Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tujuh anggota Badan Pemeriksa Keuangan berdiri rapi di hadapan Ketua Mahkamah Agung Harifin Tumpa di Istana Negara, Jakarta, Senin siang pekan lalu. Disaksikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ketujuhnya mengucap sumpah bersama-sama dan dilantik sebagai anggota baru auditor negara periode 2009-2014. Mereka adalah Hadi Purnomo, Hasan Bisri, Rizal Djalil, Moermahadi Soerja Djanegara, Taufiequrachman Ruki, T. Muhammad Nurlif, dan Ali Masykur Musa.
Anggota Badan Pemeriksa Keuangan baru ini mendapat tugas berat. Sejumlah pekerjaan rumah besar juga telah menanti mereka. Salah satunya, menurut Hadi Purnomo, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan terpilih, menyelesaikan audit investigasi kasus Bank Century. ”Akan diselesaikan bertahap,” katanya di Jakarta pekan lalu.
Dalam dua bulan terakhir, kasus Bank Century telah membetot perhatian publik. Kisahnya bermula saat anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Komisi Perbankan menyoroti penyelamatan bank ini oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan pada November 2008. Dewan menduga ada kejanggalan dalam penyelamatan Century, sehingga meminta Badan Pemeriksa Keuangan melakukan audit investigasi.
Sejauh ini, Badan Pemeriksa Keuangan masih bekerja keras menyelesaikan audit investigasi atas penanganan Century. Fokus investigasinya dari prosedur penyelamatan Century, pembengkakan suntikan dana dari Rp 632 miliar menjadi Rp 6,7 triliun, proses merger dan pemberian izin operasi Bank Century sebagai bank devisa, hingga dugaan pelanggaran aturan asas kehati-hatian perbankan.
Khusus untuk fokus audit yang terakhir, Badan Pemeriksa Keuangan menemukan fakta, salah satu faktor yang menyebabkan Century ambruk adalah terjadinya penggelapan (fraud) letter of credit (L/C) senilai US$ 178 juta atau sekitar Rp 1,7 triliun kepada sepuluh perusahaan. ”Itu salah satu yang membuat masalah di Century timbul di kemudian hari,” katanya kepada Tempo di Jakarta pekan lalu.
Hasan masih menyimpan rapat cerita pemberian kredit L/C kepada sepuluh perusahaan tadi. Alasannya, Badan Pemeriksa masih terus mendalaminya. Tapi penjelasan gamblang datang dari Rafat Ali Rizvi, salah satu pemegang saham Century. Rafat bersama Hesham al-Warraq merupakan pemilik First Gulf Asia Holding yang memiliki sembilan persen saham Century. Dalam sebuah wawancara di tempat yang dirahasiakan, Rafat kepada Tempo menuturkan, masalah awal Century bukanlah kekurangan likuiditas, melainkan penggelapan dana oleh Robert Tantular. Robert, kata warga negara Inggris kelahiran Pakistan ini, menekan manajemen Century agar memberikan kredit L/C senilai US$ 178 juta kepada perusahaan-perusahaan yang dikendalikannya. Kesepuluh perusahaan itu seolah-olah membutuhkan L/C untuk mengimpor gandum dari luar negeri.
Untuk membuka L/C ini, Century harus mencari bank di negara lain yang bersedia menalangi pembayaran pembelian gandum. Sebagai imbalannya, kata Rafat, Bank Century menjaminkan surat-surat berharga yang likuid. Saat kredit L/C jatuh tempo, perusahaan-perusahaan tadi tak mampu membayar kewajibannya kepada Bank Century. Buntutnya, Century pun tak bisa memenuhi janjinya kepada bank-bank di luar negeri yang menjadi mitranya. Terpaksa bank-bank asing itu menyita surat-surat berharga milik Century. ”Saat krisis, Century tak punya lagi aset likuid,” ujar Rafat.
Kondisi Century semakin parah ketika para deposan besar menarik dananya dari bank ini pada pertengahan Oktober 2008. Deposan itu khawatir terhadap krisis perbankan global—dimulai dari kejatuhan Lehman Brothers di Amerika Serikat. Bank Century tak bisa mendapatkan lebih banyak fasilitas pembiayaan jangka pendek lantaran tak punya lagi surat utang likuid. ”Surat berharga ini sudah pindah tangan ke bank koresponden di luar negeri,” ujarnya. Akhirnya, bank ini dinyatakan menjadi bank gagal.
Sumber Tempo di Bank Indonesia membenarkan soal penggelapan L/C ini. ”Fasilitas kredit ini diberikan bertahap sejak November 2007 sampai dengan Oktober 2008,” katanya. Berdasarkan hasil audit investigasi Bank Indonesia, katanya, ada 14 L/C senilai US$ 178 juta kepada sepuluh perusahaan. Saat memberikan fasilitas kredit itu, Century menjaminkan surat berharga senilai US$ 264 juta atau sekitar Rp 2,6 triliun kepada bank koresponden asing di luar negeri. Sebaliknya, nilai jaminan dari sepuluh perusahaan itu kepada Century hanya 10-20 persen dari total nilai L/C-nya. ”Semua pemberian fasilitas L/C atas perintah Robert Tantular,” bisiknya (lihat ”Kantor Kosong di Mal Ambasador”).
Kini Robert Tantular sudah mendekam di penjara. Dia divonis empat tahun kurungan oleh pengadilan pada 10 September lalu. Jangan heran hukumannya tergolong ringan. Sebab, polisi dan jaksa tidak memasukkan penggelapan L/C tadi dalam berita acara pemeriksaan dan tuntutan di pengadilan. Robert hanya dituntut tiga hal. Pertama, penggelapan uang milik Budi Sampoerna senilai US$ 18 juta di Century. Kedua, mempengaruhi manajemen Century memberikan kredit kepada PT Wibhowo Wadah Rejeki, PT Accent Investment Indonesia, dan PT Kuo Capital (Signature Capital). Dan ketiga, menandatangani letter of commitment atau kesanggupan menyetor tambahan modal ke Century. Hanya letter of commitment yang bisa dibuktikan di pengadilan.
Bank Century merupakan hasil merger Bank CIC, Bank Pikko, dan Bank Danpac pada Desember 2004. Banyak anggota Dewan dan analis yakin ketiga bank itu tidak layak bermerger menjadi Century. Proses merger ketiga bank ini digagas pada 2001. Tapi, sejak awal, proses mergernya sudah bermasalah dan berlarut-larut. Di tengah proses merger, masih ada penyelewengan dan pelanggaran oleh CIC dan Pikko. Tak aneh, persetujuan cukup lama. Baru pada 7 Desember 2004, Bank Indonesia menyatakan ketiga bank tersebut resmi bermerger menjadi Century.
Bukannya bertambah baik, Century sebagai bank hasil penggabungan ternyata memble juga. Setahun setelah merger, ada problem likuiditas dan permodalan di Century. Bank ini juga masih membawa penyakit lama CIC, yakni memiliki Credit Link Note Republic of Indonesia. Bank Indonesia meminta Century menjual surat berharga ini karena dianggap tak layak investasi. Century malah berinvestasi pada surat utang valas senilai US$ 246 juta. Pada 3 Oktober 2005, Bank Indonesia menegur Century agar menjual surat-surat berharga tersebut.
Century hanya bisa menjual sedikit surat utang itu. Surat berharga senilai US$ 203,4 juta masih menumpuk. Bank Indonesia pun memaksa Rafat dan Hesham menambah modal. Keduanya menandatangani asset management agreement (AMA) dengan Century. Rafat berjanji akan menyelesaikan surat berharga itu dengan jaminan deposito senilai US$ 220 juta di Dresdner Bank, Zurich, Swiss. Rafat berkomitmen menyetor duit segar ke Century secara bertahap hingga 2010.
Rafat menampik soal perjanjian AMA lantaran tak pernah berjalan efektif. ”Perjanjian itu tak berlaku,” ujarnya. Dia menjelaskan, ada dua perjanjian dengan Century, yakni asset pledge agreement dan AMA itu. Dalam asset pledge agreement, dia dan Hesham bersedia menyetor duit ke Century dengan syarat bank itu menyerahkan jaminan aset, antara lain surat-surat berharga. Ternyata, dalam perjanjian AMA, Century menjaminkan surat-surat berharga yang sama, sehingga dianggap tak berlaku.
Terlepas dari bantahan Rafat itu, persoalan likuiditas, permodalan, dan surat berharga ini tak kunjung bisa diselesaikan Century. Berkali-kali Bank Indonesia memperingatkan manajemen Century, Rafat, dan Hesham agar menyelesaikan problem itu di Century. Dokumen yang dimiliki Tempo menunjukkan sedikitnya ada sepuluh surat peringatan Bank Indonesia kepada Century atas masalah itu sejak Oktober 2005 sampai Oktober 2008. Rafat dan Hesham pun berkali-kali diminta memenuhi janjinya. Kadang mereka bisa memenuhinya, tapi sering pula mangkir. Tak aneh, Century sering keluar-masuk pengawasan khusus bank sentral.
Mungkin karena terlalu berfokus mengawasi persoalan likuiditas, permodalan, dan masalah penyelesaian surat-surat berharga di Bank Century, Bank Indonesia menjadi lengah. Patgulipat Robert sejak November 2007 sampai Oktober 2008 yang menekan manajemen Century agar memberikan fasilitas L/C senilai US$ 178 juta kepada sepuluh perusahaan tak terdeteksi Bank Indonesia. Bahkan aksi Kepala Divisi Bank Notes Century Dewi Tantular, kakak Robert, yang membobol Century sejak Januari 2008 sampai November 2008 senilai US$ 18 juta, juga lolos dari pantauan Kebon Sirih. Pengawas perbankan ini kecolongan.
Ulah Robert dan Dewi membuat Century rugi besar. Kas Century bolong dan seret likuiditas. Tak mengherankan, pada 13 November 2008, Century gagal kliring. Bantuan pendanaan jangka pendek dari Bank Indonesia Rp 689 miliar tak mampu menolong bank ini. Bank Indonesia semakin tertohok lantaran Dewi masih sempat membobol Century pada 19 November 2008, dua hari menjelang nasib Century dibawa Bank Indonesia ke dalam rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan. Sejarah telah mencatat, pada 21 November 2008, rapat komite itu menyatakan Century sebagai bank gagal sistemik. Bank ini tidak ditutup, tapi diselamatkan dan diambil alih oleh Lembaga Penjamin Simpanan. Century mendapat suntikan dana segar Rp 6,7 triliun.
Menurut Rafat, aksi Robert membobol Century tak dilakukannya sendiri. Selain oleh Dewi Tantular, Robert dibantu oleh Krishna Jagateesen, Direktur Treasury Bank Century. ”Dia yang mengatur keluar-masuk uang,” ungkapnya. Polisi sudah menetapkan Jagateesen sebagai tersangka. Tapi warga negara Singapura ini raib ditelan bumi.
Robert, kata Rafat, juga dibantu oleh Muhammad Arif Khan dan sepupunya. Warga negara Amerika Serikat ini tak punya posisi formal di Century, tapi sangat dipercaya Robert. ”Arif Khan yang mencarikan bank untuk diskonto L/C.”
Semua tudingan ini dibantah Robert. Tentang pemberian kredit L/C, Robert mengatakan fasilitas kredit perdagangan yang diberikan kepada enam perusahaan saat ini masih lancar. Bank Indonesia pun sudah mengakuinya. ”Jadi apanya yang fiktif?” kata dia kepada Tempo di Jakarta pekan lalu.
Robert menuding Rafat berbohong. Arif Khan, kata dia, awalnya merupakan orang kepercayaan Rafat yang ditempatkan sebagai direktur di Bank Danpac. Tapi belakangan keduanya berselisih paham karena Arif Khan sering menolak permintaan Rafat. Akhirnya, Arif bergabung dengan Robert dan menjadi konsultan. ”Sekarang Rafat bilang dia orang saya. Bohong dia.”
Di mata Bank Indonesia, Robert dan Rafat setali tiga uang. ”Keduanya maling,” kata Deputi Gubernur Bank Indonesia Budi Rochadi kepada wartawan di Jakarta pekan lalu. Budi meminta media jangan mempercayai omongan Rafat. ”Bibirnya tipis. Sering ingkar janji.”
Lebih jauh, Budi mengatakan Bank Indonesia sebenarnya sudah mengawasi Century secara ketat. Tapi tenaga pengawas tak bisa terus-menerus memelototi bank ini setiap saat. ”Bayangkan, aksi Dewi Tantular dilakukan jam empat pagi,” ujarnya dalam wawancara dengan Tempo belum lama ini.
Sulitnya pengawas Bank Indonesia mengendus penggelapan di Century itu lantaran modusnya rapi. Semua transaksi juga ada buktinya sehingga sulit membedakan dokumen asli dengan yang fiktif. Yang menyulitkan, penyelewengan juga dilakukan lewat kerja sama terorganisasi antara Robert dan beberapa karyawan penting.
Budi merujuk peringatan keras Bank Indonesia pada 2005 kepada Century agar tak menjual lagi reksadana Antaboga Delta Sekuritas. Manajemen Century sempat patuh. Tapi nakal lagi. Sejumlah petingginya diam-diam menjual reksadana palsu Antaboga kepada nasabah. Bank Indonesia baru berhasil membongkar penggelapan di Century setelah Lembaga Penjamin Simpanan masuk Century pada 21 November 2008. ”Beberapa karyawan baru berani mengaku setelah manajemen baru yang ditunjuk LPS masuk,” paparnya.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Darmin Nasution mengakui ada semacam celah kebijakan yang dimanfaatkan pelaku kejahatan perbankan, seperti dalam kasus Century. Untuk mencegah modus kejahatan perbankan itu terulang, Bank Indonesia, kata pejabat sementara Gubernur Bank Indonesia itu, meningkatkan kerja sama dengan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Penjamin Simpanan, terutama dalam pertukaran informasi. ”Biar tak ada celah lagi,” ujarnya kepada wartawan di Jakarta pekan lalu.
Menurut pengamat ekonomi dan perbankan, Aviliani, rekayasa dan penyelewengan terorganisasi memang sulit diendus oleh pengawas perbankan. Karena itu, mutlak adanya kerja sama antara lembaga pengawasan perbankan dan lembaga pengawas nonbank. Di sisi lain, harus ada aturan tegas yang melarang pemilik bank menguasai lembaga nonbank seperti perusahaan efek. Selain itu, pemilik bank dilarang menjadi pengurus, apalagi menjadi manajer bank. Terakhir, Bank Indonesialah yang menunjuk akuntan publik suatu bank sekaligus membayarnya. Dengan cara-cara itu, diharapkan kejahatan pembobolan bank bisa diminimalkan.
Padjar Iswara, Nieke Indrietta, Fery Firmansyah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo