Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Sejumlah warga di sekitar lokasi pengembangan proyek geotermal memprotes pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi.
Studi Celios dan Walhi menemukan sumber panas bumi banyak tersebar di kawasan konservasi serta berkaitan erat dengan sumber air masyarakat. Tidak hanya dari segi lingkungan dan sosial, PLTP juga merugikan dari sisi finansial.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi membenarkan adanya masalah di beberapa proyek PLTP.
KRISTIANUS Jaret masih duduk di bangku kelas II sekolah menengah pertama saat Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu resmi beroperasi di kawasan Poco Leok, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, pada 2011. Pada awal pembangunan, tidak ada penolakan warga lokal terhadap proyek geotermal yang menghasilkan 10 megawatt listrik tersebut.
Protes warga muncul sejak pemerintah berencana meningkatkan kapasitas pembangkit. Pada 2022, surat keputusan bupati setempat menyatakan bakal ada perluasan unit 5 dan 6 PLTP Ulumbu. Jaret mengatakan penolakan warga terjadi karena dampak lingkungan dan sosial mulai dirasakan. Salah satunya adalah terjadinya korosi pada seng beberapa rumah sehingga warga perlu mengganti atap. Masyarakat setempat menduga hal itu diakibatkan oleh aktivitas tambang geotermal. “Itu baru dampak yang kasatmata,” kata Jaret saat dihubungi kemarin.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo