TEBU selalu manis? Bagi PT Gunung Madu Plantations (GMP), musim giling tahun ini tebu bisa terasa sedikit pahit meski harga gula di London pekan lalu naik jadi US$ 237 dari US$ 197 per ton Desember. Gara-garanya, jangan kaget: sekitar 25% dari 16 ribu ha areal tanaman tebu miliknya di Terbanggi Besar, Lampung, terserang penyakit hangus daun (leaf scorch). Penyakit itu, yang menyebabkan daun hangus dan ruas tebu jadi pendek, ditemukan November tahun lalu. Karena itu, produksi GMP jadi turun-sekalipun kabarnya penyakit itu tidak mempengaruhi tingkat rendemen. Untuk musim giling 1986 ini, gula yang bakal dihasilkan perusahaan patungan itu (sampai Oktober nanti) diduga hanya sekitar 90 ribu ton lebih sedikit, atau turun 6%-10% dari perkiraan semula. "Kalau turun sampai 50%, kami tentu sudah pulang angkat kopor," kata Fauzi Thoha, manajer perkebunan GMP, ketika berada di Jakarta. Menurut sebuah sumber, penyakit hangus daun itu ditemukan menyerang tebu varietas Ragnar yang, konon, diimpor dari Australia tanpa melewati Balai Penelitian Perusahaan Perkebunan Gula (BP3G) di Pasuruan, Jawa Timur. Hanya beberapa ruas yang dimasukkan, 1978, tapi setelah disemaikan selama dua tahun produksi komersialnya sudah bisa dimulai pada lahan 100 ha. Lalu secara bertahap meningkat, menggantikan varietas NCo 310 yang, karena terserang panyakit, mulai digusur secara bertahap - apalagi rendemennya juga sudah merosot. Produktivitas Ragnar ini ternyata bagus: rendemennya antara 10% dan 12%. Artinya, dari setiap 100 kg tebu bisa dihasilkan 10-12 kg gula. Padahal, tingkat rendemen normal untuk perkebunan tebu di luar Jawa paling banter hanya 8%. Karena hasilnya menakjubkan, maka GMP memperbanyak tanaman varietas Ragnar ini, hingga jumlahnya tahun lalu mencapai lebih dari separuhnya. Ada dugaan penyakit hangus daun itu muncul karena Ragnar tidak melewati masa karantina selama dua tahun untuk diamati. Masa selama itu memang dibutuhkan karena jamur stogonospora sachari, penyebab penyakit itu, bisa tidur sementara waktu dengan membentuk semacam kista. Jika suatu saat lingkungannya memberi kemungkinan hidup, jamur akan muncul, dan berkembang biak menyerang tebu yang dari luar kelihatan sehat walafiat itu. Penyebaran penyakit itu sangat cepat karena sporanya yang ringan gampang diterbangkan angin. Daun ilalang sekalipun bisa juga digasaknya. Tapi, manajer perkebunan GMP membantah anggapan penyebaran hangus daun itu muncul dari bibit tebu yang diselundupkan. Menurut Fauzi, bibit tebu yang dimasukkan tanpa lewat BP3G Pasuruan hanya varietas SP dari Brasil tahun 1980 lalu. "Itu pun hanya beberapa ruas," tambahnya. "Sedang yang Ragnar lewat BP3G dan punya sertifikat." Bagi GMP - patungan antara Rejosari Bumi, Pipit Indah, dan Kuok Investment (Hong Kong) - musibah itu tentu tidak dikehendaki menyebar secara berkepanjangan apalagi sampai menyerang perkebunan tetangga. Tanaman tebu yang terserang kini dibongkar dan diganti dengan varietas baru yang tahan penyakit. Tindakan seperti itu, pada 1981, juga pernah dilakukannya terhadap varietas NCo 310 yang terserang penyakit noda kuning. Risiko seperti itu wajar dihadapi setiap perusahaan, juga bagi GMP yang punya kapasitas giling 90 ribu ton per tahun. Dari kawasan yang semula hutan belantara dan ladang tak terawat itu, produksi gula GMP naik terus: dari 25 ribu ton pada 199 ketika diresmikan, jadi 96 ribu ton tahun lalu, seiring dengan bertambahnya luas tanaman. Kalau tahun ini GMP harus kesandung, perusahaan gula itu rasanya masih tetap bisa mengumpulkan gula cukup banyak, dan menghasilkan uang karena Bulog masih mau membeli gulanya di atas harga internasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini