Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Lonjakan harga komoditas diperkirakan tidak bisa menjadi andalan Indonesia pada akhir paruh kedua 2022, terlebih pada tahun depan. Pasalnya, sejumlah faktor global diperkirakan menekan harga komoditas.
Direktur Institute For Demographic and Poverty Studies (Ideas), Yusuf Wibisono, mengatakan tren kenaikan harga komoditas terpantau sudah berhenti pada April lalu dan mulai menurun sejak Mei hingga kini. Salah satu komoditas yang harganya anjlok adalah minyak kelapa sawit mentah atau CPO.
Pada Maret 2022, harga komoditas andalan ekspor Indonesia itu sempat menyentuh harga US$ 1.800 per ton. Namun, pada Juli, harga CPO anjlok hingga ke kisaran US$ 1.000 per ton. "Bisa disebut bahwa era commodity boom akan segera berakhir. Windfall (durian runtuh) komoditas tidak bisa lagi menjadi andalan pertumbuhan," ujar Yusuf kepada Tempo, kemarin.
Ia menuturkan harga komoditas bahkan tidak bisa menjadi andalan untuk pendapatan negara dan pertumbuhan ekonomi pada semester II 2022 serta keseluruhan 2023. Pasalnya, penurunan ekspektasi pertumbuhan global diperkirakan turut menekan permintaan komoditas.
Menurut Yusuf, faktor penekan paling utama dari lingkup eksternal adalah inflasi tinggi di berbagai negara yang diikuti dengan melemahnya pertumbuhan. Ancaman stagflasi di banyak negara juga membuat permintaan terhadap komoditas menurun sehingga harga melandai.
Isu lain yang harus diwaspadai pemerintah, menurut Yusuf, adalah ketegangan antara Cina dan Taiwan. Berbeda dengan invasi Rusia ke Ukraina yang mendongkrak harga komoditas, ketegangan Cina-Taiwan akan menekan harga komoditas. "Karena Cina adalah importir utama komoditas dunia, berbeda dengan Rusia dan Ukraina yang eksportir migas hingga gandum," tutur dia.
Apabila konflik dua negara di Asia Timur itu memanas dan terjadi perang yang berujung pada sanksi ekonomi terhadap Cina, kata Yusuf, permintaan Negeri Tirai Bambu terhadap komoditas akan jatuh. Ekspor Indonesia ke Cina pun akan terganggu. Karena itu, ia berujar, pemerintah harus mengubah strategi pertumbuhan yang bergantung pada ekspor menjadi mengandalkan permintaan domestik.
"Dengan strategi pertumbuhan ekspor yang kita adopsi selama ini, Indonesia hanya menjadi eksportir komoditas bernilai tambah rendah dan sering terbuai oleh kenaikan harga," tutur dia.
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara, berpendapat bahwa Indonesia harus bersiap memasuki era penurunan harga komoditas. Ia mengatakan situasi itu akan sangat mengganggu ekonomi Tanah Air yang selama ini bergantung pada lonjakan harga komoditas.
Bhima mengatakan penurunan harga pada beberapa komoditas mulai terlihat, antara lain besi baja yang turun 23,5 persen dibanding pada tahun lalu, bijih besi turun 33 persen, CPO turun 6 persen, dan kakao turun 4,4 persen. "Ini bisa terus berlanjut. Lalu ada lagi, sayur-sayuran yang kita pasok ke Taiwan, ini bisa terpengaruh," kata dia.
Bongkar-muat baja billet di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, 3 Juni 2021. TEMPO/Tony Hartawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Efisiensi Belanja
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, juga memperkirakan melandainya harga komoditas berlanjut hingga tahun depan. Dengan demikian, efek durian runtuh terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) juga berpotensi menurun. Untuk itu, ia menyebutkan, pemerintah harus memperhatikan efisiensi belanja negara lantaran ruang fiskal akan makin terbatas.
"Terlebih, pemerintah akan mengembalikan defisit anggaran ke level 3 persen terhadap PDB (produk domestik bruto)," tutur dia. Beberapa kebijakan efisiensi anggaran yang dapat dilakukan, menurut Josua, antara lain menyalurkan subsidi BBM secara tepat sasaran bagi masyarakat miskin, tidak bocor ke pengguna yang mampu seperti saat ini.
Selain itu, pemerintah perlu mempertimbangkan kembali belanja negara yang sifatnya tidak esensial dan dapat ditunda. Pasalnya, perekonomian global berpotensi melambat sehingga kondusivitas perekonomian domestik akan menjadi tulang punggung perekonomian ke depan. "Alokasi belanja yang tepat sasaran dan memiliki dampak berganda yang besar terhadap ekonomi diperlukan untuk menjaga kinerja perekonomian domestik," ujar Josua.
Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo mengungkapkan, hingga Juli 2022, kontribusi kenaikan harga komoditas terhadap penerimaan pajak mencapai Rp 175 triliun. Ia memperkirakan harga komoditas bisa menyumbangkan penerimaan pajak sedikitnya Rp 279 triliun hingga akhir tahun, dengan catatan harga komoditas tidak banyak berubah dari situasi saat ini. "Kami waspada kalau harga komoditas bergerak ke arah berbeda," tuturnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah akan terus mengikuti perkembangan harga komoditas, terutama akibat dampak geopolitik. "Faktor geopolitik memberikan sentimen yang sangat signifikan terhadap perekonomian," ujarnya. Perkembangan lain yang juga akan terus dipantau adalah tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi berbagai negara.
Sri berharap laju inflasi global tidak setinggi yang diprediksi berbagai lembaga internasional, sementara pertumbuhan ekonomi dunia juga diharapkan tidak serendah proyeksi. Kalau harapan tersebut terkabul, kondisi ekonomi dunia juga bisa relatif lebih baik.
"Kalau harga stabil, tidak merosot tajam, itu ideal. Namun, kalau harga bergejolak dan guncangannya menimbulkan riak, harus kita netralkan atau amankan," tutur Sri Mulyani.
CAESAR AKBAR
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo