10.665 karyawan dan pekerja di Sritex Group. Proses PHK berlangsung sejak Januari hingga akhir Februari 2025. Lebih dari 10 ribu pekerja yang terdampak berasal dari empat perusahaan, yaitu PT Sritex Sukoharjo, PT Bitratex Semarang, PT Sinar Pantja Djaja Semarang, dan PT Primayudha Boyolali.
Asas Kelangsungan Usaha (Going Concern)
Going concern atau asas kelangsungan usaha merupakan konsep dalam akuntansi yang berkaitan dengan laporan keuangan suatu perusahaan. Dalam praktik bisnis, asas ini digunakan sebagai indikator untuk menilai kemampuan perusahaan dalam mempertahankan operasionalnya dalam jangka waktu tertentu.
Dalam konteks kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di Indonesia, konsep going concern diterapkan pada perusahaan yang masih memiliki prospek memperoleh keuntungan dari produk atau jasa yang dihasilkannya. Meskipun Pengadilan Niaga telah menyatakan perusahaan tersebut pailit, perusahaan tetap dapat diberi kesempatan untuk beroperasi jika dinilai masih memiliki potensi keuntungan.
Penerapan asas going concern diatur dalam Pasal 179 dan Pasal 184 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU. Aturan ini menyatakan bahwa keberlanjutan usaha dapat dilakukan jika terdapat kesepakatan antara kreditur dan kurator mengenai kelangsungan bisnis debitur pailit.
Usulan skema ini diajukan oleh kurator atau kreditur dengan persetujuan kreditur yang mewakili setengah dari total piutang yang diakui atau diterima sementara. Namun, skema ini tidak berlaku bagi aset yang dijaminkan, seperti hak gadai, jaminan fidusia, hipotek, hak tanggungan, dan hak agunan lainnya.
Kurator dapat mengusulkan going concern saat proses verifikasi aset debitur pailit atau setelahnya. Jika perusahaan dianggap masih berpotensi menghasilkan keuntungan, pendapatan yang diperoleh akan dimasukkan ke dalam daftar harta pailit atau budel pailit.
Namun, apabila kelangsungan usaha debitur dinilai dapat merugikan harta pailit, kurator atau kreditur dapat meminta Hakim Pengawas untuk menghentikan upaya tersebut. Jika penerapan asas ini tidak lagi memberikan manfaat bagi mayoritas kreditur, maka going concern tidak perlu dilanjutkan.
Penerapan Asas Going Concern
Lebih lanjut, penerapan asas kelangsungan usaha dalam kepailitan dapat ditemukan dalam ketentuan yang diatur dalam UU No. 37 Tahun 2004. Berdasarkan aturan tersebut, kurator atau kreditur dapat mengajukan permohonan untuk melanjutkan usaha debitur pailit dengan ketentuan sebagai berikut:
- Memperoleh persetujuan dari panitia kreditur sementara, atau jika panitia kreditur tidak dibentuk, maka kurator harus mendapatkan izin dari hakim pengawas;
- Tidak adanya tawaran rencana perdamaian dalam rapat pencocokan piutang, atau jika rencana perdamaian yang diajukan ditolak;
- Pengajuan dilakukan dalam waktu maksimal 8 hari setelah putusan penolakan pengesahan perdamaian memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht).
Melynda Dwi Puspita berkontribusi dalam penulisan artikel ini.