Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Tanpa Ojong Dan Celana Drill

Harian Kompas berulang tahun ke-15, mengalami perkembangan yang pesat, oplahnya telah mencapai 300.000 lebih, Jakob Oetama merangkap jadi pemimpin umum menggantikan P.K Ojong yang baru-baru ini meninggal.(md)

5 Juli 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SORE, 30 September 1965 itu hari gawat. Sejumlah perwira ABRI"berpikiran maju" dengan nama Gerakan 30 September mengambil alih kekuasaan. Tapi ketika terdengar bakal ada ketentuan agar setiap koran yang terbit harus menyatakan setia kepada penguasa baru, Pemimpin Umum Kompas P.K. Ojong merencanakan untuk menolak: "Kita tidak akan melakukannya. Sama saja ditutup sekarang dan mungkin menderita beberapa hari lagi." Untunglah perkembangan berubah hari itu juga. Gerakan 30 September terpukul kalah. Harian Kompas yang dipimpinnya bersama Jakob Oetama tidak jadi ditutup. Kisah ini terkenang lagi 28 Juni lalu, ketika koran pagi itu merayakan ulang tahunnya yang ke-15. Sebab perayaan kali ini istimewa sebulan sebelumnya, sang pendiri, P.K. Ojong meninggal dunia mendadak. "Kami kehilangan besar," kata Jakob tentang kepergian Ojong. Bukan berlebihan. Ojong-lah motor utama perusahaan media yang berkembang besar ini. Tapi, tanpa Ojong pun, kata Jakob, Kompas tidak akan banyak berubah. "Karena kami telah membuat Kompas sebagai suatu lembaga, dengan suatu tata organisasi dan tata personalia yang menurut hemat saya cukup mantap," katanya. Pemimpin Redaksi ini, orang Jawa yang terdidik jadi rohaniwan dan guru, sejak Juli, merangkap jadi Pemimpin Umum. Meskipun segi bisnisnya bukan sembarangan, Kompas dengan dipimpin Jakob Oetama nampaknya ingin terus memelihara semangatnya yang semula. Lahir dalam periode yang sukar, Kompas mulai dengan oplah tak lebih dari 10 ribu eksemplar. Terbitnya selalu terlambat. Percetakan masih menyewa di beberapa tempat. Itu pun harus menunggu giliran setelah koran-koran lain selesai dicetak. Dalam tiga bulan perrama sirkulasinya macet. "Waktu itu kalau dibuat studi kelayakan secara ekonomis-akademis pasti akan menunjukkan tidak cukup feasible untuk mendirikan suratkabar baru," tulis Indra Gunawan, warrawan senior Kompas, dalam tulisannya menyambut ulang tahun korannya pekan lalu. Tapi dari koran yang hidupnya payah dan hanya didukung oleh sekitar tujuh staf redaksi dan sepuluh reporter itu, Kompas kini merupakan harian terbesar dengan dukungan lebih 70 tenaga redaksi. Ia bukan hanya berhasil menggelembungkan oplahnya menjadi lebih 300 ribu eksemplar sehari--terbesar agaknya di Asia Tenggara. Koran ini, yang diterbitkan oleh Yayasan Bentara akyat, juga berhasil melahirkan usaha-usaha lain, di samping majalah bulanan Intisari yang telah terbit sebelum Kompas. Antara lain, lahir PT Gramedia yang bergerak di bidang percetakan, penerbitan, toko buku dan film. Itu berarti dengan mereka yang bekerja di Kompas, jumlah seluruh karyawan sekarang ada seribu orang lebih. Perkembangan Kompas yang pesat itu terlukis dalam cerita Indra Gunawan. Katanya, memang sudah sukar untuk dapat menyaksikan pemandangan seperti dulu celana drill dan kemeja berkolin atau pemimpin umum yang turun sendiri mengantarkan koran ke agen-agen. Di bidang redaksi Kompas juga terus melakukan peningkatan. Menurut Jakob Oetama, Kompas berusaha agar persoalan yang diberitakan harus diungkap dengan data yang lengkap dan analisa yang lebih mencakup. Meskipun diakuinya: "Dalam usaha itu kadan-kadang kami berhasil kadang-kadang tidak." Memang sejak semula, kata Indra Gunawan, koran ini ingin menawarkan corak lain terhadap jurnalisme Indonesia. Mungkin itu sebabnya dalam porsi yang cukup besar termuat artikel-artikel berupa kupasan atau bahasan suatu masalah. "Karena banyaknya artikel itu Kompas sering disebut koran majalah," kata Jakob. Model -- atau pendekatan -- yang semacam itu dapat dijumpai di harian ropa kontinental seperti Le Monc di Prancis dan Die Welt di Jerman. warna intelektual ini nampaknya dirawat dengan kebanggaan oleh para pengasuhnya. Dan melihat meningkatnya jumlah pembaca dari tahun ke tahun, nampaknya warna itu juga punya daya tarik bagi orang banyak. Tentu saja ada yang mengritik, misalnya, bahwa berita yang hangat tidak terasa hadirnya di Kompas. Ada juga kritik yang lebih reknis misalnya bahwa reportase di halaman satu yang seharusnya perlu disebut nama penulisnya karena mengandung opini--terkadang dibiarkan sebagai berita yang seolah-olah hanya mengandung fakta. Tapi pada umumnya pembaca tidak begitu mempedulikan kekurangan-kekurangan ini. Kompas tetap merupakan salah satu harian yang terpandang tinggi. Jakob Oetama sendiri mengatakan bahwa Kompas sedang mengejar target perbaikan mutu para wartawannya. "Wartawan sekarang dituntut untuk harus menguasai, misalnya, metode pengamatan sosial elementer," kata Jakob. Perlunya perbaikan mutu teknis para wartawan tentu saja bukan hanya persoalan harian Kompas. Kesulitan yang dihadapi Kompas dewasa ini ialah bahwa usaha perbaikan itu bisa agak terhambat. Dibatasinya halaman menjadi hanya 12, demikian juga pembatasan iklan mengurangi pendapatan perusahaan. Meskipun umum diketahui bahwa para karyawan Kompas khususnya wartawannya mempunyai penghasilan yang layak. Berapa besarnya, Jakob Oetama sendiri tak bersedia mengungkapkan. Cendikiawan kelahiran desa Borobudur yang berumur 50 tahun ini hanya tersenyum rendah hati bila ia ditanya berapa gaji para wartawannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus