Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Volume gas murah untuk industri masih terbatas.
Biaya tambahan gas menambah ongkos produksi.
Serapan gas berharga khusus untuk industri tak pernah lebih dari 90 persen.
JAKARTA – Kementerian Perindustrian mengakui penyaluran gas industri dengan harga khusus masih belum optimal. Tak sedikit perusahaan yang belum bisa menikmati gas murah. Juru bicara Kementerian Perindustrian, Febri Hendri, menyatakan hal ini disebabkan oleh pasokan gas yang terbatas. Akibatnya, penyalur menetapkan kuota gas bumi berharga khusus bagi industri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Jika industri mengkonsumsi gas melebihi kuota tersebut, mereka dikenai surcharge (biaya tambahan)," kata Febri kepada Tempo, kemarin. Penaltinya bisa mencapai 150 persen dari harga kontrak. Dia mencontohkan, penyaluran gas berharga khusus di Jawa Timur hanya 61-93 persen dari kontrak yang ditetapkan pada 2022. Sedangkan di Jawa Barat, volumenya 89-97 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kondisi tersebut memicu para pengusaha harus merogoh modal lebih tinggi. Febri mencatat terdapat lebih dari 95 persen perusahaan yang ditetapkan sebagai penerima harga gas bumi khusus yang membayar di atas ketentuan. Merujuk pada Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 91 Tahun 2023, pemerintah memberikan harga khusus untuk industri tertentu mulai dari US$ 6-8 per million British thermal unit (MMBTU).
Sejak 2020, pemerintah mengalokasikan gas berharga khusus bagi industri tertentu untuk membantu mengurangi biaya produksi. Stimulus ini ditujukan bagi industri pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet. Mereka berhak membeli gas dengan harga US$ 6 per MMBTU. Sebelum kemudian pemerintah pada 19 Mei lalu menaikkan tarifnya lewat Keputusan Menteri Nomor 91 Tahun 2023. Salah satu alasannya adalah biaya produksi gas meningkat.
Febri mengklaim program ini berhasil meningkatkan utilitas produksi para penerima stimulus. Dari kajian Kementerian Perindustrian bersama Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, harga gas khusus buat industri menaikkan utilisasi total sebesar 7 persen pada 2021. Sebagai contoh, utilisasi di industri gelas naik 32,55 persen dan industri keramik 10,26 persen. Selain itu, dia mencatat industri membukukan peningkatan pajak sampai 19,3 persen pada 2021 dan menjadi 22,9 persen hingga Oktober 2022.
Pembuatan keramik di Cileungsi, Bogor, Jawa Barat. Tempo/Tony Hartawan
Ketua Umum Forum Industri Pengguna Gas Bumi, Yustinus Gunawan, menuturkan kendala soal pasokan yang terbatas menjadi momok tersendiri. Perusahaan membutuhkan gas tersebut untuk melanjutkan produksi, tapi harganya yang tak sesuai dengan ketentuan pemerintah membuat beban biaya produksi bertambah. Dia berharap pasokan dari hulu bisa segera bertambah.
Selain itu, Yustinus berharap ada transparansi ihwal volume gas berharga khusus yang tersedia, termasuk volume gas yang sudah dipakai perusahaan. Dengan begitu, para pengguna gas bisa memperhitungkan modal produksi secara lebih rinci dan tepat. "Kalau kena surcharge, biayanya enggak main-main," kata dia. Ditambah lagi saat ini ada rencana kenaikan harga gas bumi di luar alokasi untuk program stimulus.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mencatat realisasi penyaluran gas berharga khusus untuk industri tak pernah sampai 90 persen selama tiga tahun berjalan. Pada 2022, alokasi yang disiapkan pemerintah mencapai 1.054 billion British thermal unit per day (BBTUD), tapi serapannya hingga Agustus lalu hanya 84,11 persen atau 1.054,54 BBTUD.
Realisasinya tak jauh berbeda dari 2021 yang cuma 87,06 persen. Penyalurannya sebesar 1.080,38 BBTUD dari alokasi 1.241,01 BBTUD. Sedangkan pada 2020, serapannya sebesar 77,49 persen atau 928,17 BBTUD dari alokasi gas 1.197,82 BBTUD.
Menteri Energi Arifin Tasrif menjelaskan bahwa penyerapan gas berharga khusus untuk industri terhambat sejumlah kendala. Salah satu kendalanya adalah kerusakan di fasilitas produksi sejumlah perusahaan penerima fasilitas harga gas khusus. "Kami sudah minta laporan (mengenai penyebab penyerapan yang tidak kunjung naik)," ujarnya pada Februari lalu. Tempo berupaya meminta konfirmasi ihwal perkembangan evaluasi tersebut kepada Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian Energi, Tutuka Ariadji. Tapi sampai berita ini ditulis, ia tak merespons.
VINDRY FLORENTIN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo