Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Tinggalkan Mamak Dapat Mamak

Penduduk di kabupaten agam, pariaman, tanah datar sum-bar yang kurang tanah garapan, di "transmigrasi lokal" ke kabupaten pesisir selatan. di daerah ini mereka diberi tanah dan keperluan keluarga.

10 Juli 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH sejak tahun 1966 Gubernur Sumatera Barat Harun Zain dan pimpinan Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau memperingatkan para datuk agar kembali berfungsi sebagai pemimpin sosial ekonomi kaum. Peringatan tersebut bukan tanpa sebab. Karena di tahun-tahun itu Gubernur Harun Zain sudah melihat gejala kemerosotan pamor para datuk di ranah Minang itu. Mereka tak lagi jadi pelopor dalam kegiatan penerukaan atau pembukaan sawah atau ladang baru. Padahal jumlah anggota kaum sudah tak seimbang dengan tanah yang tersedia. "Bila masih ingin dihormati anak-kemenakan", begitu Gubernur Harun Zain berseru dengan nada masgul, "para datuk supaya kembali berfungsi sebagai pemimpin sosial-ekonomi". Namun toh lama nian para datuk termangu menyimak peringatan tadi. Sampai mereka lupa bahwa penduduk yang menumpuk di Kabupaten Agam, Padang/Pariaman dan Tanah Datar misalnya sudah kekurangan tanah garapan. Mereka rata-rata cuma memiliki sawah garapan tak lebih dari 1/2 ha. Padahal kawasan Pesisir Selatan, Pasaman dan Sawah Lunto/Sijunjung, masih mampu menyediakan tanah sesuka hati. Sampai akhirnya awal Juni kemarin 63 keluarga asal Matur, Kabupaten Agam dan 53 keluarga asal Kampung Dalam, Kabupaten Padang/Panaman didorong oleh keadaan, rela jadi peneruka baru di Negari Amping Parak, Kabupaten Pesisir Selatan. Kedit Dengan tak melupakan adat setempat, Bupati Pesisir Selatan drs. Abrar secara resmi jam 0.01 dinihari di awal Juni itu menyerahkan 116 keluarga tersebut kepada para penghulu Amping Parak. Dan para penghulu ini menyambut para anak-kemenakan baru yang diantar para penghulu asal daerah itu dengan memotong sapi. Pendeknya upacara itu seronok dengan adat "tabang batumpu, hinggok mancakam", dan "ditinggalkan mamak, didapati mamak". Seusainya, para peneruka yang kebanyakan orang tua itu sudah bisa menggarap tanah seluas 2 ha dan mempersiapkan segala keperluan keluarga dengan biaya sendiri. Bila berjalan lancar, kredit Rp 125 ribu untuk per ha tanah telah dijanjikan oleh Bupati Abrar. Namun tampaknya cara bantuan itu tak begitu disukai Bupati. Sebab ia minta kepada para peneruka yang tak lain para "transmigran lokal" model alam Minangkabau itu, "berfikir masak-masak sebelum minta kredit". Sebab, katanya, kesulitan akan dirasakan, "kalau mulai mencicilnya". Meski jangka waktunya 5 tahun. Rasanya betul juga. Toh para "transmigran lokal" itu sudah bertekad sebagai "kelinci percobaan". Sekalian menyadarkan kembali peranan para datuk.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus