Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Pemerintah memutuskan menunda target dan jadwal megaproyek listrik 35 ribu megawatt (MW). Keputusan tersebut diambil sebagai salah satu strategi untuk menyelamatkan rupiah dari kejatuhan akibat penguatan dolar Amerika Serikat. "Yang belum mencapai financial closing dan sudah digeser mencapai 15 ribu MW," ujar dia pada Selasa malam lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Proyek yang digagas pemerintah Presiden Joko Widodo itu semula diharapkan dapat rampung pada 2019. Megaproyek tersebut akhirnya ditunda dengan target 2021 hingga 2026. Akibatnya, kata Jonan, sejumlah proyek harus digeser lantaran estimasi pertumbuhan listrik sebesar 8 persen dari target anggaran pendapatan dan belanja negara diperkirakan hanya 7 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Pada triwulan kedua pertumbuhannya mencapai 4,7 persen," kata Jonan. "Jadi, estimasi kami tahun ini, pertumbuhan listrik maksimal hanya mencapai 6 persen. Makanya banyak proyek yang digeser."
Dengan adanya pergeseran tersebut, Jonan menyebutkan akan menekan pengadaan barang impor. Dalam proyek kelistrikan, rata-rata komposisi tingkat komponen dalam negeri (TKDN) bisa mencapai 50 persen lebih di beberapa proyek. Tapi, setelah digeser, rata-rata hanya 20-40 persen.
Dia menyebutkan, penundaan jadwal megaproyek kelistrikan ini bisa menggeser investasi sebesar US$ 24-25 miliar. Namun, meski investasi berkurang, negara bisa menekan beban impor yang mencapai US$ 8-10 miliar. Nilai tersebut setara dengan Rp 149 triliun apabila kurs dolar sebesar Rp 14.900.
"Namun apa yang kami lakukan ini tidak mengurangi target rasio elektrifikasi pemerintah sebesar 99 persen pada 2019. Hari ini rasio elektrifikasi sudah mencapai 97,14 persen," kata Jonan. "Mungkin akhir tahun bisa 97,5 persen."
Bukan hanya listrik, menurut Jonan, pembatasan impor juga berlaku untuk sektor minyak, gas, mineral, batu bara, energi baru dan terbarukan, serta konservasi energi. Pemerintah tidak akan menyetujui master list untuk rencana impor yang bisa didapatkan produknya yang dimanufaktur di dalam negeri.
Dia menuturkan penggunaan produk lokal dengan dua catatan, yakni memenuhi kualitas dan spesifikasinya sama. "Kami mendorong penggunaan produk dalam negeri. Untuk turbin, kalau bisa dibuat di dalam negeri, ya dibuat di dalam negeri," kata Jonan.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi, Rida Mulyana, mengatakan biasanya pertumbuhan listrik harus 1,2-1,3 kali lipat pertumbuhan ekonomi. Apabila pertumbuhan ekonomi 5, jika dikalikan 1,2, pertumbuhan listrik harus mencapai 6 persen. "Tapi besarannya tidak signifikan. Sebagian besar disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi," kata dia.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI), Arthur Simatupang, meminta kepastian hukum soal rencana penundaan megaproyek listrik tersebut. Pasalnya, kata dia, para investor perlu kepastian dan iklim investasi mesti tetap terjaga. Arthur meminta pemerintah turut memperhatikan secara berimbang terhadap investasi sektor tenaga listrik jangka panjang.
"Apalagi dalam investasi, proses perizinan, tender, hingga pembangunan bisa menghabiskan waktu sampai lima tahun," kata Arthur.
Menurut dia, penundaan itu belum bersifat peraturan, melainkan baru sosialisasi. "Kami melihat, selama proyek sudah berkontrak, yang secara hukum itu sah, saya rasa masih bisa dilanjutkan." LARISSA HUDA
Menggeser Target
Pemerintah menggeser penyelesaian megaproyek listrik 35 ribu megawatt dari 2019 menjadi 2026. Sejumlah proyek ditunda dan dievaluasi menyusul pelemahan nilai tukar rupiah. Berikut ini capaian ketenagalisrikan.
Program 35 ribu megawatt (status Juni 2018)
Perencanaan - 1.007 MW
Pengadaan - 2.130 MW
Kontrak/PPA belum konstruksi: - 13.481 MW
Konstruksi: - 16.523 MW
Beroperasi - 2.278 MW
*Catatan: terdapat penambahan operasi pembangkit atas kebutuhan operasional sebesar 493,3 MW (MPP Sumut 240 MW, MPP Amurang 120 MW, MPP Kupang 60 MW, dan MPP Ambon 73,28 MW), sehingga yang total beroperasi menjadi 2.083,5 MW
Rasio Elektrifikasi
Capaian rasio elektrifikasi hingga semester I 2018 mencapai 97,13 % dengan komposisi: PLN 94,65%, non-PLN: 2,36%, dan LTSHE 0,12%.
2019 : Target 99,9
2018 : Target 97,5, realisasi semester I: 97,13
2017: 95,35
2016 : 91,16
2015 : 88,30
2014 : 84,35
Kapasitas Terpasang Pembangkit (gigawatt)
2018 (semester 1) : 62
2017 : 61
2016 : 60
2015 : 55
2014 : 53
SUMBER: KEMENTERIAN ENERGI | PLN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo