Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KALAU Anda menunggu amendemen MSAA (Master of Settlement and Acquisition Agreement), kemungkinan besar Anda akan kecewa. Sampai pekan lalu, belum ada tanda-tanda dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) ataupun Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) yang mengisyaratkan bahwa kedua lembaga itu akan mengamendemen MSAA.
Seperti diketahui, perjanjian antara BPPN dan beberapa konglomerat itu dinilai mengandung sejumlah cacat bawaan. Maka, diputuskan bahwa MSAA perlu diamendemen dan pemerintah pun berjanji akan melakukannya. Paling tidak, di depan Komisi IX DPR RI awal Oktober lalu, Menteri Koordinator Perekonomian Rizal Ramli dan Kepala BPPN Cacuk Sudarijanto berjanji akan menyelesaikan masalah itu dalam tempo sebulan.
Jika janji kedua menteri itu bukan janji kosong, mestinya pekan ini amendemen MSAA sudah selesai diformulasikan. Sejumlah pasal yang merugikan pemerintah dan bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat, seperti release and dischargemembebaskan para konglomerat dari tuntutan hukumtelah dihapuskan. Para konglomerat juga telah menyetorkan aset tambahan karena nilai aset yang dulu mereka serahkan sudah berkurang banyak. Sebagai ganjarannya, mereka akan mendapatkan perpanjangan masa pengembalian kewajiban, yang semula ditetapkan empat tahun. Namun, jika tidak menyerahkan aset, pemerintah bisa menuntut personal guarantee. Atau, mengirim para pengusaha kakap itu ke kejaksaan.
Ternyata, seperti diungkapkan Amir Sambodo, tenaga ahli Kepala BPPN, sampai saat ini belum ada kemajuan berarti dalam pembahasan aturan tambahan atau amendemen bagi MSAA yang diteken pada akhir 1998. Para konglomerat yang meneken MSAA (lihat tabel) belum menyetor aset tambahan sebagaimana diminta Menteri Rizal. Bahkan, Sjamsul Nursalim dengan tegas menyatakan bahwa perjanjian MSAA sudah final. "Kita sudah meneken closing agreement pada Mei 1999. Dan itu artinya kewajiban kami kepada pemerintah sudah selesai," katanya, enteng. Padahal, pengusaha ini belum resmi menyerahkan aset-aset yang dijanjikannya itu.
Yang mengherankan, kendati posisinya superior, pemerintah tampaknya tidak siap untuk mengamendemen MSAA. Menurut Amir, ada tiga soal yang mempersulit BPPN dalam menetapkan formula final amendemen MSAA, yakni pemulihan ekonomi, keadilan sosial, dan kepentingan nasional. Selain itu, kebandelan para konglomerat yang tidak menyerahkan aset emas mereka ke BPPN juga menjadi penghalang bagi penyelesaian kasus ini.
Amir mengakui, akan tidak mudah mencari titik temu atau jembatan di antara faktor pemulihan ekonomi, keadilan sosial, dan kepentingan nasional. Kalau bicara pemulihan ekonomi di satu titik ekstrem, titik keadilan sosialnya akan tertinggal di titik ekstrem yang lain. Jika ini yang dipilih, perjanjian MSAA memang harus diteruskan tanpa amendemen.
Sebaliknya, tutur Amir, jika semua konglomerat dimasukkan ke bui, pemulihan ekonomi dan kepentingan nasional tercecer di sudut yang jauh. Pilihan ini diakui Amir tentu memberatkan konglomerat. "Kalau mereka sudah menambah aset tapi pasal release and discharge juga dicabut dari MSAA, mereka berpikir, lo, apa jaminannya bagi mereka," katanya. Kendati demikian, pilihan inilah yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat yang kini menilai bahwa pemerintah terlalu memberi angin kepada konglomeratpadahal, mereka jelas-jelas merugikan negara.
Menurut Amir, sedemikian peliknya pilihan itu sehingga tak mudah bagi pemerintah untuk mendapatkan formula amendemen MSAA yang tidak mengorbankan ekonomi, tapi juga tetap mengutamakan keadilan sosial. "Harus diakui, ini sulit karena perjanjian yang terdahulu memang lebih memberi tekanan kepada masalah pemulihan ekonomi," kata Amir. Dia menambahkan, pekerjaan mengamendemen MSAA ini makin sulit karena DPR sudah menyatakan tidak akan terlibat dalam masalah itu.
Tosari Wijaya, Ketua Tim Teknis Pengkaji MSAA DPR RI, memang dengan tegas menyatakan bahwa DPR tidak akan mencampuri dan menyerahkan sepenuhnya amendemen MSAA kepada pemerintah. Sejauh ini, DPR hanya menunggu hasil kajian pemerintah terhadap perjanjian MSAA. "DPR akan mengawasi hasilnya. Jika ada pelanggaran atau tidak ada perbaikan, kita akan memberikan saran-saran," katanya.
Dalam pandangan Rino Agung Effendi, Chief Executive Officer Danareksa Research Institute, masalah terbesar yang menyangkut amendemen MSAA adalah sikap pemerintah sendiri, yang terlalu lunak terhadap konglomerat. "Pemerintah terlalu fleksibel," katanya. Rino mendengar, banyak kebijakan pemerintah yang pada akhirnya menganulir keputusan atau hasil rapat pejabat BPPN di level menengah. Ada beberapa contoh yang dengan jelas menunjukkan hal itu, seperti restrukturisasi kredit Radja Garuda Mas atau Grup Djajanti.
Menurut Rino, sikap yang tidak tegas ini hanya akan merugikan pemerintah, karena penyelesaian kasus MSAA yang terkait dengan bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) benar-benar berlomba dengan waktu. "Kecepatan adalah kata kuncinya," Rino menandaskan. Semakin lama tertunda-tunda, semakin besar biaya yang akan ditanggung pemerintah dan rakyat melalui APBN. Bukankah BLBI pada akhirnya diganti dengan obligasi pemerintah?
Sementara itu, kata Rino, para konglomerat pemilik bank bisa bersikap tidak peduli alias cuek mungkin karena mereka merasa tidak rugi apa-apa (nothing to loose). Bagi konglomerat, amendemen MSAA yang berlama-lama tak jadi soal betul. Begitu pula dengan kemungkinan makin turunnya nilai aset yang mereka serahkan. Makin lama MSAA ini terkatung-katung, makin besar pula kesempatan para debitor besar itu untuk tidak menyerahkan aset tambahan. "Mereka memang bandit yang banyak akalnya," umpat Rino.
Padahal, jika pemerintah mau tegasmisalnya dengan membuat miskin me-reka, seperti dinyatakan dalam ancaman Rizal Ramlipersoalannya tak perlu bertele-tele. Menurut Rino, pemerintah terlalu banyak bermain di wilayah abu-abu (gray area). Dia mencontohkan pendefinisian "kepentingan umum" untuk memilih mana perusahaan yang perlu diselamatkan dan mana yang tidak. Juga pendefinisian apakah perusahaan itu tergolong eksportir besar, atau banyak tenaga kerjanya atau tidak. "Mestinya ukurannya jelas: merugikan negara atau tidak. Kalau merugikan, ya, kirim saja ke kejaksaan," katanya.
Nah, pernyataan Presiden Abdurrahman Wahid di Seoultentang penundaan tuntutan hukum kepada konglomeratmembuat masyarakat bertanya-tanya, ada niat enggak untuk menagih utang atas nama rakyat. Lalu, setelah celetukan yang menghebohkan itu, berlontaran pernyataan pejabat yang saling bertolak belakang. Di satu sisi Kiai Presiden tampaknya berniat melindungi para konglomerat, termasuk Sjamsul Nursalim. Tapi, selang beberapa hari, Jaksa Agung Marzuki Darusman menetapkan Sjamsul sebagai tersangka kasus penyelewengan BLBI senilai Rp 7,5 triliun. Lebih gila lagi, pada waktu nyaris bersamaan, Marzuki mengumumkan penundaan proses hukum terhadap 21 obligor, termasuk Sjamsul. Lha, mana yang benar?
Ketidaktegasan yang berdampak pada ketidakpastian hukum itu semakin menjerumuskan pemerintah dalam kesulitan yang lebih besar. Seiring dengan itu, citra pemerintah pun kian merosot. Padahal, pemerintah punya banyak alat untuk menyelesaikan utang kusut konglomerat. Dalam soal BLBI, misalnya. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dengan jelas menunjukkan penyelewengan yang dilakukan bank-bank penerima BLBI. Dalam kasus Sjamsul, BPK menemukan penyelewengan sekitar Rp 24,5 triliun dari Rp 37 triliun BLBI yang diterima BDNI. Atau temuan BPPN tentang pelanggaran batas maksimum pemberian kredit (BMPK) yang dilakukan BCA. Secara hukum, semua itu sudah cukup untuk membawa konglomerat ke pengadilan.
Tapi, pemerintah tetap bernegosiasi, sementara mereka juga menyadari bahwa konglomerat terus saja memperdaya mereka. Aset yang dipakai pemilik bank untuk membayar kewajiban pengusaha, misalnya, kebanyakan berupa tanah. Dalam keadaan bisnis properti hancur lebur dan belum akan pulih dalam lima tahun ke depan, kesediaan BPPN menerima aset berupa tanah patut dipertanyakan. Sampai bisnis properti pulih seperti sediakaladan itu sulit, melihat prospek pemulihan ekonomi Indonesia yang sangat lambanpenjualannya pasti tersendat-sendat.
Padahal, pemerintah sebetulnya bisa memaksa para konglomerat untuk membayar tunai kewajibannya. Grup Salim, contohnya, masih punya mesin uang bernama First Pacific (Hong Kong). Dan perusahaan ini menguasai "sapi perah" (cash cow) Indofood Sukses Makmurprodusen mi instan yang tak goyah dilanda krisis. Hebatnya, Salim hanya menyerahkan 9 persen saham First Pacific kepada BPPN, ditambah 72,6 persen saham Indomobil, yang bisnisnya hancur terlibas krisis.
Celakanya, pemerintah masih saja menilai para konglomerat itu cukup kooperatif sehingga layak dibantu atau diselamatkan. Padahal, kata bekas Menteri Keuangan Bambang Sudibyo, jika melihat bahwa dalam dua tahun ini nyaris tak ada kemajuan berarti dalam soal pembayaran kewajiban ataupun penyelesaian kredit macet, dapat dikatakan tak ada konglomerat yang bisa dikategorikan kooperatif. Berbagai fakta bahkan menunjukkan bahwa penyelesaian MSAA dan BLBI tampaknya akan tertunda jauh lebih lama. Atau, jangan-jangan kita seperti si dungu yang menunggu Godot: sia-sia menanti (sementara kita ikut membayar bunga obligasi).
M. Taufiqurohman, Agus Hidayat, Dwi Wiyana, Wens Manggut
Empat Konglomerat Penanda Tangan MSAA
Nama Bank | Pemegang Saham Pengendali | Kewajiban Berdasarkan MSAA (Rp miliar) | BLBI yang Diterima (Rp miliar) | BLBI yang Diselewengkan (Rp miliar) | Keterangan |
BCA | Keluarga Salim | 52.627 | 26.596 | 15.818 | Nilai perusahaan yang diserahkan turun, dan diperkirakan tinggal Rp 20-25 triliun. |
BDNI | Sjamsul Nursalim | 27.496 | 37.039 | 24.472 | Nilai perusahaan yang diserahkan turun menjadi hanya Rp 2-3 triliun. |
BUN | Bob Hasan | 5.341 | 12.067 | 5.093 | Bob bersama Kaharuddin Ongko menjadi pemegang saham pengendali. |
Surya | Sudwikatmono | 1.962 | 1.653 | 281 |
Sumber: BPPN dan BPK
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo