Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Pemuda Itu Juga Barometer

Gairah kegiatan agama di kalangan remaja terlihat tampak naik, pendidikan agama di sekolah belum ideal/efektif, maka perlu disempurnakan dengan melihat kebutuhan nyata anak didiknya.(ag)

21 April 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BARANGKALI saja, kegiatan ajojing sekarang ini tidak terlalu jauh jaraknya dari kegiatan keagamaan -- di kalangan remaja kota. Diketahui, dewasa ini terlihat gairah remaja dalam kehidupan agama. Dan bila di kota besar seperti Jakarta juga terlihat maraknya kegiatan diskotik misalnya (lihat: Hiburan), memang tidak bisa dikatakan para pelakunya remaja yang sama -- atau bahwa remaja agama begitu saja menerima kegiatan remaja ajojing. Tapi, sebaliknya, tak bisa dikatakan bahwa kedua kalangan itu benar-benar terpisah oleh perbedaan kultur. Menarik, bahwa dalam sebuah seminar tentang remaja, kebudayaan dan agama yang diselenggarakan baru-baru ini (9 - 12 April, oleh Yayasan Tenaga Kerja Indonesia -- YTKI/Pusat Sumber Daya Manusia, bekerjasama dengan Friedrich Ebert Stiftung), secara tidak sengaja nuansa kota besar itu terbang cukup kuat. Padahal para pemuda yang dipanggil -- sekitar 25 orang yang datang -- berasal dari berbagai propinsi di tanah air. Tidak termasuk tokoh-tokoh seperti Dr. Harun Nasution, Imron Rosjadi, J.B. Mangunwidjaja, Dr. Anwar Haryono, Prof. Ihromi, Abdurrahman Wahid, Zamroni, drs. Gde Jaksa, Mursalin sebagian orang YTKI sendiri. Belum Ideal Masalahnya barangkali: para pemuda yang diundang, meskipun ada yang dari pelosok -- dari Pesantren Pabelan Muntilan misalnya, di samping dari bagian pemuda DGI -- kelihatan tokoh-tokoh - baik yang pemimpin organisasi atau pengajian, atau yang pemikir. Juga ada dari KNPI Pusat. Semuanya sudah tentu mengenal kota besar, atau melihat wibawanya bahkan bagi citarasa remaja di pelosok. Seorang peserta puteri dari Darul Aitam Surabaya misalnya, menanggapi pembicaraan tentang ajojing, memberi contoh tentang kemungkinan adanya jenis ajojing yang tidak perlu dilarang. Atau peserta dari Pesantren Darul Falah Bogor yang bertanya: benarkah tidak ada 'film biru' yang bermanfaat. Sedang dari Remaja Islam Sunda Kelapa (RISKA), Jakarta, keluar usul agar sebagian acara ceramah agama di TVRI diserahkan misalnya kepada grup Prambors, Bimbo atau yang lain, sehinga "kita bisa membanding seberapa jauh penghayatan keagamaan mereka itu dibanding kita." Anggapan kuat dari jalannya sidang ialah: betapa pun kegiatan agama di kaIangan remaja tampak naik, pendidikan aga di sekolah sama sekali belum ideal. Banyak ilustrasi dikemukakan. Juga gagasan. Sampai-sampai Mangunwijaya mempertanyakan: yang diperlukan sebenarnya pendidikan agama ataukah pendidikan iman. Adakah yang penting 'isi' agama yang tetap, ataukah 'ekspresi' yang dapat berobah. Kesimpulan, yang dirumuskan di hari terakhir sesudah berbagai sidang (dan juga peninjauan, seperti ke kompleks pelacuran atau penjara wanita), kemudian memberi beberapa rekomendasi kepada pemerintah. Antara lain, konsep pendidikan agama di sekolah agar disempurnakan dengan melihat kebutuhan riil anak didik sendiri. Misalnya yang paling penting bukanlah pemberian ilmu agama atau berbagai aturan -- kecuali yang mutlak perlu -- melainkan bagaimana menghidupkan hati nurani bagi pembuktian iman. Untuk Islam, yang perlu barangkali bukanlah fiqh itu sendiri, melainkan peresapan jiwa Tauhid dan akhlaq religius. Sudah tentu hal itu menyangkut metode. Ada disebut misalnya perlunya pembiasaan pergaulan guru-murid, untuk mengimbangi pengaruh lingkungan yang bahkan sekarang ini diduga lebih kuat dari pengaruh sekolah atau keluarga. Dan pergaulan seperti yang terdapat dalam kelompok-kelompok remaja mesjid misalnya, memang membuktikan efektivitas hal itu. Untuk itu, betapa muluknya pun, tentu saja dihutuhkan sarana yang tak lain sistim pendidikan itu sendiri. Tapi bagaimana hal itu bisa terlaksana dalam satu keadaan, di mana latar belakang guru dan murid diduga banyak berbeda? Memang ada usul agar pendidikan agama memperhitungkan baik-baik psikologi remaja. Sulitnya, di luar dinding sekolah berbagai macam pernyataan budaya simpang-siur, dan ini memang antara laih bisa membingungkan pak guru. Seperti tak ada pengarahan -- untuk sebuah masyarakat yang memang terbuka. TVRI misalnya, tidaklah bisa dipuji dari segi "semangat Indonesia" (Kesimpulan itu ada meminta perhatian terhadap pemeliharaan "semangat" tersebut) padahal apa yang ditampilkan TVRI merupakan "contoh ideal" bahkan (atau justru) bagi rakyat di kampung-kampung. Ini adalah seminar YTKI yang sudah kelima kali mengambil topik agama dan remaja. Yang paling penting, dari berbagai pembicaraan yang antara lain tidak memperlihatkan sama sekali dinding antara berbagai agama, tentunya bukan apakah usul-usul mereka bisa terlaksana. Melainkan harapan, bahwa mereka potensiil di daerah atau lingkungan masing-masing.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus