Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja memaparkan kebijakan efisiensi anggaran tak hanya berdampak pada usaha sektor perhotelan. Menurut dia instruksi penghematan yang dikeluarkan Presiden Prabowo Subianto itu bisa berdampak pada sektor ritel.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, selain daya beli, pengetatan anggaran juga bisa jadi penyebab penjualan tak naik signifikan pada momen Idul Fitri kali ini. Dampak dari efisiensi menurut Alphonzus tak akan berdampak secara langsung, namun jika sektor usaha pariwisata terkena, maka impaknya akan dirasakan pula oleh bisnis ritel. “Pemangkasan itu memang tidak berdampak langsung kepada ritel. Tetapi akan terasa setelah nanti yang terkait dengan misalkan contoh sektor perhotelan, itu kan terdampak paling berat. Nanti dampak turunannya ke retail. Saya kira itu yang akan dirasakan,” ucapnya seusai acara peluncuran BINA Diskon Lebaran 2025 di Lippo Mal Nusantara, Jakarta, Jumat, 14 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden mengeluarkan instruksi efisiensi anggaran pada 22 Januari 2025. Perjalanan dinas dan kegiatan pertemuan atau meeting merupakan komponen dana yang diminta oleh kepala negara untuk dipangkas. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memaparkan bahwa penghitungan hasil efisiensi anggaran telah selesai dilakukan."Efisiensi tetap pada penurunan belanja, baik di pusat dan daerah, yang mencapai Rp306,69 triliun,” ujarnya saat konferensi pers APBN di Kantor Kementerian Keuangan pada Kamis, 13 Maret 2025.
Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani menghawatirkan kondisi usaha hotel domestik setelah muncul kebijakan efisiensi anggaran. Berdasarkan hitungan PHRI, pemangkasan anggaran bisa menyebabkan bisnis akomodasi dan perhotelan nasional kehilangan pendapatan hingga Rp 12,4 triliun.
Menurut Haryadi pemangkasan anggaran itu bisa berdampak signifikan bagi usaha akomodasi dan penginapan, karena pangsa pasar bisnis perhotelan dari belanja pemerintah masih cukup besar. “Tahun 2024 segmen pasar pemerintah secara nasional adalah sekitar 40 persen,” ujarnya.
Berdasarkan hitungan PHRI pada 2024, total keuntungan perhotelan seluruh Indonesia dari pasar pemerintah sebesar Rp 24,8 triliun. Terdiri dari akomodasi atau keterisian kamar sekitar Rp 16,5 triliun dan meeting Rp 8,2 triliun.
Sehingga, jika perjalanan dinas dan kegiatan pertemuan dipangkas 50 persen saja, maka kerugiannya bakal mencapai Rp 12,4 triliun. Selain itu, kebijakan efisiensi juga berdampak signifikan bagi hotel-hotel di luar pulau Jawa.
Data PHRI memaparkan bisnis perhotelan di daerah luar Jawa bahkan menggantungkan keuntungan dari pasar pemerintah sampai 70 persen. Haryadi mendukung efisiensi anggaran, namun menurut dia saat ini bisnis perhotelan masih sulit beralih dari segmen pasar pemerintah. "Karena belum adanya arah kebijakan yang jelas mendukung pariwisata domestik."