Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Pamungkas Baru dari Mahathir

Pemerintahan Mahathir Mohamad mengajukan RUU pers yang baru yang akan memberi kewenangan lebih besar kepada pemerintah untuk melarang penerbitan yang bisa mengacaukan pendapat umum. Timbul berbagai reaksi.

5 Desember 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK akan ada lagi pers yang "galak" di Tanah Semenanjung. Tak lama setelah pembredelan empat koran -- The Star, The Sunday Star (keduanya berbahasa Inggris), Sin Chev Jit Poh (Cina), dan Watan (Melayu) -- pemerintah segera menyiapkan sebuah rancangan undang-undang yang akan membuat pers Malaysia menjadi "macan kertas". Tak cuma itu konsekuensinya bila rancangan yang disodorkan pemerintah tersebut disahkan parlemen menjadi undang-undang. Lembaga bredel, yang sekarang banyak dikecam, tak akan lagi dianggap sebagai hal yang tabu. Alasan: rancangan itu, yang merupakan amendemen dari Akta Percetakan Pers dan Penerbitan 1984, memuat pasal yang memberikan kewenangan luas kepada pemerintah untuk melarang penerbitan yang dapat mengacaukan pendapat umum. Mengapa pemerintahan Perdana Menteri Mahathir Mohamad bereaksi keras terhadap pers? "Ada orang-orang dan surat kabar tertentu, seperti The Star, yang menggunakan sikap liberal kami untuk memainkan sentimen perkauman," katanya. Kerusuhan rasial, Oktober lalu, memang nyaris marak di Malaysia, akibat hasutan sejumlah pemuka masyarakat dan tulisan di koran-koran tertentu. Bersamaan dengan pembredelan empat koran, pemerintah, berdasarkan Akta Keamanan Dalam Negeri (ISA), juga melakukan penangkapan terhadap 106 orang yang dicurigai mendorong ketegangan antarkaum di Malaysia. Melihat isi rancangan itu -- yang diajukan di parlemen pada 2 Desember -- dapat mempersempit ruang gerak pers, Kesatuan Kebangsaan Wartawan Malaysia (NUJ) mengimbau pemerintah supaya menggugurkan Akta Pers yang baru itu. "Penerapan Akta Pers 1984 saja telah memperburuk keadaan, apalagi diamendir dengan undang-undang yang lebih keras," kata G. Umakanthan, juru bicara NUJ. Ternyata, tak semua orang pers setuju dengan sikap keras NUJ. Pemimpin Redaksi The New Straits Time P.C. Shivadas yakin akta pers yang baru justru akan membuat pers menjadi lebih bertanggung jawab dalam pemberitaan. Karena itu, ia mengimbau supaya pers tak buru-buru memvonis tak suka rancangan undang-undang tersebut. Bagaimana soal "pengaturan" pers di negara-negara anggota ASEAN lainnya? Singapura merupakan negara yang paling ketat mengatur pers. Undang-undang mereka bahkan mengatur cara berlangganan penerbitan asing. Seorang warga negara Singapura bisa didenda S$ 2.000 atau dijatuhi hukuman enam bulan penjara bila kedapatan berlangganan penerbitan asing tanpa melalui penyalur resmi yang ditunjuk Kementerian Penerangan dan Komunikasi. Indonesia, yang menganut sistem pers bebas dan bertanggung jawab, tidak sampai mengatur sejauh yang diberlakukan di Singapura. Sistem pers Indonesia, seperti kata Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika Janner Sinaga di depan pertemuan para editor ASEAN di Bali, akhir Oktober, menuntut keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab dari pers. Maka, dalam Undang-undang Pokok Pers No. 21 Tahun 1982 dengan jelas diterakan bahwa pers punya hak kontrol, kritik, dan koreksi yang bersifat konstruktif. Bahkan pers nasional tak dikenai sensor dan pembredelan. Tapi bukan berarti tidak ada imbauan terutama untuk hal-hal yang menyangkut suku, agama, ras, dan antargolongan. Pers Indonesia, selain punya Undang-undang Pokok Pers, juga memiliki Kode Etik Jurnalistik, serta seperangkat organisasi yang mengatur kehidupan pers nasional. Ada lembaga Dewan Pers, ada Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), ada Dewan Kehormatan PWI, dan ada Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) -- yang semuanya merupakan organisasi yang berkaitan dalam mengatur kehidupan pers Indonesia. Selain itu, pemerintah Indonesia menyiapkan pula pengaturan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), yang memberikan peluang kepada karyawan pers memperoleh saham. Bahkan angka pemilikan oleh karyawan juga ditentukan -- minimal 20% dari modal perusahaan. SIUPP ini bisa dibatalkan oleh menteri penerangan apabila penerbitan pers bersangkutan tidak mencerminkan kehidupan pers yang sehat, bebas, dan bertanggung jawab. Bagaimana dengan kehidupan pers di Muangthai dan Filipina? Menurut majalah Far Eastern Economic Review terbitan 21 Mei, kehidupan pers di Muangthai saat ini salah satu yang terbebas di Asia Tenggara. Toh, adakalanya, mereka melakukan kompromi-kompromi untuk bisa bertahan hidup. Kebebasan yang mereka miliki hampir serupa dengan apa yang diperoleh pers Indonesia. "Kami tak menghendaki kebebasan yang tanpa batas," kata redaktur pelaksana surat kabar terkemuka Machinon, Pongsak Payakvichien. Akan halnya Filipina adalah sebuah pengecualian. Pers Filipina terasa sekali dipengaruhi sistem pers Amerika -- bisa menulis apa mereka suka. Tak heran bila tulisan pers Filipina sering merepotkan pemerintah. Tampaknya, hal itulah yang ingin dicegah pemerintahan Mahathir dengan mengajukan rancangan undang-undang pers yang baru. Karena rancangan itu akan memberi peran yang lebih besar kepada pemerintah dalam membina kehidupan pers di Malaysia. Menurut rancangan undang-undang yang baru, menteri dalam negeri,yang berwenang mengeluarkan izin terbit dan cetak serta pembekuannya, dapat melarang penerbitan bahan yang dianggap bisa mengacaukan pendapat umum tanpa melalui peringatan terlebih dulu. Sebelumnya, pelarangan harus lewat peringatan. Selain itu, rancangan juga memberikan kewenangan kepada Kementerian Dalam Negeri, sebagai pemegang ISA, menangkap dan memenjarakan seseorang, yang dianggap bisa membahayakan keamanan negara, tanpa batas waktu dan mengadilinya. Maka, NUJ getol sekali menuntut pembatalan rancangan undang-undang itu. Tampaknya, usaha itu sulit dicapai karena sebagian besar anggota parlemen adalah orang-orang Barisan Nasional, yang berkuasa di Malaysia sekarang. Tapi, Pemimpin Umum surat kabar Utusan Malaysia, Yusuf Bador, tak melihat rancangan undang-undang yang baru berbeda banyak dengan Akta Pers 1984. "Mana ada negara di dunia ini yang pers seratus persen liberal?" kata Yusuf.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus