Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEMBUAT perubahan memang tak selalu mudah. Meski banyak kebijakan pemerintah pusat sudah didelegasikan ke pemerintah daerah seiring dengan lahirnya Undang-Undang No. 25/1999 tentang Otonomi Daerah, dampaknya tak selalu positif. Buktinya, kebijakan ini justru melahirkan ribuan peraturan daerah yang menghambat pertumbuhan.
Jauh hari, Lembaga Pengkajian, Penelitian, dan Pengembangan Ekonomi (LP3E)-Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia sudah mengungkap ada 1.006 peraturan daerah (perda) yang memberatkan dunia usaha. Dirjen Otonomi Daerah Departemen Dalam Negeri, Oentarto S.M., menengarai sekitar seribu perda bermasalah setelah Undang-Undang Otonomi disahkan.
Oentarto merinci 600 perda bermasalah karena, misalnya, masih merujuk pada undang-undang yang sudah dicabut, dan isi antar-pasalnya saling bertentangan. Sekitar 400 perda lainnya bermasalah karena kewenangan membuat peraturan itu masih di tangan pemerintah pusat. Sebab lainnya, obyek yang dipungut bukan obyek pajak, melainkan retribusi, atau sebaliknya. "Sekarang, perda bermasalah itu akhirnya ada yang dicabut dan diperbaiki," kata Oentarto kepada TEMPO.
Deputi Pengembangan Iklim Penanaman Modal Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Yus'an, mengakui upaya Departemen Dalam Negeri itu. Namun, ia kurang yakin perda yang dulu sering dikeluhkan itu sudah selesai. Keraguan Yus'an sepertinya tak salah. Soalnya, pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia, M. Chatib Basri, mengungkapkan, dari 284 perda bermasalah di Buku Putih Pemulihan Ekonomi pasca-IMF, baru separuh yang sudah dibereskan.
Hasil penelitian Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah 2003 juga menemukan 152 perda bermasalah. Survei Pusat Studi Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Pusat Studi Pertanian Institut Pertanian Bogor, dan LPEM FE-UI baru-baru ini juga menemukan di sejumlah kabupaten/kota adanya ratusan perda yang tak akrab dengan pebisnis.
Mengutip hasil survei itu, Ketua Komite Tetap Kebijakan Publik Kadin Indonesia, Utama Kajo, menyatakan 70 persen pelaku usaha daerah mengaku mengalami penurunan omzet usaha. Peraturan daerah tersebut banyak mengatur soal pajak, retribusi, dan pungutan demi mendongkrak pendapat asli daerah. Hanya 15 persen pelaku usaha yang mengaku omzetnya tak banyak berubah. Survei itu juga menyebutkan, 84 persen pelaku usaha mengaku peran pemerintah daerah terhadap dunia usaha hampir tidak ada.
Bila kondisi ini dibiarkan, kata Utama, tak mustahil pebisnis akan mengalihkan usahanya ke sektor lain. Pengusaha tidak mau melawan penguasa karena tindakan itu bisa merugikan diri sendiri. Namun, pengalihan usaha sangat berbahaya bila terjadi dari sektor fundamen ekonomi, seperti pertanian dan pabrikan, ke sektor jasa. Sekarang, misalnya, kata Utama, "Banyak sekali pedagang yang memperdagangkan produk impor."
Dirjen Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Departemen Keuangan, Machfud Sidik, juga mengingatkan bahwa daerah yang masih mempertahankan peraturan yang menghambat iklim usaha akan rugi sendiri karena bisa ditinggalkan pelaku usaha. Apalagi saat ini tidak sulit bagi pengusaha untuk berpindah usaha ke daerah lain yang kebijakannya lebih kondusif.
Anehnya, Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) tidak merasa banyaknya perda bermasalah. Apalagi Direktur Eksekutif Apkasi, Syarifuddin Lubis, mengaku pihaknya tidak pernah menerima keluhan dunia usaha. "Sekarang harus jelas, jangan sinyalemen," ujarnya, "Perda bermasalah itu yang mana dan di kabupaten apa, supaya kami bisa meneliti untuk memperbaiki."
Apalagi, kata dia, pedoman bagi pemerintah daerah dalam membuat peraturan daerah hingga kini tidak ada. Sejak Undang-Undang No. 22/1999 dibuat, produk turunannya seperti peraturan pemerintah atau keputusan presiden tidak ada. Sebaliknya, ada ketetapan MPR yang menyatakan pemerintah daerah boleh membuat peraturan daerah. Jadi?
Taufik Kamil, M. Syakur Usman, Danto (TNR)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo