Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kurs rupiah melorot lagi hingga mendekati 15.700 per dolar Amerika Serikat.
Arah kebijakan fiskal Prabowo Subianto tak kuasa menolong rupiah.
Kondisi politik Amerika, tekanan di Cina, dan perang Timur Tengah membuat rupiah lesu.
KEKUATAN rupiah ternyata tak bisa bertahan lama. Ketika pada September 2024 The Federal Reserve menurunkan suku bunga, nilai rupiah menguat nyaris menyentuh level 15 ribu per dolar Amerika Serikat. Pekan lalu, kurs rupiah sudah melorot lagi, mendekati 15.700.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Melemahnya rupiah bukanlah awal yang menyenangkan buat presiden baru. Tapi, apa boleh buat, pasar memang tak menyambut Prabowo Subianto dengan optimisme. Satu soal yang masih meredupkan sentimen pasar terhadap Indonesia adalah arah kebijakan fiskal Presiden Prabowo Subianto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam berbagai kesempatan sebelum pelantikannya, Prabowo memang menyampaikan rencana kebijakan fiskal agresif. Ia akan menaikkan utang pemerintah dengan berani mengongkosi program-program populis. Ini bukan kebijakan yang ramah investor. Lonjakan utang pemerintah Indonesia akan menaikkan risiko berinvestasi dan bisa membuat harga obligasi pemerintah turun. Rupiah pun merosot.
Pada saat yang sama, situasi pasar global berubah makin tak menguntungkan Indonesia. Di Amerika Serikat, pasar sedang terombang-ambing menebak hasil pemilihan umum karena ketatnya kompetisi Kamala Harris versus Donald Trump. Keadaan ekonomi Amerika empat tahun ke depan bakal bergantung pada pemenang kontes itu. Ketidakpastian ini membuat pasar obligasi pemerintah Amerika menggelegak, terutama obligasi berjangka panjang yang merosot harganya.
Turunnya harga obligasi berjangka panjang juga menandakan tingkat inflasi akan naik lagi. Spekulasi pun merebak: ada kemungkinan The Fed tak jadi menurunkan bunga lagi bulan depan, yang berarti kabar buruk buat rupiah.
Sementara itu, belum lagi perang di Timur Tengah dan Ukraina mereda, tensi politik di Semenanjung Korea dan Selat Taiwan memanas. Pasar khawatir perseteruan yang sudah menahun di sana meletus menjadi konflik militer terbuka.
Yang terpenting di antara berbagai faktor penekan rupiah adalah rencana pemerintah Cina memberi stimulus untuk menggerakkan ekonominya yang sedang lemah. Pasar memang sempat kecewa karena sampai sekarang belum jelas betul sebesar apa stimulus untuk ekonomi Cina itu akan mengalir. Tapi, dua pekan lalu, Menteri Keuangan Tiongkok Lan Fo’an sudah memberikan gambaran umum sebagai patokan.
Kini investor berharap pemerintah Cina akan mengumumkan besaran stimulus itu pekan-pekan ini. Jika magnitudonya sesuai dengan ekspektasi pasar, realokasi dana-dana investasi ke Cina akan kembali terjadi dalam skala global. Investor mencari kesempatan memburu profit dari perbaikan ekonomi Cina. Lagi-lagi rupiah akan turut menjadi korban perpindahan dana ini sebagaimana mata uang negara-negara berkembang lain.
Menimbang banyaknya faktor penekan ini, rupiah agaknya masih akan terus melemah. Tekanan seberat itu tak akan tertahan. Bank Indonesia sebenarnya sudah mengintervensi baik lewat pasar spot maupun pasar berjangka begitu nilai rupiah mulai anjlok menjelang pelantikan Prabowo. Kantor berita Bloomberg melaporkan sudah ada dua intervensi BI dalam dua pekan terakhir.
Namun intervensi itu sepertinya tak berdampak banyak karena bukan hanya faktor domestik yang membuat rupiah kembali lemah. Intervensi BI sia-sia belaka jika yang dilawan adalah kekuatan pasar global yang sedang bergejolak begitu hebat.
Arah kebijakan moneter Indonesia memang “mengorbankan” kurs rupiah ketika ada tekanan pasar. Indonesia menerapkan rezim kurs mata uang yang mengambang. Sedapat mungkin BI tidak melakukan intervensi yang menghamburkan devisa. Apalagi jika intervensi itu dilakukan tanpa berhati-hati atau berbau tekanan politik.
Dana Moneter Internasional (IMF) dalam konsultasi tahunan dengan pemerintah Indonesia, yang juga disebut Article IV, selalu menegaskan prinsip itu. Nilai tukar rupiah harus terus memainkan peran sebagai peredam kejut ketika ada guncangan. Jika memang kurs rupiah harus merosot, otoritas moneter kudu membiarkannya. Yang mungkin dilakukan hanyalah intervensi terbatas untuk mengurangi penurunan yang terlampau tajam. Selebihnya, nasib rupiah memang bergantung pada pasar yang mahakuasa.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawaj judul "Rupiah di Titik Rendah "