Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menghadang Si Bongkok dari Seberang

Indonesia kebanjiran udang impor pasca-kebijakan antidumping Amerika. Masalahnya tetap modal.

19 Juli 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MESKI dunia tak selebar daun kelor, rezim perdagangan bebas seakan membonsai mayapada menjadi seukuran dusun. Tak percaya? Simak saja kisah udang impor yang diributkan belakangan ini. Heboh itu bermula dari kebijakan antidumping yang diterapkan pemerintah Amerika Serikat terhadap enam negara: Thailand, Cina, Vietnam, Ekuador, India, dan Brasil.

Sanksi yang dijatuhkan pada 1 Januari 2004 itu merupakan buah lobi dua serikat nelayan di Amerika: Southern Shrimp Alliance (SSA) dan Louisiana Shrimp Alliance (LSA). Selama hampir dua tahun, SSA dan LSA dibantu American Shrimp Processor Association (ASPA) memperjuangkan petisi antidumping. Petambak dan pabrik pengolahan udang di sana meradang karena udang impor menyerbu justru ketika masyarakat Amerika makin doyan makan udang.

Sementara pada 2001 konsumsi udang per kapita di Amerika sekitar 3,4 pon, tahun berikutnya sudah 3,7 pon. Tapi kenaikan pasar itu justru dinikmati industri olahan, penangkapan, dan budidaya udang di luar Amerika. Buktinya, 90 persen udang yang diperjualbelikan di pasar Amerika berstatus impor. Dengan sanksi antidumping, udang dari enam negara tersebut dibebani semacam bea tambahan?sering disebut margin dumping?untuk masuk pasar Amerika.

Beban bea yang harus ditanggung eksportir berbeda-beda, bahkan untuk satu negara sekali pun. Eksportir udang dari Cina, misalnya, dikenai bea masuk sekitar 0,04 persen hingga 112,81 persen. Eksportir Vietnam harus menanggung bea 12,11 persen hingga 93,13 persen. Pengenaan bea tambahan itu mengurangi daya jual udang dari enam negara tersebut di pasar Amerika.

Sebenarnya ini bisa jadi peluang para eksportir udang di Indonesia, mengingat enam negara yang terkena sanksi adalah eksportir terbesar pertama hingga keenam di pasar Amerika. Volume ekspor keenam negara itu ke Amerika tahun lalu mencapai 350 ribu ton. Tapi peluang itu terbentur oleh keterbatasan kapasitas. Apalagi, di akhir tahun lalu harga udang di pasar lokal sempat terjun bebas ke kisaran Rp 15 ribu hingga Rp 17 ribu per kilo.

"Harga murah menyebabkan petambak enggan menebar benih baru," kata Wakil Ketua Umum Gabungan Pengusaha Perikanan Indonesia (Gappindo), Johannes Kitono. Akibatnya, begitu pasar Amerika terbuka, stok udang di Indonesia malah cekak. Ini disiasati oleh beberapa pengusaha yang bermental mencari rente. Mereka menjadi perpanjangan tangan para eksportir udang Cina, Vietnam, Thailand, dan India.

Bermodal setumpuk dokumen pelengkap ekspor, seperti sertifikat asal dan sertifikat kesehatan, para eksportir jadi-jadian ini membeli udang dari Cina, India, atau Thailand untuk melemparnya lagi (re-ekspor) ke pasar Amerika. "Saya juga mendengar sinyalemen itu," kata Direktur Jenderal Kelembagaan dan Pemasaran Departemen Kelautan dan Perikanan, Sumpeno Putro.

Siasat lancung itu jelas mengundang risiko. Pemerintah Amerika tentu tak rela kebijakan antidumping-nya digoreng seperti ini. Jika bisa membuktikan penadahan macam itu, Amerika berhak menjatuhkan sanksi circumvention seperti biasa dijatuhkan pada negara-negara yang mere-ekspor barang dari negara yang terkena sanksi dumping.

Itu yang menyebabkan sebagian pengusaha udang, seperti mereka yang tergabung dalam Gappindo, menyerukan pelarangan impor udang. Pasalnya, jika sanksi circumvention jatuh, yang menanggung tak sebatas si eksportir usil, tetapi juga seluruh eksportir. Ujung-ujungnya akan mengimbas ke industri budidaya dan penangkapan udang. Jangan lupa, hampir 70 persen produksi udang di Indonesia diekspor ke luar negeri.

Cuma, memutuskan pelarangan impor udang tak semudah menuang kecap. Impor udang tak hanya monopoli importir jadi-jadian. Bahkan, sejak dulu tak sedikit eksportir udang?juga memainkan peran sebagai pengolah dan pengepak?yang mengandalkan bahan baku udang impor. "Pasokan udang di dalam negeri tak mencukupi," tutur Johan Setiadarma, Ketua Asosiasi Pengusaha Coldstorage Indonesia wilayah Jawa Timur.

Berbeda dengan eksportir penadah, para eksportir tulen tak hanya membeli udang dari luar untuk dire-ekspor. Mereka mengolah udang itu lebih dulu, entah dikupas, dibekukan, atau dijadikan makanan siap saji, baru kemudian mengekspornya. Ketergantungan pabrik pengolah terhadap udang impor ini membuat pemerintah terlihat ragu menyikapi udang impor.

Departemen Kelautan dan Perikanan serta Departemen Perindustrian dan Perdagangan cenderung memilih jalan tengah. "Melarang impor di masa sekarang bisa menimbulkan kerawanan," kata Sumpeno seraya menunjuk banyaknya tenaga kerja di industri pengolahan udang. Menteri Rini Soewandi kepada pers juga menyatakan akan memperketat impor ketimbang melarang.

Namun, bentuk pengetatan impor masih belum jelas. Sumpeno mengakui departemennya belum memperoleh aturan pas untuk membatasi impor. Pasalnya, selama ini Departemen Kelautan dan Perikanan tak pernah mengantongi data akurat tentang kebutuhan pabrik pengolahan udang. Tanpa data itu, pemerintah sulit memprediksi dampak udang impor terhadap industri dalam negeri. Johannes menganalogikan dampak itu seperti merokok, "Tidak terasa pada saat ini, tetapi akan merusak dalam jangka panjang."

Dari pantauan TEMPO di beberapa sentra penghasil udang, keberadaan udang impor belum dirasakan sebagian besar petambak. Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Tambak (FKMT), Syaiful Illah, yang juga Wakil Bupati Sidoarjo, misalnya, mengaku baru sebatas mendengar masuknya udang impor. Di tingkat petani Sidoarjo, tingkat permintaan udang lokal masih bagus. "Setiap kali panen, udang kami tetap habis dibeli supplier," kata Ahmad Syarif, yang telah mengusahakan tambak udang di Sidoarjo selama hampir 30 tahun.

Toh, para petambak berharap pemerintah tak lengah. "Kalau memang ada udang dari luar, pemerintah harus cepat turun tangan," kata Ahmad Qofiyudin, petambak di Manyar, Gresik. Harapan yang wajar, mengingat tanpa kehadiran udang impor pun harga udang cenderung turun. "Sekarang dapat untung Rp 2 juta sudah bagus," kata Mohammad, yang mengontrak lahan tambak udang di Desa Bangko, Cirebon. Dari Lampung, "Tanpa udang impor pun harga udang kami turun terus," tutur Parjono, Ketua Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu Dipasena.

Semoga saja harapan para petambak itu bergaung dalam pertemuan antara para pejabat pemerintah dan para pelaku bisnis udang di Makassar, pekan depan. Bagaimanapun, selain dihantui sanksi circumvention, udang impor yang menyelonong bebas juga dapat menjadi jalan penyebaran wabah penyakit. Sindrom Taura, yang bermula di Ekuador, misalnya, dalam hitungan pekan sudah menyebar hingga ke Meksiko, yang terletak jauh di utara.

Jangan lupa, si bongkok dari seberang itu juga berpotensi merambah pasar Indonesia. Selama ini konsumsi udang di pasar domestik memang masih rendah. Tetapi, dengan adanya udang impor di Indonesia, pabrik pengolahan bisa jadi memalingkan muka dari udang lokal. Jika itu terjadi, harga jual udang dari para petambak akan tergerus. Mengingat 60 persen petambak lokal tergolong pengusaha kecil dengan modal terbatas, harga yang murah dapat memutuskan napas usaha mereka.

Sumpeno, Johannes, dan Johan sepakat satu-satunya jalan menyelamatkan industri udang adalah menggenjot produktivitas. Dari 960 ribu hektare lahan tambak yang tersedia, baru sepertiga yang digarap. Lahan yang sudah berproduksi itu pun 60 persen diusahakan secara tradisional sehingga produktivitasnya tak tinggi-tinggi amat, sekitar 400 kilogram hingga 500 kilo per hektare dalam satu tahun. "Kita inginnya produktivitas bisa digenjot hingga 1 sampai 2 ton per hektare per tahun," kata Sumpeno.

Produktivitas bukan satu-satunya masalah industri udang dalam negeri. Di sektor pengolahan, Indonesia juga ketinggalan jauh dibandingkan dengan para pesaing. Thailand, misalnya. Sebagian besar ekspor produk udang Indonesia berupa udang beku. Produk udang siap saji, yang memiliki nilai tambah tinggi, masih sedikit. "Paling sekitar 20 persen," ujar Johan. Obat manjur menggenjot produktivitas ataupun nilai tambah di sektor perudangan ini, akhirnya, apalagi kalau bukan fulus. Tapi, ini sepertinya lagu lama yang membelit sektor riil di Indonesia.

Thomas Hadiwinata, Kukuh S. Wibowo (Sidoarjo dan Gresik), Ivansyah (Cirebon), Fadilasari (Lampung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus