BARANGKALI saja, kegiatan ajojing sekarang ini tidak terlalu
jauh jaraknya dari kegiatan keagamaan -- di kalangan remaja
kota. Diketahui, dewasa ini terlihat gairah remaja dalam
kehidupan agama. Dan bila di kota besar seperti Jakarta juga
terlihat maraknya kegiatan diskotik misalnya (lihat: Hiburan),
memang tidak bisa dikatakan para pelakunya remaja yang sama --
atau bahwa remaja agama begitu saja menerima kegiatan remaja
ajojing. Tapi, sebaliknya, tak bisa dikatakan bahwa kedua
kalangan itu benar-benar terpisah oleh perbedaan kultur.
Menarik, bahwa dalam sebuah seminar tentang remaja, kebudayaan
dan agama yang diselenggarakan baru-baru ini (9 - 12 April, oleh
Yayasan Tenaga Kerja Indonesia -- YTKI/Pusat Sumber Daya
Manusia, bekerjasama dengan Friedrich Ebert Stiftung), secara
tidak sengaja nuansa kota besar itu terbang cukup kuat. Padahal
para pemuda yang dipanggil -- sekitar 25 orang yang datang --
berasal dari berbagai propinsi di tanah air. Tidak termasuk
tokoh-tokoh seperti Dr. Harun Nasution, Imron Rosjadi, J.B.
Mangunwidjaja, Dr. Anwar Haryono, Prof. Ihromi, Abdurrahman
Wahid, Zamroni, drs. Gde Jaksa, Mursalin sebagian orang YTKI
sendiri.
Belum Ideal
Masalahnya barangkali: para pemuda yang diundang, meskipun ada
yang dari pelosok -- dari Pesantren Pabelan Muntilan misalnya,
di samping dari bagian pemuda DGI -- kelihatan tokoh-tokoh -
baik yang pemimpin organisasi atau pengajian, atau yang
pemikir. Juga ada dari KNPI Pusat. Semuanya sudah tentu
mengenal kota besar, atau melihat wibawanya bahkan bagi citarasa
remaja di pelosok.
Seorang peserta puteri dari Darul Aitam Surabaya misalnya,
menanggapi pembicaraan tentang ajojing, memberi contoh tentang
kemungkinan adanya jenis ajojing yang tidak perlu dilarang. Atau
peserta dari Pesantren Darul Falah Bogor yang bertanya: benarkah
tidak ada 'film biru' yang bermanfaat. Sedang dari Remaja Islam
Sunda Kelapa (RISKA), Jakarta, keluar usul agar sebagian acara
ceramah agama di TVRI diserahkan misalnya kepada grup Prambors,
Bimbo atau yang lain, sehinga "kita bisa membanding seberapa
jauh penghayatan keagamaan mereka itu dibanding kita."
Anggapan kuat dari jalannya sidang ialah: betapa pun kegiatan
agama di kaIangan remaja tampak naik, pendidikan aga di sekolah
sama sekali belum ideal.
Banyak ilustrasi dikemukakan. Juga gagasan. Sampai-sampai
Mangunwijaya mempertanyakan: yang diperlukan sebenarnya
pendidikan agama ataukah pendidikan iman. Adakah yang penting
'isi' agama yang tetap, ataukah 'ekspresi' yang dapat berobah.
Kesimpulan, yang dirumuskan di hari terakhir sesudah berbagai
sidang (dan juga peninjauan, seperti ke kompleks pelacuran atau
penjara wanita), kemudian memberi beberapa rekomendasi kepada
pemerintah.
Antara lain, konsep pendidikan agama di sekolah agar
disempurnakan dengan melihat kebutuhan riil anak didik sendiri.
Misalnya yang paling penting bukanlah pemberian ilmu agama atau
berbagai aturan -- kecuali yang mutlak perlu -- melainkan
bagaimana menghidupkan hati nurani bagi pembuktian iman. Untuk
Islam, yang perlu barangkali bukanlah fiqh itu sendiri,
melainkan peresapan jiwa Tauhid dan akhlaq religius.
Sudah tentu hal itu menyangkut metode. Ada disebut misalnya
perlunya pembiasaan pergaulan guru-murid, untuk mengimbangi
pengaruh lingkungan yang bahkan sekarang ini diduga lebih kuat
dari pengaruh sekolah atau keluarga. Dan pergaulan seperti yang
terdapat dalam kelompok-kelompok remaja mesjid misalnya, memang
membuktikan efektivitas hal itu. Untuk itu, betapa muluknya pun,
tentu saja dihutuhkan sarana yang tak lain sistim pendidikan itu
sendiri.
Tapi bagaimana hal itu bisa terlaksana dalam satu keadaan, di
mana latar belakang guru dan murid diduga banyak berbeda? Memang
ada usul agar pendidikan agama memperhitungkan baik-baik
psikologi remaja.
Sulitnya, di luar dinding sekolah berbagai macam pernyataan
budaya simpang-siur, dan ini memang antara laih bisa
membingungkan pak guru. Seperti tak ada pengarahan -- untuk
sebuah masyarakat yang memang terbuka. TVRI misalnya, tidaklah
bisa dipuji dari segi "semangat Indonesia" (Kesimpulan itu ada
meminta perhatian terhadap pemeliharaan "semangat" tersebut)
padahal apa yang ditampilkan TVRI merupakan "contoh ideal"
bahkan (atau justru) bagi rakyat di kampung-kampung.
Ini adalah seminar YTKI yang sudah kelima kali mengambil topik
agama dan remaja. Yang paling penting, dari berbagai pembicaraan
yang antara lain tidak memperlihatkan sama sekali dinding antara
berbagai agama, tentunya bukan apakah usul-usul mereka bisa
terlaksana. Melainkan harapan, bahwa mereka potensiil di daerah
atau lingkungan masing-masing.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini