Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMERINTAH Singapura tampaknya sudah putus asa menghadapi krisis yang melanda industri pengilangan minyaknya. Arah lain sudah pula ditentukan. "Pemerintah akan memberi rangsangan-rangsangan dan mendukung semua pembangunan infrastruktur untuk perdagangan minyak," ujar Lee Hsien Loong, menteri negara pertanianan, perdagangan, dan industri Singapura, pekan lalu, pada pidato pembukaan Konperensi Internasional Pertama tentang Kemungkinan dan Aktivitas Perdagangan Minyak di kawasan Asia Pasifik. Diperkirakan, munculnya kilang-kilang minyak baru di Timur Tengah dan Asia Tenggara akan menyebabkan Singapura dalam tiga tahun mendatang hanya mampu menghasilkan 450 ribu barel produk minyak per hari. Padahal, selama ini kilang-kilangnya mampu berproduksi sampai 85% dari kapasitas terpasangnya yang sudah mencapai 1,1 juta barel per hari. "Singapura tidak akan mampu menghindarkan diri dari kemerosotan peranannya sebagai pusat pengilangan minyak," ujar Fereidun Fesharaki, pengamat masalah perminyakan terkemuka dari EastWest Centre, Honolulu, dalam konperensi yang didukung oleh pemerintah Singapura itu. Saat ini pun Shell Eastern Petroleum Ltd., anak perusahaan kelompok Royal Dutch/Shell, sudah menutup dan akan menjual satu dari dua unit kilangnya yang sudah menganggur sejak September tahun lalu. Sehingga, kapasitas pengilang minyak terbesar di Singapura itu, dengan sisa dua unit lainnya yang masih beroperasi, tinggal 280 ribu barel per hari dari 450 ribu ketika masih sehat. Andil terbesar krisis itu, ternyata, malah berasal dari negara-negara Timur Tengah, yang selama inl menjadi langganan utamanya. Pada akhir tahun ini, kilang-kilang minyak baru negara-negara Arab itu, bahkan, akan mampu mengekspor 350 ribu barel produk minyak per hari - 140 ribu di antaranya dari Arab Saudi. "Indonesia untuk sementara masih akan terus menjadi langganan karena masih ada persoalan dalam pemasaran minyaknya," ujar Fesharaki, tanpa memberi penjelasan lebih lanjut. Tak pelak lagi, para pengilang minyak di Singapura sudah mulai ambil ancang-ancang untuk ganti profesi. "Kalau keadaan sudah memaksa, kami akan beralih jadi pedagang," ujar Ng Cheng Cheong, wakil presiden Singapura Petroleum Company. Baginya, dengan kapasitas penyimpanan minyak Singapura yang sudah mencapai 65 juta barel, ganti profesi bukanlah persoalan besar. Oleh sebab itu, Loong buru-buru menawarkan berbagai fasilitas yang bisa diandalkan sebagai penopang peran baru negaranya sebagai pusat perdagangan minyak. "Kemajuan sistem telekomunikasi, angkutan, pelayanan keuangan, serta stabilitas politik dan letak yang strategis akan memberi rasa aman pada para pedagang minyak di Singapura," ujar anak Perdana Menteri Lee Kuan Yew itu. Gayung pun bersambut. Pedagang pedagang minyak raksasa di Eropa dan Amerika Serikat sudah merencanakan membangun markas besar baru, bersamaan dengan tumbuhnya Singapura dan Tokyo sebagai pusat perdagangan minyak. "Pusat pengambilan keputusan harus dipindahkan ke Asia. Kalau tidak, mereka akan ketinggalan," ujar Tony Yewdall, direktur Marc Rich Company, pedagang minyak raksasa yang masih bermarkas di Amerika Serikat. Untuk itu, Singapura sudah memutuskan membuka jaringan pipa baru yang menghubungkan Pulau Merlimau dan Pulau Ayer Chawan - dua pusat kilang dan penyimpanan minyak yang selama ini terpisah. "Tahun depan, setiap tanker sudah bisa langsung memuntahkan muatannya ke kedua tempat itu sekaligus," ujar Khong Shen Ping, kepala pelabuhan Singapura. Dan dalam waktu dekat ini, setiap tanker akan diberi izin langsung mengalihkan muatannya ke tanker lainnya dl pelabuhan. Sementara itu, Jepang yang selama ini tertutup, tahun depan akan membuka pasarnya untuk pelbagai produk minyak. Menurut The Nihon Keizai Shimbun, pembukaan ini ada kaitannya dengan tekanan dari rekan-rekan dagang Jepang. "Kalau itu benar, kebijaksanaan ini dapat dimaafkan," tulis koran ekonomi yang paling dipercaya itu. Dan, bagi para pedagang minyak yang ambil bagian dalam konperensi itu, perubahan peta bisnis minyak itu juga akan mengubah pola pembelanjaan negara-negara konsumen di Asia. "Mereka akan lebih suka membeli minyak dari pasar tunai, daripada melalui kontrak-kontrak jangka panjang," tulis Reuter, pekan lalu. Mereka menduga, karena kemampuannya memproduksi minyak matang, negara-negara Timur Tengah akan menjual minyak mentahnya lebih mahal. Jepang, yang selama ini menjadi konsumen terbesar, tampaknya sudah merasakan gejala itu. Bulan Juli lalu, minyak dari pasar tunai mengambil jatah 33,7% dari seluruh impor minyak Negara Sakura itu. Padahal, untuk menjaga stabilitas suplainya, selama ini sebagian besar impornya dibeli melalui kontrak-kontrak jangka panjang. Bahkan, pada 1982, ketika mulai terjadi banjir minyak di dunia, minyak impor Jepang dari pasar tunai hanya 12%. Namun, para pedagang tampaknya tidak bisa berharap terlalu banyak dari negara termaju di Asia itu. Asosiasi Petroleum Jepang, pekan lalu, memperkirakan: kebutuhan minyak Jepang dari tahun fiskal 1984 hingga tahun 2000 hanya akan tumbuh 5,2%. Sedangkan suplai dan permintaan di pasar minyak matang baru akan mencapai keseimbangan tahun 2000 juga, ketika negara-negara bukan OPEC tidak lagi mampu menghasilkan minyak. "Pada saat itu, masalah suplai sudah tidak lagi menjadi persoalan karena munculnya ladang-ladang minyak baru di Jepang," tulis laporan asosiasi itu. Kita tunggu saja, sampai berapa jauh Singapura siap memanfaatkan situasi ini. Praginanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo