Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Penurunan penjualan hewan kurban, terutama sapi, terasa di Jawa Timur dan daerah lain.
Penurunan penjualan hewan kurban merupakan dampak dari resesi ekonomi.
Peternak berharap hewan ternak yang tak terjual bisa diserap untuk memenuhi kebutuhan daging.
ASA Romadiansyah mendulang untung saat Idul Adha tiba terkubur sudah. Sapi-sapi yang ia jual pada tahun ini tak selaris pada musim kurban sebelumnya. "Respons pembeli agak loyo, enggak kayak dulu," kata peternak sapi di Jawa Timur ini, kemarin, 29 Juni 2023. Roma menggambarkan bahwa lazimnya hampir seluruh sapi di kandang sudah banyak dilirik dalam waktu sebulan hingga sepekan menjelang Idul Adha. Namun, pada tahun ini, dia menyebutkan peminatnya berkurang. Hingga menjelang hari raya, performa penjualannya hanya sekitar 75 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lesunya penjualan hewan kurban ini dibenarkan Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI), Nanang Purus Subendro. Menurut dia, penurunan penjualan terjadi di beberapa daerah lainnya selain Jawa Timur. Para peternak asal Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Bali, yang memiliki lapak di daerah Jabodetabek serta Jawa Barat, misalnya mengeluhkan peminat kurban yang turun sekitar 30 persen. "Penurunan secara nasional tidak merata, tapi 10-30 persen lebih rendah daripada tahun lalu," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nanang mengatakan hampir semua jenis sapi mengalami penurunan penjualan. Termasuk sapi dengan harga Rp 18-21 juta, yang biasanya paling laris, tak ludes terjual pada tahun ini. Peminat sapi-sapi jumbo di atas 750 kilogram pun tidak begitu ramai seperti tahun sebelumnya.
Kondisi penurunan penjualan ini, menurut dia, memperpanjang derita peternak. Tahun lalu, wabah penyakit mulut dan kaki (PMK) melanda serta menyisakan rata-rata 25 persen aset peternak yang kandangnya terjangkit virus. Peternak yang sapinya tidak terjangkit pun ikut terkena dampak karena kehilangan pasar dan harga sapi yang anjlok. Ditambah penyakit cacar atau lumpy skin diseases masih menyebar.
Nanang menuturkan peternak juga dihadapkan pada tingginya biaya pakan. "Biaya pakan berkontribusi 75 persen dari biaya operasional," katanya. Kenaikan harga dipicu terbatasnya biji gandum impor setelah Rusia dan Ukraina berseteru. Sumber protein lain, seperti bungkil kedelai, juga ikut naik harganya.
Dokter hewan dari Suku Dinas Ketahanan Pangan Kelautan dan Pertanian Jakarta Selatan memeriksa mulut sapi di Tempat Penampungan Hewan Kurban di Kuningan, Jakarta, 23 Juni 2023. TEMPO/Hilman Fathurrahman W.
Mencari Cara Tetap Untung
Sekretaris Jenderal PPSKI, Robi Agustiar, menyatakan sapi-sapi yang belum laku terjual bisa saja dirawat kembali untuk dijual pada Idul Adha tahun depan. Namun dia memperkirakan peternak makin sulit menjualnya karena ukuran sapi yang membesar.
Saat ini banyak sapi berukuran 250-300 kilogram yang belum dilirik. Jika dirawat, bobotnya bakal naik jadi 600-700 kilogram pada tahun depan. "Daya beli orang kita enggak bisa sapi besar," tuturnya. Peminat sapi-sapi jumbo pasarnya terbatas.
Salah satu solusinya adalah menjual sapi untuk daging potong. Harganya memang berbeda. Namun Robi menilai peternak masih bisa untung. Harga sapi untuk kurban saat ini mencapai Rp 75-78 ribu per kilogram. Sedangkan sapi potong biasa dagingnya hanya bernilai sekitar Rp 50 ribu per kilogram.
Menurut Robi, asosiasi sedang menjajaki kerja sama dengan sejumlah pengusaha sapi potong di kawasan Jawa Barat serta DKI Jakarta dan sekitarnya untuk membantu para peternak. "Kami juga berharap agar bisa masuk ke BUMD atau pemerintah untuk diserap sebagai sapi potong," tuturnya.
Dampak Resesi
Penurunan penjualan yang dihadapi peternak sejalan dengan hasil riset Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas). Lembaga tersebut memproyeksikan penurunan jumlah orang yang berkurban sekitar 90 ribu orang pada tahun ini dibanding pada 2022. Akibatnya, potensi ekonomi kurban pada tahun ini hanya Rp 24,5 triliun, yang berasal dari 2,08 juta orang yang berkurban. Proyeksi tersebut lebih rendah dibanding pada 2022, yang diestimasi mencapai Rp 24,3 triliun dari 2,17 juta orang yang berkurban.
Direktur Ideas, Yusuf Wibisono, mengatakan, dari 2,08 juta keluarga muslim berdaya beli tinggi yang berpotensi berkurban pada tahun ini, kebutuhan hewan kurban terbesar adalah kambing dan domba dengan total 1,23 juta ekor. Sedangkan sapi dan kerbau hanya 505 ribu ekor.
Yusuf menuturkan estimasi penurunan jumlah orang yang berkurban itu didasarkan pada dampak resesi global yang melemahkan kembali pemulihan ekonomi pasca-pandemi. "Melemahnya daya beli masyarakat akibat kenaikan harga pangan dan energi menyebabkan kami mengambil estimasi kurban yang konservatif," ujarnya.
Dengan dampak resesi global yang semakin terasa, Yusuf mengatakan kelompok miskin bakal jadi yang paling keras terhantam. Kehadiran kurban, menurut dia, sangat berarti untuk mereka. Terlebih, saat ini kesenjangan konsumsi makanan sangat tinggi. Dia berharap pembagian kurban bisa tepat sasaran menyasar masyarakat miskin.
Yusuf mencatat, hingga 2022, rata-rata penduduk di persentil tertinggi atau 1 persen kelas terkaya mengkonsumsi 5,31 kilogram daging kambing dan sapi per kapita per tahun. Jumlahnya 294 kali lebih tinggi daripada masyarakat dalam kategori 1 persen kelas termiskin, yang hanya mengkonsumsi 0,02 kilogram daging per tahun per kapita.
VINDRY FLORENTIN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo