BANK Umum Koperasi Indonesia (Bukopin) sedang menggelembung perutnya. Tidak dengan membuka cabang, melainkan dengan penggabungan usaha sejumlah bank koperasi di pelbagai daerah. Cabangnya kesembilan di Ujungpandang yang diresmikan pekan lalu, umpamanya, sebelumnya dikenal sebagai Bank Koperasi Sulawesi Selatan. Dengan merjer itu, tidak heran, kekayaan Bukopin menggelembung cepat: dari Rp 25 milyar per Desember 1984 jadi Rp 60 milyar setahun kemudian. Dan, di akhir kuartal pertama barusan, kekayaannya naik lagi jadi Rp 78 milyar. Hebat. Wajar kalau Menteri Koperasi Bustanil Arifin, ketika acara makan siang dengan Perhimpunan Bank Nasional Swasta (Perbanas) pekan lalu, merasa perlu menyebut keunggulan Bukopin itu. "Saya yakin Bukopin bisa naik ke anak tangga lebih tinggi lagi," katanya. Di akhir tahun lalu itu, memang, Bukopin sudah melompat dari anak tangga 31 ke 21 suatu posisi cukup lumayan di antara 69 anggota Perbanas dari segi pengumpulan kekayaan. Tapi pemasaran dananya, karena mungkin pihak direksi kelewat hati-hati, tidak sederas seperti usahanya menarik rekening koran. Dengan kata lain, sesudah makan kenyang, Bukopin rupanya masih sulit pergi ke belakang. Di akhir kuartal pertama lalu, pinjaman yang diberikan hanya tercatat Rp 43 milyar, atau 55% dari seluruh kekayaannya. "Tapi kami masih berusaha mengembangkannya," kata Muhammad Nazif, M.B.A., Direktur Utama Bukopin. Sikap hati-hati itu mungkin baik, mengingat sekarang kebanyakan koperasi sedang dijegal kesulitan keuangan dan manajemen. Jadi, tidak perlu kaget Bukopin Cabang Yogyakarta, misalnya, baru menyetujui pinjaman untuk KUD Tani Binangun di Bantul dan KUD Sari Redjo di Wonosobo, masing-masing sebesar Rp 25 juta. Kredit yang disetujui Februari lalu itu disalurkan lewat Bank Rakyat Indonesia (BRI) untuk pengadaan sarana produksi pertanian dan menyelenggarakan kegiatan toko eceran. Katanya, yang antre minta kredit sesungguhnya cukup banyak. Bukan hanya koperasi, tapi juga sektor kegiatan ekonomi umum. Dan berdasar data yang dihimpun kantor pusat, sampai Maret lalu, sekitar 38% dari pinjaman yang diberikan ternyata diserap sektor umum. Sebagian besar, tentu, diambil koperasi. Tidak ada maksimum pinjaman bagi KUD. "Sejauh kelayakan usaha dipenuhi - ada pasar dan harganya bisa bersaing - pinjaman akan diberikan sesuai dengan jaminan," kata M. Nazif kepada TEMPO . Syukur, menurut Nazif, lembaga koperasi tercatat sebagai nasabah yang bagus. Selama hampir dua tahun memimpin Bukopin, mereka lancar mengembalikan pinjaman - termasuk GKBI, yang pinjamannya semula dinyatakan macet, kabarnya sudah lancar kembali. Kredit macetnya cuma sekitar 3% dari pinjaman yang diberikan. Itu pun, "masih ada kemungkinan bisa ditarik kembali-jaminannya 'kan ada," kata Nazif. Sebagai bank, yang kelak akan dijadikan sebagai satu-satunya lembaga keuangan bagi koperasi di seluruh Indonesla, Bukopin mungkin belum beken. Karena itu, agaknya, dana pihak ketiga berupa deposito porsinya masih kecil: sekitar 40% dari volume rekening koran. Untung, pelbagai koperasi arggota Bukopin, terakhir tercatat 44 angotanya, banyak yang menggunakan untuk menyelenggarakan kegiatan transaksinya. Kalau aktivitas itu tidak dilakukan lewat Bukopin, boleh jadi rekening korannya bakal kecil. Memang Bukopin belum sebesar Banque d'Agricole, bank koperasi yang tercatat sebagai lembaga keuangan nomor 2 terbesar di Prancis. Karena volume usahanya belum maksi, labanya tahun lalu baru Rp 967 juta. Kalaupun dalam kegiatan usahanya, Bukopin harus bersaing dengan BRI, para pengasuhnya tampak tidak terlalu khawatir menghadapinya. "Bukopin sudah menunjukkan gejala kuat untuk tumbuh sehat dan cepat," kata Menteri Bustanil. Mudah-mudahan, asal tidak terlalu sering diberi tonikum berupa kredit murah Bank Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini