KAMPANYE gencar, pajak penghasilan perusahaan sudah dpotong, dan sudah pula diperbolehkan memulai usaha dengan modal awal hanya US$ 1 Juta, tapi mengapa pemilik uang dari Jepang tak berbondong ke Indonesia? Dengan makin kuatnya yen melawan dolar Amerika, tempat berusaha di luar Jepang sesungguhnya jadi sangat bersaing dan murah. Tapi, ya, itulah, banyak pemilik modal Jepang lebih suka pergi ke Amerika atau Eropa -- negeri yang tak menjanjikan upah buruh murah dan kurang memberikan perlindungan bagi PMA. Memang tidak ringan bagi Ketua BKPM Ginandjar Kartasasmita, yang belum lama ini datang lagi ke Jepang, menjelaskan sejumlah daya saing baru iklim berusaha di Indonesia di sebuah seminar di Osaka. Kecilnya permohonan baru investasi Jepang, yang untuk semester pertama 1986 baru tercatat US$ 27 juta, memang cukup memprihatinkan. Perangsang baru yang memberi peluang PMA masuk ke 926 bidang usaha -- sebelumnya hanya 475 lewat Paket 6 Mei rupanya belum membuahkan hasil. Kendala di dalam negeri, yang membuat mereka segan masuk lebih dalam, memang cukup mengganggu. Hiroshi Oshima, Direktur Jetro (Japan External Trade organisation) Jakarta, misalnya, pernah menyebut kecilnya pasar Indonesia, karena pendapatan per kapitanya hanya US$ 500 setahun sekalipun berpenduduk 160 juta. Produktivitas buruh lokal ternyata juga rendah dibandingkan buruh Korea Selatan. Buruh Korea bisa membuat kemeja hanya dalam dua jam, tapi buruh di sini sampai memakan delapan jam. Karena produktivitas rendah, usaha menekan biaya jadi sulit dilakukan. Apalagi perusahaan-perusahaan mereka, yang lebih suka mengerahkan tenaga robot, toh tertarik lagi dengan tawaran tenaga kerja murah (lihat Tamu-Tamu Musim Gugur). Dengan kendala semacam itu, Indonesia juga harus bersaing ketat dengan Malaysia, Singapura, dan Filipina dalam membujuk calon penanam modal. PM Malaysia Mahathir Mohamad, misalnya, sampai merasa perlu turun ke Amerika sendiri untuk menjajakan perangsang baru penanaman modal di negerinya. Bila semula pihak asing hanya boleh menguasai 49% saham dalam usaha patungan, maka mulai 1 Oktober sampai Desember 1990 mereka boleh menguasai sepenuhnya (100%) usaha itu. Jika modal disetor dalam usaha baru memakan US$ 2 juta, maka mereka diberi kelonggaran menggunakan lima tenaga kerja asing (expatriate) dari induk perusahaan selama satu dasawarsa pertama untuk jabatan apa saja. Kelonggaran untuk investasi baru itu, terutama, diberikan bagi industri yang produknya kelak tidak akan menjadi pesaing produk pabrik terdahulu di pasar lokal. Artinya, kelonggaran itu hanya berlaku bagi industri yang nantinya bisa mengekspor paling sedikit separuh dari produksinya. Ada alasan cukup kuat mengapa PM Mahathir di akhir September lalu itu sampai harus terbang jauh ke negeri dolar. Sebabnya, antara lain, penanaman modal Amerika di negerinya dianggap masih terlalu kecil: dengan modal disetor baru US$ 121 juta dan harta tetap sekitar US$ 358 juta. Padahal, selama 1971-1985, Kuala Lumpur sesungguhnya sudah menyetujui rencana investasi bagi lebih dari 7.000 proyek, dengan nilai Mal.$ 40,6 milyar (sekitar US$ 17 milyar). Toh ada juga yang melihat kelonggaran itu belum cukup untuk menjamin kelangsungan investasi mereka dalam jangka panjang. Pei-Erh Yu, Wakil Presiden Allied-Signal untuk kawasan Asia, melihat periode Oktober 1986-1990 yang disyaratkan itu dianggapnya terlalu singkat. Sebab, bagaimanapun, investasi dilakukan bukan untuk kepentingan jangka pendek. "Kami tak mau berhadapan dengan situasi yang berubah setelah empat tahun," katanya. Dia berharap agar jangka waktu bisa ditambah, "Setidaknya sampai 1995." Sebab, untuk berunding sebelum keputusan membangun pabrik ditelurkan, paling tidak butuh tiga tahun. Menurut seorang pejabat, kelonggaran bagi penanam modal asing itu mungkin tidak akan berhenti di tahun 1990 itu. Jika Barisan Nasional masih berkuasa, boleh jadi akan terus berlanjut. Dan, guna menarik mereka, PM Mahathir berjanji akan merampingkan birokrasi untuk memperlancar urusan administrasi. "Kalau mereka sampai terus-terusan terhambat, kalau bukan persyaratan kami yang akan ketinggalan, maka kantor atau pegawai itu yang mesti dipersalahkan," kata PM Mahathir. Singapura, yang ekonominya tahun lalu menciut 1,8%, tak mau kalah: mengirim Brigjen Lee Hsien Loong, Penjabat Menteri Perdagangan dan Industri, keliling Jepang, Amerika, dan sejumlah negara di Pasifik. Sebagai negara yang tak punya basis sumber alam dan energi murah, Singapura berusaha menjadikan sektor usaha di bidang jasa dan teknologi tinggi, bersaing. Karena itu, mereka yang masuk menanamkan uang untuk pengembangan komputer bisa diberi masa bebas membayar pajak perseroan selama 10 tahun. Selain itu, Singapura juga sudah menurunkan tarif pajak perseroan, yang semula 40% jadi 33%, lebih rendah 2% dibandingkan dengan tarif tertinggi pajak penghasilan perusahaan di Indonesia. Dan kalau perusahaan transnasional mau membuka kantor pusat operasi mereka di Singapura, pajak atas laba mereka hanya akan dikenai 10% saja. Jenis insentif seperti diberikan Malaysia dan Singapura itu belum ada di Indonesia. PMA yang berusaha di sini tetap khawatir rupiah akan mengalami depresiasi hebat sepanjang tahun, sekalipun usaha untuk menyesuaikan kursnya dengan devaluasi cukup sering dilakukan. Memang, selain insentif dan kelonggaran, soal stabilitas moneter cukup penting untuk menjamin langgengnya investasi. Jadi, yang harus diciptakan dan ditumbuhkan adalah tetap saja kepercayaan bahwa dalam beberapa hal -- kalau tak dapat dipastikan -- setidaknya dapat diperhitungkan masa depannya. Eddy Herwanto, Laporan E.H. Attamimi (Kuala Lumpur)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini