Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah bakal menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tahun depan untuk menambah pendapatan negara. Direktur Eksekutif Center Of Economic And Law Studies (Celios), Bhima Yudhisitira, menyarankan pemerintah lebih kreatif mengejar sumber pajak lain dan tak menerapkan PPN 12 Persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, banyak penerimaan pajak yang belum dimaksimalkan seperti pajak karbon dan pajak orang kaya atau wealth tax. “Cara-cara untuk menaikkan tarif pajak ini adalah cara paling primitif, kuno dan paling tak efektif dalam mendongkrak penerimaan negara,” kata dia kepada Tempo, dikutip Jumat 21 November 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sesuai dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), pemerintah bisa menaikkan PPN bertahap satu persen. Kenaikan pajak ini terakhir terjadi pada April 2022 menjadi 11 persen dan ditetapkan naik jadi 12 persen pada 2025. Pajak pertambahan nilai dibebankan kepada konsumen sehingga penerapannya akan menyebabkan sejumlah harga barang dan jasa ikut naik.
Kenaikan harga kata dia, bisa berdampak pada penurunan konsumsi. Sedangkan konsumsi rumah tangga berkontribusi besar pada pertumbuhan produk domestik bruto (PDB). Data BPS memaparkan pada triwulan III 2024 sumbangan konsumsi sebesar 53,08 persen atau lebih dari separuh dari PDB.
Jika itu itu terganggu, Pertumbuhan ekonomi bisa rendah dan mengancam pelaku usaha. Dapat pula berdampak pada kontribusi perpajakan. “Jadi blunder, mau menaikkan rasio pajak lewat kenaikan PPN, kalau masyarakat tahan belanja rasio pajaknya bisa turun,” kata dia.
Karena itu Bhima mengusulkan pemerintah menarik penerimaan pajak dari sumber lain seperti wealth tax. Laporan studi Celios mengungkap jika aset orang kaya dipajaki sekitar 2 persen, bisa mendongkrak tambahan pendapatan negara hingga Rp 81,60 triliun per tahun. Selain itu pemerintah bisa menarik pajak karbon serta mengejar kepatuhan pajak dari data-data tax amnesty. “Data-data itu harus digali untuk mendorong kepatuhan, kecocokan aset, dengan laporan SPT (Surat Pemberitahuan Tahunan) misalnya, jadi kepatuhan pajaknya didorong,” kata dia.
Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Ajib Hamdani mengatakan potensi tambahan penerimaan negara dari kenaikan PPN tahun depan sekitar Rp 80 triliun. “Tapi daya beli yang merosot, akan memberikan tekanan terhadap pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.
Dengan menaikan tarif PPN tanggal 1 Januari 2025, kata Ajib, pemerintah perlu memitigasi pelemahan daya beli masyarakat. Karena barang beredar di masyarakat akan mengalami kenaikan harga. Permintaan atau demand produk akan mengalami kontraksi. Sedangkan sisi supply juga akan mengalami pelemahan, karena kanaikan harga atas barang dan jasa yang akan terjadi.