BELUM tengah malam. Tapi penghuni Kampung Baru sudah lelap. Tohun Gultom, 65 tahun, tersentak kaget. Didengarnya keributan di halaman rumahnya. Ia mengintip, siapa gerangan yang datang. Bah, sekitar 30 orang mengepung rumahnya. Membawa tombak, parang, pentungan kayu. Mereka menyorotkan senter dan berteriak agar Tohun keluar. Ia membangunkan anak istrinya. Tapi ia sendiri lalu ngumpet di belakang rumah. Gerombolan mendobrak pintu, mengobrak-abrik seluruh isi rumah. Jerit tangis tak dihiraukan. Istri Tohun bahkan diseruduk tombak. Luka parah. Dan Tohun tetap bersembunyi hingga mereka pergi. Mereka lantas menuju sasaran amuk berikutnya. Rumah Mintan Gultom, 58 tahun dan Bisman Gultom, 50 tahun -- adik-adik Tohun. Di sini mereka bahkan siap membakar rumah. Tapi Bisman dan keluarganya sempat berdoa, "Tuhan, kalau kami bersalah, biarlah hari ini juga kami mati." Lalu Bisman mengambil pedang, istri dan anaknya mengambil tombak. Siap melawan. Dan Tuhan melindungi. Mereka selamat. Para pengacau itu pergi. Itu bukan adegan film Santet. Tapi kisah nyata itu terjadi pada 28 Oktober lalu, di Kampung Baru, Kecamatan Tanjung Tiram -- 151 km dari Medan. Gerombolan tersebut terdiri warga sedesa juga. Mereka memang bukan perampok. Tak ada harta yang dijarah, meski bagi pemilik rumah, harta bendanya itu tak bisa lagi dimanfaatkan. Ketika Polres Asahan mengusut, persoalan jadi jelas. Tiga bersaudara itu dituduh memelihara begu ganjang -- hantu yang dikenal penduduk Tapanuli, yang diyakini bisa diperintah membunuh orang. Tapi Tohun membantah. "Itu fitnah. Begu ganjang tak pernah kami kenal, karena kami ber-Tuhan," katanya. Korban kekerasan gara-gara dituduh memelihara begu ganjang cukup banyak, terutama di Tapanuli. Di Jawa Barat, korban pembunuhan juga berjatuhan lantaran dicurigai jadi tukang teluh. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, korban bergelimpangan karena disangka nyantet. Di Bali, pembunuhan sering terjadi karena korban dianggap punya ilmu leak. Di Nusa Tenggara Barat dan Timur, pertarungan ilmu leo-leo tak jarang memakan korban. Dalam ilmu ini ada bersatu nusa dan bersatu bangsa juga. Karena bermacam bahasa untuk satu nama. Begu ganjang (Tapanuli), teluh (Sunda), tenung (Jawa Tengah), santet, modhong (Jawa Timur), leak (Bali), leo-leo, pedang pekir (Nusa Tenggara), se'er (Madura), dan seterusnya.... Bermacam sebutan itu ditandai satu macam kesamaan. Ada orang yang sakit aneh tak sembuh-sembuh meski sudah dibawa ke dokter, lalu dibawa ke dukun. Eh, di tempat Pak Dukun, ia bilang, "Wah, ada yang ngerjain." Lalu syak wasangka berkembang. Dan sasaran dicari. Dan korban pun jatuh, setelah dicegat, didatangi di rumahnya, dipukuli, dikeroyok, dirajam. Lingkungan masyarakatnya masih juga sama. Saudara-saudara kita yang mempercayai santet dan sejenisnya rata-rata berpendidikan rendah. Biasanya terimpit kesulitan hidup, sarana kesehatan tak memadai. Maka, kalau ada yang sakit dan dibawa ke dokter. Jika pengobatannya tak tuntas, segera muncul yang gampangan -- keluarganya bilang: kena guna-guna. Misalnya lingkungan di Kampung Baru tadi, yang juga disebut Air Hitam. Sejak tiga tahun lalu, kampung di wilayah Desa Gajah ini dilanda penyakit yang dianggap aneh: perut kembung disertai bisul berpindah-pindah. Tak ada yang melaporkannya ke puskesmas. Tapi hasil dari musyawarah desa bersepakat mencari dukun yang bisa membongkar orang yang disangka si keladi maut itu. Lalu beberapa nama "dinominasikan" untuk diganyang. "Setelah dipilih-pilih, disepakati Luter Sinaga dari Pematangsiantar. Dia bisa menunjukkan gambar pelaku," kata seorang warga. Luter Sinaga, 49 tahun, ayah tujuh anak, sebenarnya penatua sebuah gereja dan guru SD. Tapi tamu yang hendak "berobat" cukup banyak, mencari tahu, siapa gerangan si pemelihara setan begu ganjang. Ia membongkar lawannya dengan perantaraan anak yang belum akil balig -- yang masih jujur, begitulah. Setelah tubuh anak itu diolesi minyak, Luter mengadu jempol jarinya dengan jempol si anak, sambil mengucapkan mantra. Lalu ia berkata, "Adam, Adam, tunjukkan siapa orangnya." Pelan-pelan kuku jempol anak itu bagai televisi mini, memancarkan gambar yang hanya dia sendiri yang bisa melihatnya. Siapa? Anak yang dibawa warga desa itu, konon, melihat wajah Tohun Gultom, lalu Mintan dan Bisman Gultom. Maka, mengamuklah penduduk kepada tiga bersaudara itu. Kini ketiga korban mengungsi. Tapi Kapolres Asahan, Letkol Sofyan Yacob, masih mengusut kasus main hakim sendiri itu. Sejumlah orang diperiksa. "Luter akan diajukan ke pengadilan karena memfitnah," ujar Sofyan. Luther ditahan tiga hari, lalu pulang. "Saya belum pernah melihat begu ganjang. Saya juga tak kenal dengan orang yang dituduh pemilik begu ganjang itu. Tapi anak kecil itulah yang melihat mereka. Mau apa lagi?" katanya kepada Mukhlizardy dari TEMPO. Cerita lain. Di Desa Simarimbun, Pematangsiantar, selama setahun ini banyak orang meninggal. Penyebabnya juga "aneh". Menurut kepala desanya, R. Silalahi, ada orang mati ketika sedang membajak sawah, atau karena tersandung batu, bahkan ada yang sedang membaca Alkitab. Tiba-tiba, awal Oktober lalu, seorang pelajar SMP, Lasma boru Siahaan, kesurupan. Ia mengoceh: maut misterius itu disebar begu ganjang, peliharaan Jahotman dan Osmar. Kendati mereka berhasil menyelamatkan diri, akibat lain: rumah Jahotman Ambarita dan Osmar Siahaan jadi puing, dibakar penduduk, 6 Oktober lalu. Begitu mudah penduduk digerakkan dengan dalih begu ganjang. Padahal, penyakit-penyakit itu, sepanjang analisa Dokter Batara Simangunsong, kepala puskesmas Tigabalata, karena tak sehatnya lingkungan. Kata Batara, penduduk mandi hanya sekali sehari di sungai kecil yang airnya keruh bercampur tahi babi. Tentu saja badan jadi gatal-gatal. Dan kematian itu? Ada yang karena tumor, maag, darah tinggi. Dan sering tak sempat ditangani tuntas di puskesmas, karena terbatasnya peralatan. Itu di Sumatera Utara. Di Jawa Barat kepala Sarma menggelinding dari tubuhnya karena dipancung penduduk di Desa Pasir Dalem, Cianjur. Lalu anaknya, Barma, juga dihabisi malam itu juga (TEMPO, 3 Oktober). Mereka dituduh sebagai tukang teluh. Lalu dirajam "setahu" Kepala Desa Pasir Dalem, Sumirta. Tapi ternyata ada faktor lain di balik itu: Sarma dan Barma suka mengkritik kebijaksanaan kepala desa. Pengadilan Negeri Garut kini menyidangkan kasus pembunuhan Sukar'i, alias Samber Nyawa, 70 tahun, penduduk Kampung Cigulamping, Desa Margawati, Garut. Mei lalu, tubuhnya diikat tali plastik lalu ujung-ujungnya ditarik kuat-kuat oleh sejumlah orang. Bersama si kakek, juga dibunuh Ma'ah, istrinya, dan dua anaknya, Wasman dan Safaah (TEMPO, I Agustus). Apa kata si pembunuh? "Kami puas. Tanpa Sukar'i, hidup kami tenteram," kata Unas, seorang dari 17 terdakwa. Pengadilan Negeri Baleendah, Kabupaten Bandung, sejak akhir Oktober lalu menyidangkan kematian Ki Ojeh, alias Uyut Ojeh, 85 tahun. "Dia dukun teluh, 14 orang sudah diteluhnya dan mati. Masyarakat resah, marah, dan ketakutan. Akhirnya, ia dibunuh," kata Cece, salah seorang tersangka di ruang sidang. Malam itu, 7 Juni lalu, Ki Ojeh tidur dirumah tetangganya, Papad, montir radio, di Desa Cilangari, Kabupaten Bandung. Alasannya, seperti dikatakan Papad, ingin mendengarkan siaran radio. Ketika itulah si kakek mendengar orang mendobrak rumah, dan teriakan-teriakan agar semua penghuninya keluar. Panik. Semua orang keluar, kecuali Ki Ojeh. Bagaikan pendekar tua, ia menyeruak ke kolong balai. Mengambil golok. Tapi jelas, pertarungan itu tak seimbang: satu lawan lima belas. Ki Ojeh tak berdaya. Ia dihajar dari kiri kanan, muka belakang. Bahkan ketika dimasukkan ke dalam sarung dan dipanggul, mayatnya masih dibikin runyam, dari kanan kiri. Dua hari kemudian, atas laporan Papad, para pengeroyok diciduk dan diperiksa polisi. Kini mereka duduk di kursi terdakwa. Tanpa bermaksud mempengaruhi jalannya sidang, tetapi bagaimana masyarakat sampai berprasangka Ki Ojeh itu tukang teluh, Hedy Susanto dari TEMPO menggali banyak cerita. Beberapa kutipan: Hajaruddin, 30 tahun, tukang ojek dari Desa Sindang Jaya (desa asal Ki Ojeh) pernah bentrok dengan sang kakek. Soalnya sepele. "Ia minta rokok, padahal saya tak punya," kata Abuy, panggilan tukang ojek ini. Mungkin Ki Ojeh marah lalu (mungkin lagi) ia membuat perhitungan. "Ia salah tembak. Yang kena istri saya," kata Abuy. Istrinya itu mendadak sakit perut. Ketika diobati di Citiis, dari perut, hiiii: keluar beling, bulu ulat, tali ijuk, serbuk kayu. Benar tidaknya, wallahualam. Dalam pada itu, Saifullah, cucu Ki Ojeh, anehnya malah banyak "mencemarkan" nama kakeknya. Si kakek, katanya, suka minta ini dan itu. Dari tembakau sampai ikan mujair. Kalau yang diminta itu tak diberikan saat itu juga, katanya, mendadak saja sakit perut. "Istri saya pernah dikerjaiin sampai terguling-guling di lantai. Lalu saya tanya Uyut Ojeh, kenapa bisa begitu. Uyut menyuruh istri saya mandi dan saya membakar kemenyan. Setelah itu istri saya langsung sembuh," kata Saifullah. Sebagaimana jamaknya di sebuah desa, ada juga cerita yang membela Ki Ojeh. Dialah, Papad dan anaknya, Bo'i. Di pengadilan itu mereka memberi kesaksian: Ki Ojeh suka menolong orang sakit, terutama yang sakit perut dan mata. Lantas mana yang bisa dipercaya? Hampir semua tukang santet juga berpraktek sebagai dukun penyembuh penyakit. Sedangkan penyebab sakit akibat santet memang tak semuanya bisa dijelaskan dengan rontgen, secara nalar, ilmiah dengan ilmu kedokteran. Malah banyak diketahui orang bahwa ada dokter kini mempercayai adanya santet, Juga percaya pada penyakit lantaran disantet. Seperti yang terjadi pada Hadi Suwarno, penduduk Desa Tritih Wetan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Ia menderita sakit perut dan kaki sebelah kanannya membengkak. Perutnya bertambah besar dari hari ke hari. Dan di kaki kanannya ada benjolan hitam. Ketika ia diperiksa, dokter menyatakan Hadi kena maag. Lalu diberi obat, tapi tak sembuh-sembuh. Dokter menyarankan agar Hadi memeriksakannya ke RSUP Dr. Sardjito di Yogya, atau menyuruh memilih berobat pada dukun. Hadi memilih "cara desa". Ia mengunjungi Mbah Surya, dukun di Desa Lakbok, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Ia kaget ketika diberi tahu kena santet. Selama tiga hari tiga malam, dari perutnya keluar puluhan paku kecil, pecahan kaca, dan rambut manusia. "Dari lutut keluar kawat sebesar jarum sepanjang 20 sentimeter," kata Hadi kepada Slamet Subagyo dari TEMPO. "Kalau lewat 40 hari sejak pertama sakit saya tak berobat pada Mbah Surya, katanya tidak bisa disembuhkan." Mbah Surya juga menjelaskan terinci siapa penyantetnya. Menurut Hadi, ya temannya sesama pedagang. Tentu temannya itu menyantet lewat dukun juga. Meski sudah tahu, Hadi tak dendam, diam-diam memutuskan hubungan dagang mereka. Bukan pedagang atau petani saja yang bisa disantet. Wartawan juga kena. Habir Bahri wartawan mingguan Madura Membangun, berkali-kali kena santet. Untung, bekas Kepala Kantor P dan K Kecamatan Bluto, Sumenep, ini punya kekuatan untuk melawan santet. Suatu malam, ia menemukan ikan laut segar di ruang tamu. Ikan itu dibawanya ke bak mandi, eh, tiba-tiba raib. Beberapa hari kemudian, ayam betina dalam kandang yang terkunci hilang dan berganti dengan ayam betina yang lebih besar. Salah lihat? Bukan, ini santet. Maka, Habir membalas dendam: dibiarkannya ayam itu sampai mati kelaparan. Lalu, ada ular menggerayangi tempat tldurnya. Semua tanda itu, menurut Habir, "Baru mengintai calon mangsanya." Di malam yang lain, ada meteor menyala jatuh di halaman. Tapi begitu sampai di tanah, wujud meteor berubah jadi telur busuk. Isinya: pecahan silet berkarat, sejumlah jarum kecil, ijuk. Juga sedikit kain kafan. Nah, inilah se'er. "Saya kencingi saja bungkusan itu, lalu saya buang ke laut," katanya. Dan wartawan kita itu lolos. Walau tak mempan disantet, toh Habir bingung juga karena tak tahu siapa musuhnya. Akhirnya, ia menemui "guru"-nya di Blitar. Lewat berbagai upacara yang rumit, Habir tahu, musuhnya itu ternyata pimpinan proyek SD. Habir memang pernah menulis berita yang menyorot kasus penyimpangan pembangunan SD di Sumenep. Demikian hebatkah santet itu, hingga juga ada yang menyeminarkannya ? Para "ahli" di berbagai tempat pada umumnya mengakui, santet yang paling ampuh terletak di bagian-bagian timur suatu daerah. Untuk Pulau Jawa, daerah Banyuwangi, Jember, dan Probolinggo merupakan ajang pertarungan santet yang terkenal. Mbok Pramu, penjual ikan di Desa Randu Putih, Probolinggo, masih syukur bisa diselamatkan dari amukan orang. Ia dituduh menyantet tetangganya, Mbok Potro. Tuduhan itu bermula pada ucapan Mbok Pramu ketika tahu tetangganya itu sakit. "Percuma Mbok Potro diobati, ia tak akan sembuh," begitu ucapan lancang yang tak layak itu. Memang, Mbok Potro meninggal. Maka, di awal Oktober lalu, rumah Pramu dikepung oleh orang-orang yang siap dengan pentungannya. Aparat desa mencium gelagat ini. Si Mbok diamankan. Tapi belakangan di depan polisi Mbok Pramu mengakui menyantet Mbok Potro entah kalau pengakuan itu terpaksa. Santet-menyantet begini sulit dibuktikan. Kasus pembunuhan dengan dalih santet jadi perkara pembunuhan berencana -- tanpa menyebut santet dalam pertimbangan hukumnya. Contohnya, kasus Ketut Cina. Oktober lalu, ia divonis 9 tahun penjara di Pengadilan Negeri Amlapura, Bali, karena terbukti membunuh Nengah Dug. Ketut Cina merasa harus membunuh, karena Nengah Dug ini sudah dikenal punya ilmu leak -- dan banyak pula korbannya. Tapi apa kata hakim? "Bisa saja itu alasan yang dicari-cari, sekadar untuk melepaskan tanggung jawab," kata Hakim Sukarno, S.H., yang mengadili. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Garut, Jawa Barat, kini sedang memeriksa kasus Sukar'i -- tak mempersoalkan teluh, walau para terdakwa ngotot agar persoalannya dibawa ke sana. "Yang kami periksa perkara pembunuhan," kata Hakim Hazli Saleh. "Mungkin saja motivasi pembunuhan itu santet yang tak dapat dibuktikan." Dan begu ganjang? "Secara sosiologis tak bisa dipungkiri adanya, tapi sulit pembuktiannya secara hukum formal," kata Parluhutan Siregar, hakim di Pengadilan Negeri Simalungun, yang berkali-kali menangani kasus yang disebut begu itu. Akhirnya santet, alias begu ganjang, alias leo-leo alias se-er alias teluh bukan saja ilmu hitam, tapi juga tak bisa hitam-putih di depan hukum. Tak ketemu ruas dengan buku, bak kata pepatah -- walau ini menyangkut soal nyawa. Sekali lagi, ini urusan nyawa manusia, Bung! Putu Setia & Biro-biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini