SORE, 30 September 1965 itu hari gawat. Sejumlah perwira
ABRI"berpikiran maju" dengan nama Gerakan 30 September mengambil
alih kekuasaan. Tapi ketika terdengar bakal ada ketentuan agar
setiap koran yang terbit harus menyatakan setia kepada penguasa
baru, Pemimpin Umum Kompas P.K. Ojong merencanakan untuk
menolak: "Kita tidak akan melakukannya. Sama saja ditutup
sekarang dan mungkin menderita beberapa hari lagi."
Untunglah perkembangan berubah hari itu juga. Gerakan 30
September terpukul kalah. Harian Kompas yang dipimpinnya bersama
Jakob Oetama tidak jadi ditutup. Kisah ini terkenang lagi 28
Juni lalu, ketika koran pagi itu merayakan ulang tahunnya yang
ke-15. Sebab perayaan kali ini istimewa sebulan sebelumnya, sang
pendiri, P.K. Ojong meninggal dunia mendadak.
"Kami kehilangan besar," kata Jakob tentang kepergian Ojong.
Bukan berlebihan. Ojong-lah motor utama perusahaan media yang
berkembang besar ini. Tapi, tanpa Ojong pun, kata Jakob, Kompas
tidak akan banyak berubah. "Karena kami telah membuat Kompas
sebagai suatu lembaga, dengan suatu tata organisasi dan tata
personalia yang menurut hemat saya cukup mantap," katanya.
Pemimpin Redaksi ini, orang Jawa yang terdidik jadi rohaniwan
dan guru, sejak Juli, merangkap jadi Pemimpin Umum.
Meskipun segi bisnisnya bukan sembarangan, Kompas dengan
dipimpin Jakob Oetama nampaknya ingin terus memelihara
semangatnya yang semula. Lahir dalam periode yang sukar, Kompas
mulai dengan oplah tak lebih dari 10 ribu eksemplar. Terbitnya
selalu terlambat. Percetakan masih menyewa di beberapa tempat.
Itu pun harus menunggu giliran setelah koran-koran lain selesai
dicetak. Dalam tiga bulan perrama sirkulasinya macet.
"Waktu itu kalau dibuat studi kelayakan secara ekonomis-akademis
pasti akan menunjukkan tidak cukup feasible untuk mendirikan
suratkabar baru," tulis Indra Gunawan, warrawan senior Kompas,
dalam tulisannya menyambut ulang tahun korannya pekan lalu.
Tapi dari koran yang hidupnya payah dan hanya didukung oleh
sekitar tujuh staf redaksi dan sepuluh reporter itu, Kompas kini
merupakan harian terbesar dengan dukungan lebih 70 tenaga
redaksi. Ia bukan hanya berhasil menggelembungkan oplahnya
menjadi lebih 300 ribu eksemplar sehari--terbesar agaknya di
Asia Tenggara. Koran ini, yang diterbitkan oleh Yayasan Bentara
akyat, juga berhasil melahirkan usaha-usaha lain, di samping
majalah bulanan Intisari yang telah terbit sebelum Kompas.
Antara lain, lahir PT Gramedia yang bergerak di bidang
percetakan, penerbitan, toko buku dan film. Itu berarti dengan
mereka yang bekerja di Kompas, jumlah seluruh karyawan sekarang
ada seribu orang lebih.
Perkembangan Kompas yang pesat itu terlukis dalam cerita Indra
Gunawan. Katanya, memang sudah sukar untuk dapat menyaksikan
pemandangan seperti dulu celana drill dan kemeja berkolin atau
pemimpin umum yang turun sendiri mengantarkan koran ke
agen-agen.
Di bidang redaksi Kompas juga terus melakukan peningkatan.
Menurut Jakob Oetama, Kompas berusaha agar persoalan yang
diberitakan harus diungkap dengan data yang lengkap dan analisa
yang lebih mencakup. Meskipun diakuinya: "Dalam usaha itu
kadan-kadang kami berhasil kadang-kadang tidak."
Memang sejak semula, kata Indra Gunawan, koran ini ingin
menawarkan corak lain terhadap jurnalisme Indonesia. Mungkin itu
sebabnya dalam porsi yang cukup besar termuat artikel-artikel
berupa kupasan atau bahasan suatu masalah. "Karena banyaknya
artikel itu Kompas sering disebut koran majalah," kata Jakob.
Model -- atau pendekatan -- yang semacam itu dapat dijumpai di
harian ropa kontinental seperti Le Monc di Prancis dan Die
Welt di Jerman. warna intelektual ini nampaknya dirawat dengan
kebanggaan oleh para pengasuhnya. Dan melihat meningkatnya
jumlah pembaca dari tahun ke tahun, nampaknya warna itu juga
punya daya tarik bagi orang banyak.
Tentu saja ada yang mengritik, misalnya, bahwa berita yang
hangat tidak terasa hadirnya di Kompas. Ada juga kritik yang
lebih reknis misalnya bahwa reportase di halaman satu yang
seharusnya perlu disebut nama penulisnya karena mengandung
opini--terkadang dibiarkan sebagai berita yang seolah-olah hanya
mengandung fakta. Tapi pada umumnya pembaca tidak begitu
mempedulikan kekurangan-kekurangan ini. Kompas tetap merupakan
salah satu harian yang terpandang tinggi.
Jakob Oetama sendiri mengatakan bahwa Kompas sedang mengejar
target perbaikan mutu para wartawannya. "Wartawan sekarang
dituntut untuk harus menguasai, misalnya, metode pengamatan
sosial elementer," kata Jakob.
Perlunya perbaikan mutu teknis para wartawan tentu saja bukan
hanya persoalan harian Kompas. Kesulitan yang dihadapi Kompas
dewasa ini ialah bahwa usaha perbaikan itu bisa agak terhambat.
Dibatasinya halaman menjadi hanya 12, demikian juga pembatasan
iklan mengurangi pendapatan perusahaan. Meskipun umum diketahui
bahwa para karyawan Kompas khususnya wartawannya mempunyai
penghasilan yang layak.
Berapa besarnya, Jakob Oetama sendiri tak bersedia
mengungkapkan. Cendikiawan kelahiran desa Borobudur yang
berumur 50 tahun ini hanya tersenyum rendah hati bila ia ditanya
berapa gaji para wartawannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini