Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Pak Won Dan KR nya

M. Wonohito, pemimpin redaksi harian Kedaulatan Rakyat menggantikan H. Samawi menjadi pemimpin umum, jabatan pemimpin redaksi digantikan oleh Imam Sutrisno, pengalaman Wonohito di K.R. (md)

5 Juli 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUKAN hanya di Kompas terjadi pergantian kepemimpinan. Harian terkenal dari Yogya yang terbit sejak 1945, Kedaulatan Rakyat juga hari-hari ini terbit dengan orang baru di atas. Sebenarnya tak 100% baru. Tapi Wonohito, setelah selama 32 tahun jadi pemimpin redaksinya--hingga namanya praktis merupakan bagian sejarah Yogya yang penuh kenangan revolusi -- sejak awal Juni yang lalu tak lagi dalam jabatan yang sama. Wonohito, 67 tahun, digantikan oleh Imam Surrisno, 44 tahun. Tapi oran tua yang sangat dicintai bawahannya itu bukannya lepas sama sekali dari KR. sahkan dia berhenti sebagai pemimpin redaksi karena harus naik, untuk menggantikan pemimpin umum H. Samawi yang pensiun. Samawi, yang jadi pemimpin umum sejak 1948, mengundurkan diri mulai Mei yang lalu. Dalam usianya yang 66 tahun, ia menderita sakit gula, sakit saraf, "hingga pikiran lemah," katanya. Panjangnya masa jabatan Samawi dan Wonohito merupakan suatu kejadian yang jarang dalam sejarah pers Indonesia. KR didirikan 40 hari setelah proklamasi kemerdekaan, 27 September 1945. Sementara banyak harian lain yang kemudian umurnya terpotong oleh brangus atau bangkrut, KR bisa jalan terus satu-satunya penutupan terjadi di tahun 1946. Ketika pasukan Belanda menduduki Yogya, KR berikut peralatan cetaknya disita. Di bawah republik, KR selamat sampai sekarang, dengan oplah sekitar 30.000 per hari. Pribadi dan sejarah hidup Wonohito nampaknya membantu banyak dalam sejarah KR yang bebas-breidel itu. Pengalaman kewartawanan Wonohito dimulai pada zaman pendudukan Jepang, ketika pers disensur ktat. Pengalaman hidup anak "sep" (kpala) stasiun kereta api dari Gombong Ja-Teng) ini dibentuk di masa revolusi. Di Bogor ia mengasuh majalah Pradjoerit. Di Bogor pula kemudian ia mendirikan Gelora Rakjat, yang dibreidel tentara Belanda waktu musuh itu datang. Maka Wonohito pun pindah ke Yogya --ibukota pemerintahan repubhk yang meluap-luap semangat patrioiknya di masa perang itu. Di Yogya, ia bekerja pada Kedaulatan Rakyat yang merupakan salah saru partner pemerintah Rl dalam menghadapi ancaman agresi Belanda. Hafi Wonohito dengan segera dekat dengan para pemimpin, termasuk Bung Karno dan terutama Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Ketika percetakan KR dalam siraan selanda, Wonohito memenuhi permintaan Let. Kol. Suharto (waktu itu komandan militer kota Yogya, kini Presiden RI) untuk mengusahakan sebuah percetakan buat publikasi pasukan Republik. Caranya: sejumlah karyawan KR memreteli alat percetakan yang dikuasai selanda. Kemudian, seorang sopir membawanya keluar. Dalam waktu seminggu prtelan percetakan itu disusun kembali jadi percetakan kecil di tempat republik. Perawan Desa Pengalaman seperti itu, ketika pers dan penguasa bisa bekerja sama untuk satu tujuan, mungkin mendasari filsafat kewartawanannya. Wonohito merumuskannya sebagai "pers Pancasila". Dalam pandangan ini, pers tidak cenderung melihat pemegang kekuasaan sebagai sesuatu yang perlu diawasii Wonohito bukanlah seorang Mochtar Lubis. Pemilik koran Indonesia Raya yang beberapa kali diberangus ini baik sikap maupun ukuran jangkungnya bagi Wonohito hampir seperti orang Amerika. Wonohito sebaliknya lebih seorang Jawa -- meskipun neneknya berdarah Arab. Ketika di tahun 1968 di Yogya pecah peristiwa Sum Kuning, (gadis desa yang diperkosa sejumlah pemuda anak orang penting, seperti yang kini difilmkan dalam Perawan Desa), harian KR tidak seberani saingannya, Pelopor Yogya, untuk membongkar kesewenang-wenangan pihak polisi waktu itu. Tapi bagi seorang seperti Wonohito, buat apa bikin gara-gara? Sederhana, dengan humor kalem gaya Yogya, Pak Won (panggilannya) lebih senang bersikap santai. Untuk mendapatkan inspirasi menulis tajuk, misalnya, ia mengipas-ngipas api di anglo tempat ia memasak air buat mandi pagi. "Kalau sudah begitu inspirasi biasanya timbul," kata Pak won. Kini ia sendiri tak lagi harus menulis tajuk --meskipun mungkin masih suka mengipas-ngipas. Toh dasar filsafat KR yang ia letakkan akan diteruskan oleh Imam Sutrisno, penggantinya--karena mungkin itu paling cocok buat Yogya. Apalagi KR, seperti kata seorang redakturnya, "tidak berambisi jadi koran nasional. " Pemberitaan daerahnya memang mencapai 75%, suatu hal yang tak bisa dilakukan oleh koran dari Jakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus