ZAMAN keemasan para pengusaha rig telah lama lewat, sejak harga emas hitam, minyak, kuyu di pasar mana pun. Penurunan yang terjadi dari US$ 25 per barel ke harga mengambang antara US$ 10 dan US$ 12 sccara langsung menonjok para pengusaha rig. Hingga saat ini bagi para pengebor, "belum ada kabar baik," seperti kata Menteri Pertambangan dan Energi Subroto, pada Musyawarah Anggota Asosiasi Pengeboran Minyak dan Gas Bumi Indonesia (APMI) di Jakarta, Jumat pekan lalu. Kekalutan pasar minyak, mau tidak mau, mengakibatkan kegiatan eksplorasi pun berkurang. Munculnya para penanam modal baru di bidang minyak, salah satunya dari Brunei, menandakan situasi yang terjadi sekarang sifatnya "sementara". Dan, Subroto memperkirakan, dua atau tiga tahun mendatang situasi akan kembali membaik. Itu harapan. Kenyataannya, dibanding 1985, aktivitas pengeboran tahun ini berkurang hingga 60%. Kata sebuah sumber di Pertamina, itu disebabkan dana yang disediakan terbatas dan menawar sewa rig pun kini dilakukan dengan lebih ketat. Rig darat, yang tahun lalu bisa laku US$ 11.000 per hari, kini tinggal US$ 6.500 saja. Padahal, titik impas bagi pengusaha rig sedikitnya harus masuk US$ 7.500 per hari. Sempoyongan. Kurang lebih begitulah yang diakui Arifin Panigoro, Direktur Utama PT Medco: "Situasi sekarang sangat merugikan, belum lagi harus bayar cicilan rig yang belum lunas." Medco dengan enam rignya merupakan perusahaan pengeboran darat yang terbesar. Untuk tiga buah rig, Medco masih berutang US$ 10 juta, "Dan bunganya saja US$ 1 juta dolar per tahun," ujarnya. Padahal, dari rig yang ada, tiga di antaranya menganggur karena tak ada game. KALAU situasi begini berjalan sampai tiga tahun, terpaksa Medco meminta belas kasihan bank. "Negosiasi sudah kami lakukan sejak sekarang," kata Arifin. Sebab, sebuah rig yang menganggur pun ternyata memakan biaya pemeliharaan tidak kurang dari US$ 1.000 per hari. Jual saja? Dalam masa lesu ini rig sudah bukan lagi merupakan barang mahal. Kata Arifin, rig darat, yang harganya 5 juta dolar, setelah dipakai beberapa bulan saja harganya anjlok menjadi satu sampai dua juta dolar saja. "Kalaupun mau dijual dengan harga murah, saat sekarang, siapa, sih, yang punya duit?" sambut Rudijono Hadi, Direktur Utama PT Murino Jaya. Dalam tarif sewa semakin cekak, Murino akan tetap mempertahankan lima rig-nya sekadar membayar cicilan bunga dari utangnya pada Bapindo lebih dari Rp 10 milyar. Ternyata, musibah minyak tidak merata, terutama pada para pengusaha rig lepas pantai. PT Bosara Mulia, misalnya, yang berpatungan dengan Riding and Battes, AS, kini masih mengoperasikan tiga buah rig-nya di Balikpapan dan Natuna. Meskipun harga sewa turun dari US$ 14 ribu tahun lalu menjadi US$ 12 ribu tahun ini, "dari segi keuangan masih terjamin," kata Basoeki S. Hardjosoekatmo, Presiden Direktur PT Bosara Mulia. Katanya, rig lepas pantai sebenarnya tidak kekurangan order. Hanya saja sikap para pengusaha minyak terasa sangat menekan. Sebenarnya bukan hanya harga minyak saja yang harus disalahkan. G Drilling, izin usaha pengeboran, ternyata masih dibuka juga. "Padahal, usaha drilling sekarang jenuh," kata Rudijono Hadi, Ketua I APMI, yang punya 58 anggota. Masuknya rig sewaan ke wilayah Indonesia, tanpa dikenai bea masuk, juga menjadi salah satu sebab terjadinya banting-bantingan harga. "Persaingan jadi tidak fair," kata Rudi. Budi Kusumah Laporan Moebanoe Moora (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini