Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Perbankan Tanpa Terobosan

30 Desember 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sepanjang tahun 2001, desas-desus tentang ambruknya sejumlah bank beberapa kali mencabik ketenangan pusat keuangan di Jakarta. Namun, hingga akhir tahun ini hanya satu bank yang kolaps, yakni PT Bank Unibank Tbk. Bank bekas milik bos Raja Garuda Mas (RGM), Sukanto Tanoto, itu digayuti kredit macet sampai Rp 2,6 triliun. Kredit itu dikucurkan Unibank ke PT Prima Energi Indonesia, anak perusahaan RGM sendiri. Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter sebenarnya telah agak lama berencana membekukan Unibank. Tapi Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) meminta agar "vonis" itu ditunda. Penundaan ini sia-sia ternyata, karena Unibank sudah terlalu parah dan akhirnya terpaksa dilikuidasi pada 29 Oktober 2001. Setelah Unibank ditutup, bukan berarti sektor perbankan bebas dari virus kredit macet. Hal itu terkait erat dengan proses penyehatan oleh BPPN, yang tampaknya belum berhasil mengokohkan sendi-sendi bank yang goyah. Selain itu, BI tetap mengharuskan bank-bank agar memiliki rasio kecukupan modal (CAR) minimum 8 persen dan kredit macet (NPL) maksimum 5 persen akhir tahun ini. Bila dua persyaratan itu tak dipenuhi, wabah rontok seperti yang dialami Unibank akan terulang lagi. Padahal, bila ada saja bank yang tumbang, pemerintah wajib mengganti dana pihak ketiga yang disimpan di bank tersebut. Hal ini bisa berakibat fatal karena sekarang saja negara sudah jatuh miskin. Mengantisipasi kemungkinan semacam itu, November lalu lima bank direncanakan untuk merger, yaitu Bank Bali, Bank Universal, Bank Prima Ekspres, Bank Patriot, dan Bank Artha Media. Setelah penggabungan itu kelak, bank yang baru itu minimal memiliki CAR 8 persen dan non-performing loan (kredit macet) di bawah 10 persen. Adapun Bank Internasional Indonesia (BII), yang semula akan diakuisisi oleh Bank Mandiri, belakangan diputuskan untuk berdiri sendiri. Pemerintah pun sigap memotong kredit macet Grup Sinar Mas yang meng-gerogoti BII selama ini. Keputusan "menyelamatkan" BII dengan menukar obligasi senilai US$ 1,059 miliar cukup berisiko, terutama karena utang yang dibuat Sinar Mas sangat banyak dan berlapis-lapis. Meski utang itu sudah tidak lagi di BII, BPPN masih harus menyuntikkan modal ke bank ini sebesar Rp 2 triliun-3 triliun. Dana itu digunakan untuk tagihan antarbank BII sebesar Rp 1,2 triliun plus utang pajak ditangguhkan sebesar Rp 800 miliar. Tampaknya sektor perbankan belum benar-benar pulih, juga belum mampu menjalankan fungsi intermediasinya dengan baik. Penyebabnya masih yang itu-itu juga: tingkat kredit macet yang relatif tinggi, good corporate governance yang belum mengakar, dan pengawasan yang lemah. Bagi sektor perbankan, tahun 2001 berlalu tanpa terobosan, kendati tetap diwarnai berbagai kejutan. Agus S. Riyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus