Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Pinjaman Ketat Perlu Pengawasan Ketat

Pemerintah berencana membangun infrastruktur dengan dana pinjaman dari CGI. Ada rel kereta api, jalan raya, jaringan listrik, sampai pelabuhan. Dijamin bebas KKN?

29 Oktober 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETELAH menggondol utang besar, hasil pertemuan Consultative Group for Indonesia (CGI) Tokyo, pemerintah segera mengambil ancang-ancang untuk membelanjakannya dengan membangun sejumlah proyek infrastruktur. Dari Jepang, Indonesia menerima pinjaman jangka pendek senilai US$ 1,585 miliar sebagai bagian dari Miyazawa Plan. Selain itu, masih ada hibah dalam bentuk kerja sama teknis senilai US$ 130 juta, serta pinjaman jangka menengah dan panjang senilai 58,1 miliar yen, atau setara dengan US$ 340 juta.

Menteri Koordinator Perekonomian Rizal Ramli sudah menyatakan bahwa proyek yang akan dibangun kurang lebih berjumlah 20 buah, termasuk di dalamnya proyek rel kereta api double track Jakarta-Surabaya dan pembangunan sarana sanitasi di permukiman yang mirip proyek MHT di Jakarta pada 1970-an. Namun, Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah Erna Witoelar, yang diserahi tugas membuat daftar rinciannya, menyatakan bahwa proyek yang akan dibangun belum konkret. Demikian pula jumlahnya. "Belum pasti mencapai 20 buah," ujar istri Sekjen Barisan Nasional, Rachmat Witoelar, itu.

Kalau begitu, mana yang benar? Ternyata, sampai saat ini tiap departemen masih mengajukan usulan yang nanti harus diputuskan lagi sesuai dengan skala prioritas dalam rapat koordinasi perekonomian di Bappenas. Hal ini berkait pula dengan jenis proyek dan sumber pembiayaan. Pinjaman khusus dalam yen, misalnya, tentu sayang bila digunakan untuk membangun jalan di Jawa, karena sudah ada pihak swasta yang berminat. "Lebih baik pinjaman lunak itu saya gunakan untuk membangun jalan di Kalimantan atau Irian," kata Erna.

Tampaknya, menteri pengembangan wilayah ini mengisyaratkan bahwa pembangunan infrastruktur yang berupa jalan raya, jaringan listrik, jaringan air bersih, dan pelabuhan memang akan digulirkan ke luar Jawa—misalnya ke Sumatra, demi mengikis kesenjangan dengan daratan Semenanjung Malaysia. "Dengan membangun infrastruktur di Sumatra bagian timur, kita bisa menarik investor dari Malaysia," katanya. Sedangkan proyek di Jawa akan tetap diupayakan, tapi pendanaannya dicarikan dari swasta.

Beberapa contoh proyek infrastruktur yang sudah disiapkan adalah jalan raya atau jalur kereta api yang menghubungkan Pulau Sumatra, dari Aceh hingga Lampung. Juga pembangunan jalur kereta di daerah-daerah yang padat seperti Yogya-Solo, serta prasarana lain di kawasan Indonesia timur. Pendeknya, dengan pembangunan infrastruktur itu, ia berharap semua pulau di Nusantara kelak bisa diseberangi, baik lewat laut maupun darat.

Secara ekonomi, pembangunan prasarana fisik tersebut diharapkan dapat berperan mengentaskan kemiskinan. "Pembangunan wilayah dapat menggali potensi daerah," Erna terdengar optimistis, "juga membuka akses pasar, sehingga masyarakat dapat mengangkat dirinya dari jurang kemiskinan dan tidak lagi bergantung pada pemerintah." Untuk melaksanakan semua proyek tersebut, pemerintah membuka kesempatan seluas-luasnya kepada pihak swasta agar berperan serta, baik perusahaan dari dalam maupun luar negeri. Caranya? "Melalui proses tender terbuka," ia menjelaskan. Yang pasti, dana yang diperoleh pemerintah akan dikucurkan sebagai pinjaman kepada swasta. Dan ia menjamin proyek tersebut tidak dikhususkan untuk perusahaan dari negara pemberi pinjaman saja.

Ekonom Moh. Ikhsan tampaknya tidak terkesan dengan berbagai proyek itu. Ia menilai, tidak ada yang baru dari gagasan membangun proyek infrastruktur dengan menggunakan duit pinjaman. Ia menunjuk, ketika Ginandjar Kartasasmita masih menjabat Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri, misalnya, sudah ada usulan kepada pemerintah Jepang agar memberikan special yen loan untuk membiayai proyek serupa. Beberapa proyek yang diusulkan Ginandjar agar menjadi prioritas utama waktu itu adalah pemipaan gas Sumatra-Jawa Barat, elektrifikasi jalur kereta api utama di Jawa, dan pembangunan MRT di Jakarta. Prioritas berikutnya adalah jalan tol Kanci, koneksi jalur kereta api Jabotabek, proyek pengendalian banjir Kali Garang di Semarang, interkoneksi transmisi Jawa-Bali, dan jalan susun di Jakarta.

Ikhsan juga mengingatkan, pinjaman pemerintah Jepang itu sebetulnya disertai syarat yang ketat (tight loan). Misalnya, uang pinjaman itu harus dipakai untuk membangun proyek infrastruktur yang sudah disepakati antara pemerintah Indonesia dan Jepang. "Termasuk mengikuti semua persyaratan dan spesifikasi proyek serta menggunakan perusahaan Jepang dalam pelaksanaannya," kata Ikhsan pula. Jadi, pemberian pinjaman itu tujuannya tak lain untuk membagi proyek di antara perusahaan-perusahaan Jepang sendiri.

Menurut Ikhsan, pemerintah tak perlu bangga memperoleh pinjaman bilateral berbunga rendah. Sebab, pinjaman semacam itu, yang disertai kewajiban menggunakan perusahaan tertentu, ujung-ujungnya cuma akan membengkakkan biaya proyek. Sebaliknya, mungkin lebih baik pemerintah menerima pinjaman komersial berbunga 6 persen yang penggunaannya sangat lentur dan memperbolehkan adanya tender internasional, ketimbang pinjaman bilateral berbunga 3 persen tapi disertai persyaratan ketat. "Pinjaman seperti itu cuma akan menyebabkan terjadinya KKN (kolusi, korupsi, nepotisme), sehingga kita tak dapat memperoleh hasil yang terbaik," ujarnya. Dengan alasan itu pula, ia menyarankan agar Indonesia tetap memakai pinjaman multilateral. "Sampai sekarang, saya tak mengerti mengapa Menteri Keuangan Prijadi lebih memilih pinjaman bilateral ketimbang multilateral," ujarnya.

Peringatan yang sama sehubungan dengan ketatnya persyaratan pinjaman proyek juga disampaikan ekonom Revrisond Baswir. Menurut ekonom yang bermukim di Yogya ini, pinjaman semacam itu tak bisa digunakan, kecuali untuk keperluan proyek bersangkutan. Kalau tidak digunakan untuk membiayai proyek tersebut? "Uangnya tak bisa dicairkan," katanya. Alhasil, bila menerima pinjaman proyek, sebenarnya kita tak mendapat dana segar. "Kita hanya menerima fasilitas belanja secara kredit di negara pemberi dana," ujarnya lirih.

Maksudnya, bila pemerintah memperoleh pinjaman US$ 1,6 miliar dari Jepang, artinya pemerintah harus membelanjakan kembali duit tersebut di Jepang. Ia memberi contoh rencana pembangunan jalur kereta double track. Dalam bayangannya, kontraktor proyek bersangkutan kelak pasti berasal dari Jepang. Demikian pula dengan pengadaaan bahan baku sampai ke lokomotifnya.

Lagi pula, menurut Revrisond, masalah serius yang kita hadapi saat ini adalah rendahnya tingkat kepercayaan. Dan ini berkaitan dengan soal keamanan. Karena itu, yang lebih dibutuhkan sebenarnya adalah program-program atau proyek yang berkaitan dengan pemulihan keamanan. "Jadi, bukan proyek infrastruktur," ujarnya. Pendapat serupa sudah lebih dulu disuarakan oleh bekas Menko Ekuin Kwik Kian Gie dan mantan Menteri Keuangan Bambang Sudibyo. Keduanya menyarankan agar pemerintah tidak membiayai proyek-proyek infrastruktur dengan dana hasil pinjaman CGI.

Namun, karena pemerintah sudah berketetapan hati untuk melaksanakan proyek-proyek infrastruktur tersebut, Revrisond menganjurkan agar DPR mengawasinya secara ketat. "DPR harus membuat agar proyek-proyek itu menjadi transparan," ujarnya. Caranya? Dengan meminta datanya secara rinci. Misalnya, di mana proyek akan dibangun, berapa biayanya, kapan dikerjakan, dan siapa yang mengerjakan. Semua data itu selanjutnya disampaikan kepada masyarakat melalui media massa, agar mereka bisa ikut mengawasi.

Partisipasi DPR dalam menegakkan pemerintahan yang baik dan bersih tentu tak terpisahkan dari mekanisme pembagian kekuasaan dan sistem check and balance. Dalam hal proyek infrastruktur ini, memang cukup keras suara dari luar lembaga legislatif yang menolak, disertai alasan yang tak pula sembarangan. Kini terserah DPR, apakah mau berkerut kening dan mengkaji untung-rugi proyek utang yang juga berpeluang menyuburkan kolusi, korupsi, dan nepotisme itu. Pokoknya, menghadapi pinjaman proyek yang ketat, pengawasannya juga harus ketat.

Nugroho Dewanto, IG.G. Maha Adi, Dewi Rina Cahyani., L.N. Idayanie (Yogyakarta)


Proyek Jangka Menengah dan Jangka Panjang Bantuan Jepang

No.Nama ProyekNilai Proyek
1Proyek Irigasi Batanghari II 7,639 miliar yen (US$ 70 juta)
2Proyek Pembangunan Sumber Daya Air (II)18,676 miliar yen (US$ 170 juta)
3Proyek Pembangunan Infrastruktur Daerah Pedesaan (II)20,039 miliar yen (US$ 190 juta)
4Pembangunan lembaga dan SDM untuk peningkatan pelayanan Bea Cukai, yang terkait dengan teknologi informasi 4,108 miliar yen (US$ 40 juta)
5Proyek Peningkatan Pendidikan dan Pelatihan Kelautan 7,669 miliar yen (US$ 70 juta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus