Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Pengusaha Tambang Menentang Rencana Pemerintah Naikkan Royalti Pertambangan

Dia menilai kebijakan ini tidak tepat waktu karena industri tambang tengah menghadapi harga komoditas yang anjlok dan beban operasional yang meningkat.

18 Maret 2025 | 09.00 WIB

Ketua Indonesia Mining Association (IMA) Hendra Sinadia saat ditemui usai menghadiri diskusi soal Wacana Kenaikan Tarif Royalti Pertambangan Nikel yang diadakan Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) di Hotel Sultan, Jakarta Selatan, Senin, 17 Maret 2025. Tempo/Dinda Shabrina
material-symbols:fullscreenPerbesar
Ketua Indonesia Mining Association (IMA) Hendra Sinadia saat ditemui usai menghadiri diskusi soal Wacana Kenaikan Tarif Royalti Pertambangan Nikel yang diadakan Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) di Hotel Sultan, Jakarta Selatan, Senin, 17 Maret 2025. Tempo/Dinda Shabrina

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pelaku usaha menentang rencana pemerintah menaikkan tarif royalti sektor pertambangan. Ketua Indonesia Mining Association (IMA) Hendra Sinadia, menilai kebijakan menaikkan royalti tambang tidak tepat waktu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Alasannya, saat ini industri tambang tengah menghadapi harga komoditas yang anjlok dan beban operasional yang meningkat. “Market sedang jatuh, harga juga turun, dan beban perusahaan terus meningkat. Ini bukan waktu yang tepat untuk menaikkan royalti,” ujar Hendra saat ditemui usai diskusi soal ‘Wacana Kenaikan Tarif Royalti Pertambangan Nikel’ yang diadakan oleh Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) di hotel Sultan, Jakarta, Senin, 17 Maret 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Menurutnya, kebijakan tersebut terkesan mendadak karena pelaku industri tidak mendapat kesempatan yang cukup untuk berdiskusi dengan pemerintah. “Sosialisasi hanya beberapa jam. Untuk isu sepenting ini, harusnya dibahas lebih komprehensif,” keluhnya.

IMA meminta pemerintah menunda implementasi aturan ini agar dapat dikaji lebih dalam. “Menunda bukan berarti kita menentukan kapan waktu yang pas, tapi lebih ke memberi ruang diskusi agar kebijakan ini mempertimbangkan banyak aspek, termasuk daya saing dan keberlanjutan industri tambang,” kata dia.

Dia mengingatkan kenaikan royalti tambang juga akan berpotensi menekan produksi nasional. Hendra mengungkapkan pelaku usaha menambang berdasarkan asumsi tarif royalti yang berlaku saat ini. Jika tarif dinaikkan, perhitungan keuangan perusahaan akan berubah drastis. “Perusahaan menggunakan asumsi tarif yang berlaku untuk 12 bulan ke depan. Kalau tarif naik, tentu perhitungannya berubah dan bisa berdampak pada produksi,” ujar Hendra.

Menurutnya, kenaikan royalti juga dapat menghambat investasi di sektor hilirisasi. Saat ini, kata dia, industri sudah terbebani dengan banyak kebijakan seperti Domestic Market Obligation (DMO), aturan Devisa Hasil Ekspor (DHE), hingga pajak minimum global untuk industri High Pressure Acid Leach (HPAL). “Jika ditambah royalti, ini bisa makin memberatkan cashflow perusahaan,” ucapnya.

Ia juga menyoroti dampak kenaikan royalti terhadap eksplorasi. “Eksplorasi itu kunci keberlanjutan industri. Kalau margin semakin tipis, bagaimana eksplorasi bisa berjalan? Sementara tanpa eksplorasi, kita tidak bisa menjamin pasokan bahan baku dalam 20-30 tahun ke depan,” katanya.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus