Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sejumlah warga di sekitar lokasi pengembangan proyek geotermal memprotes pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi.
Studi Celios dan Walhi menemukan sumber panas bumi banyak tersebar di kawasan konservasi serta berkaitan erat dengan sumber air masyarakat. Tidak hanya dari segi lingkungan dan sosial, PLTP juga merugikan dari sisi finansial.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi membenarkan adanya masalah di beberapa proyek PLTP.
KRISTIANUS Jaret masih duduk di bangku kelas II sekolah menengah pertama saat Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu resmi beroperasi di kawasan Poco Leok, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, pada 2011. Pada awal pembangunan, tidak ada penolakan warga lokal terhadap proyek geotermal yang menghasilkan 10 megawatt listrik tersebut.
Protes warga muncul sejak pemerintah berencana meningkatkan kapasitas pembangkit. Pada 2022, surat keputusan bupati setempat menyatakan bakal ada perluasan unit 5 dan 6 PLTP Ulumbu. Jaret mengatakan penolakan warga terjadi karena dampak lingkungan dan sosial mulai dirasakan. Salah satunya adalah terjadinya korosi pada seng beberapa rumah sehingga warga perlu mengganti atap. Masyarakat setempat menduga hal itu diakibatkan oleh aktivitas tambang geotermal. “Itu baru dampak yang kasatmata,” kata Jaret saat dihubungi kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aksi penolakan terjadi pada 9 Juni 2023. Saat itu, warga dari empat kampung adat, yakni Gendang Lungar, Gendang Tere, Gendang Racang, dan Gendang Rebak di Poco Leok, membuat barikade pertahanan di jalan. Mereka menghadang kendaraan milik perusahaan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang hendak mematok lahan untuk proyek geotermal.
Jaret, yang berasal dari Kampung Tere, juga khawatir akan ada konflik antar-warga yang pro dan kontra jika pembangunan PLTP terus berlanjut. Karena itu, ia memastikan perlawanan bakal tetap dilakukan terhadap rencana pembangunan tersebut.
Baca juga:
Penolakan pengembangan proyek energi baru tersebut juga datang dari warga Padarincang, Banten, tepatnya di area kaki Gunung Gede Pangrango. Dadang, warga setempat, menolak rencana operasi pembangkit listrik geotemal di daerahnya. Pemandu wisata Gunung Gede itu khawatir proyek PLTP akan menghilangkan penghasilan warga lokal akibat alih fungsi lahan.
Laman Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyebutkan sebagian area pengembangan panas bumi di Penugasan Survei Pendahuluan dan Eksplorasi (PSPE) Cipanas berada di dalam kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Dadang mengatakan proyek geotermal di daerahnya akan memakai porsi lahan 3.180 hektare. Luasan tersebut berdampak pada lokasi di Kabupaten Cianjur, seperti Pacet, Cipanas, dan Cugenang. “Kalau benar-benar terus dibangun, ada kemungkinan hak rakyat sebagai petani akan hilang dengan adanya tambang geotermal,” ujarnya.
Munculnya sejumlah konflik di lokasi proyek geotermal sejalan dengan studi Center of Economic and Law Studies (Celios) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Penelitian yang dipublikasikan pada Maret 2024 itu berjudul "Geothermal di Indonesia, Dilema Potensi atas Nama Transisi Energi". Studi itu memaparkan dampak ekonomi, ekologi, dan sosial yang dirasakan masyarakat.
Studi Celios dan Walhi menemukan sumber panas bumi banyak tersebar di kawasan konservasi serta berkaitan erat dengan sumber air masyarakat. Tidak hanya dari segi lingkungan dan sosial, PLTP juga merugikan dari sisi finansial. Berdasarkan estimasi yang dilakukan tim Celios dan Walhi, PLTP di tiga lokasi di NTT (Wae Sano, Sakoria, serta Ulumbu) berisiko menimbulkan kehilangan pendapatan petani sebesar Rp 470 miliar pada tahap pembangunan.
Rentetan Aksi Tolak Pembangkit Panas Bumi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sementara itu, kerugian terhadap output ekonomi mencapai Rp 1,09 triliun pada tahun kedua proses ekstraksi geotermal.
Jumlah tenaga kerja diperkirakan menurun 20.456 orang pada tahun pertama dan 50.608 orang pada tahun kedua. Kehadiran PLTP pada tahun pertama akan menurunkan produktivitas pertanian, perikanan, dan perkebunan yang selama ini menjadi denyut nadi perekonomian masyarakat. Sedangkan untuk tahun-tahun selanjutnya, makin banyak ragam sektor ekonomi warga yang akan terus menurun.
Peneliti dari Celios, Atinna Rizqiana, mengatakan, dari 18 PLTP di Indonesia, hampir seluruhnya ada permukiman warga. Masyarakat setempat bergantung pada alam dan lingkungan sehingga konflik sulit dihindari. “Ada banyak kasus, rentetan peristiwa yang lumayan parah,” ujarnya kemarin.
Rentetan Aksi Tolak Pembangkit Panas Bumi
Di Ulumbu, misalnya, berdasarkan penelusuran Atinna, warga baru mendapatkan akses listrik beberapa tahun setelah PLTP beroperasi. Sementara itu, lahan pertanian mereka tercemar dan sumber air menjadi tidak layak konsumsi. Selain itu, pengadaan lahan kerap menegasikan keberadaan sekelompok warga adat di sana.
Celios juga menemukan permasalahan terjadi di lokasi lain, seperti di area PLTP Baturraden yang berlokasi di Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Sumber air warga di lokasi tersebut menjadi keruh. Menyitir laman resmi Kementerian ESDM, disebutkan pemerintah mengambil langkah mempercepat penanganan air bersih bagi warga yang terkena dampak PLTP pada Oktober 2017.
Rentetan Aksi Tolak Pembangkit Panas Bumi
Attina mengatakan, dalam pembangunan proyek geotermal, kerap terjadi masalah, seperti kehilangan lapangan kerja yang tak sebanding dengan keuntungan ekonomi yang diraup negara. Berdasarkan penelitian memang ada kenaikan pemasukan, tapi pada tahap konstruksi atau pada dua tahun awal karena ada penyerapan tenaga kerja. Namun kehilangan lahan mata pencarian warga lokal cukup besar.
Menurut dia, PLTP memang lebih sedikit daya rusaknya ketimbang pembangkit batu bara. Namun pembangkit panas bumi selalu membutuhkan eksplorasi sumur baru. Ia mencontohkan kawasan Dieng yang saat ini memiliki sekitar 30 wellpad atau tapak pengeboran. “Akhirnya banyak sumur tidak produktif dibiarkan begitu saja, sedangkan perkebunan warga telanjur habis dan air bisa tercemar,” katanya.
Anggota Divisi Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Alfarhat, juga mengkritik keberadaan PLTP di sejumlah lokasi di Indonesia. Sederet masalah yang terjadi cukup membuktikan bahwa keberadaan geotermal merugikan warga lokal. Menurut dia, Jatam sudah menguraikan daya rusak PLTP terhadap lingkungan dan adanya dampak kesehatan bagi masyarakat di berbagai tempat. “Sorik Marapi, misalnya, beberapa kali mengalami kebocoran gas H2S, warga menjadi korban,” katanya.
Pada 2021, hasil investigasi lapangan yang dilakukan oleh Kementerian ESDM memaparkan adanya masalah operasional yang terjadi akibat beroperasinya PT Sorik Marapi Geothermal Power (SMGP) di Sumatera Utara. Selama lima tahun ada 15 korban dan 1 korban jiwa akibat menghirup gas hidrogen sulfida atau H2S di lokasi tersebut.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi membenarkan adanya masalah di beberapa proyek PLTP. Perempuan yang baru menjabat enam bulan tersebut mengatakan setidaknya ada 7-8 lokasi proyek yang bermasalah. “Di awal saya banyak menandatangani penghentian-penghentian eksplorasi dan penundaan-penundaan karena konflik sosial,” katanya kepada Tempo kemarin.
Dia mengatakan penolakan warga terjadi khususnya di lokasi yang ada kaitannya dengan masyarakat adat. Namun pemerintah berusaha membuka dialog dengan warga setempat.
Menurut dia, Direktorat Jenderal EBTKE sudah memiliki beberapa upaya untuk menyelesaikan masalah sosial. Pertama adalah upaya pendekatan ke masyarakat lewat program patriot energi untuk edukasi transisi baik PLTS, pembangkit hidro, dan PLTP.
Ia berharap anak muda bisa membantu menyiarkan tentang energi terbarukan dan akses kelistrikan, serta meyakinkan bahwa hal itu sangat dibutuhkan penduduk setempat. “Pasti kalau terbangun daerahnya berkembang,” katanya.
Eniya juga berupaya mengajak pelaku industri pembangkit merangkul warga lewat program tanggung jawab sosial atau corporate social responsibility (CSR) dan melibatkan warga menjadi pekerja di tambang.
Dia mengatakan faktor sosial juga memang kerap menghambat investasi. Ia mencontohkan ada investor yang belum jadi mengucurkan dana karena mendengar kabar ada 40 persen masyarakat di lokasi yang menolak proyek. Meski 60 persen atau sebagian besar setuju, penanam modal enggan masuk. “Kita punya investasi yang datang masuk ke Indonesia, tapi terhambat karena kita sendiri,” ujarnya.
Soal masalah lingkungan, Eniya memastikan Kementerian akan terus memonitor masalah tersebut. Untuk mengatasi keterbatasan air, solusinya adalah teknologi lose loop atau penggunaan kembali air. Untuk mencegah kebocoran gas, pihaknya sudah meminta industri memasang sensor monitoring H2S di lokasi PLTP dan sekitarnya sesuai dengan radius yang diwajibkan.
Hingga berita ini diturunkan, Executive Vice President Komunikasi Korporat PLN Gregorius Adi Trianto tidak merespons pertanyaan Tempo mengenai konflik yang kerap terjadi di sekitar lokasi pembangunan dan pengembangan PLTP.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo