Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Pemerintah Tutup 840 Keramba Jaring Apung di Danau Toba Tahun Depan

Banyak nelayan Danau Toba yang memilih bertani daripada menjaga keramba jaring apung yang jauh dari tempat tinggal dan di lokasi yang ekstrem.

17 Desember 2022 | 07.05 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Sebanyak 840 petak keramba jaring apung di Danau Toba, Kabupaten Samosir akan ditutup tahun 2023 mendatang.  

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saat ini tercatat total ada 1.388 petak keramba jaring apung (KJA) di danau terluas di Indonesia itu, sehingga nanti ada 548 petak digeser atau dipindahkan ke zona yang sudah ditetapkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kepala Bidang Perikanan Dinas Tanaman Pangan dan Pertanian Kabupaten Samosir Brosdiana Sinaga mengatakan seluruh 1.388 petak KJA tersebut saat ini berada di luar zona yang sudah ditetapkan pemerintah.

Penetapan zona itu didasarkan Perpres No 81 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Danau Toba dan pada 2024 diharapkan seluruh KJA itu sudah bersih dari lokasi saat ini.

Menurut Brosdiana, penetapan zona perikanan KJA di Danau Toba menurut perpres tersebut adalah perairan dengan kedalaman lebih dari 100 m, yang mana lokasi yang sesuai ada lima titik yang berada di Sianjur Mula-mula (1 titik), Sitio-tio (2 titik), Nainggolan (1 titik), dan Onan Runggu (1 titik).

Sebelumnya, pada 2021, Pemerintah Kabupaten Samosir sudah menutup 491 petak KJA dan pada 2022 menutup 933 petak dengan memberi kompensasi antara Rp3 juta hingga Rp5 juta per petak, sesuai ukurannya.

Nelayan keberatan relokasi keramba jaring apung

Para nelayan pemilik KJA yang ditemui, mengaku lokasi sesuai zona yang ditetapkan memiliki kondisi perairan yang cukup ekstrem yakni ombak yang tinggi, angin yang kencang dan arus yang cukup deras, sehingga sulit untuk bisa mengelola KJA di lokasi tersebut.

Selain itu, lokasi zona yang ditentukan jauh dari tempat tinggal mereka saat ini, sehingga memerlukan biaya operasional yang lebih besar, yang menyulitkan bagi nelayan dengan modal yang kecil.

Nelayan KJA di Tanjung Bunga mengaku menyerah dan akan menutup kerambanya sesuai aturan pemerintah, daripada harus memindahkan kerambanya ke lokasi sesuai zona.

A Intan Naibaho, misalnya, yang sudah menutup 19 petak kerambanya sejak 2021 hingga 2022, dan saat ini tersisa 14 petak, akan menuruti pemerintah menutup seluruh kerambanya pada 2023 dan dia berharap bisa bertani atau berdagang setelah tak lagi menjadi nelayan KJA yang sudah dia geluti sejak 2008.

Menurut Naibaho, nelayan KJA di sekitar Tanjung Bunga umumnya memiliki keramba kurang dari 50 petak dan tidak memungkinkan untuk pindah ke lokasi yang ditetapkan, sehingga akan menutup seluruh kerambanya.

Jonnas Sitanggang, pebisnis KJA di Pangururan dengan keramba mencapai 100 petak, mengaku tidak akan pindah ke lokasi yang ditetapkan, karena kondisi perairan yang ekstrem serta lokasinya yang jauh dari kediamannya saat ini.

"Saya tidak sanggup, akan berhenti dan menutup keramba, lebih baik saya mencari usaha lain, bertani misalnya," katanya.

Pemilik keramba jaring apung akan mempelajari kondisi zona yang baru 

Beberapa pelaku bisnis KJA dengan skala besar, dengan jumlah keramba lebih dari 100 petak, dimungkinkan untuk pindah ke zona yang ditetapkan, namun masih akan mempelajari kondisi perairan secara menyeluruh untuk mengkaji kelayakannya.

Barila Sitanggang, nelayan KJA di Pangururan yang memiliki 120 petak keramba, mengaku akan melakukan survei lebih dulu ke lokasi untuk mengkaji kondisi perairan dan penggunaan teknologi yang sesuai.

"Kondisi perairan yang cukup ekstrem juga membutuhkan teknologi yang lebih canggih, di mana keramba saat ini tidak memungkinkan dipindah ke lokasi zona, karena perairan yang sangat dalam, ombak besar, angin kencang, dan arus deras. Teknologi ini membutuhkan modal yang lebih besar," katanya.

Barila menyebut ada 6 sampai 7 orang pemilik keramba skala besar, dan hingga saat ini mereka terus saling berkonsultasi dan mengikuti perkembangan, apakah mereka akan pindah dan meneruskan bisnis KJA di lokasi yang ditentukan.

Kondisi perairan yang ekstrem di zona yang ditetapkan, diakui Brosdiana membutuhkan penanganan yang berbeda, yang tidak sama dengan yang dilakukan nelayan saat ini, baik dari sisi teknologi maupun permodalan.

Oleh karena itu, pihaknya meminta kepada para nelayan keramba jaring apung untuk membentuk koperasi sebagai wadah pengelolaan KJA, sehingga bisa memiliki modal yang lebih besar yang memungkinkan menggunakan teknologi yang lebih maju.

Brosdiana mengatakan beberapa waktu lalu pihaknya sudah melakukan studi banding ke PT Aquafarm di Ajibata, Kabupaten Toba, untuk mengkaji teknologi yang sesuai dengan kondisi perairan di zona yang sudah ditetapkan.

Ia mengatakan pihak Aquafarm yang merupakan perusahaan besar dengan mengekspor produknya ke Amerika Serikat dan Eropa, berjanji akan membantu dan siap mendampingi nelayan KJA di lokasi sesuai zonasi.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus