ADA saja akal Bob Sadino, pemilik supermarket Kem-Chicks di
Kemang, Jakarta, untuk menarik minat pembeli. Pekan lalu, dalam
iklan cukup besar di sebuah koran, Bob tampil menjajakan daging
sapi dagangannya - muncul dengan wajah bak Kolonel Sanders,
penemu Kentucky Fried Chickens. Di situ dia menjamin, kendati
sebagian-ternak rumah potong hewan Cakung di Jakarta terserang
penyakit mulut dan kuku, daging sapi dagangannya "telah
diseleksi dan siap olah."
Hingga pekan ini, menurut Irama B. Chazanul, direktur
Kem-Chicks, volume penjualan daging segar, daging beku, dan
daging olahan perusahaan itu tak menurun. Daging segar yang
terjual pada hari sibuk Jumat, Sabtu, dan Senin, tiap hari
rata-rata tetap 750 kg - dan lebih dari separuhnya daging sapi.
"Pembeli daging di tempat kami sekitar 90% orang asing yang
tinggal di daerah Kemang," katanya.
Menurut Irama, Kem-Chicks memperoleh daging sapi segar itu dari
sembilan pensuplai utama yang mengirim komoditi itu secara
bergantian. Daging yang dibeli ratarata Rp 2.500 per kg ini
terlebih dulu diperiksa dengan mata telanjang dan dicium. Jika
diperlukan, pemeriksaan kimia pun dilakukan dengan mengetes
tingkat keasaman dan kadar airnya. Tapi "untuk mendeteksi
penyakit pada daging segar memang sulit," katanya.
Secara fisik, sapi yang terserang penyakit mulut dan kuku ini
mudah dikenali karena bagian mulut dan kukunya meradang. Jika
daging sapi itu akan dimakan, menurut seorang dokter, bagian
yang terserang penyakit, juga bagian jeroan, harus direbus dulu,
kemudian disimpan dalam kamar pendingin 24 jam. Sesudah itu
daging bisa diolah. Belum jelas benar apa 50 sapi di rumah
potong hewan (RPH) Cakung yang terserang penyakit ini sudah
disembelih atau disisihkan sama sekali.
Yang pasti saja, menurut Mustafa Said, direktur utama PD Dharma
Jaya, RPH Cakung setiap hari masih tetap memotong sekitar 600
sapi. "Permintaan daging tetap seperti hari-hari biasa,"
katanya. RPH Pegirian, Surabaya, juga masih menyembelih
rata-rata 200 ekor sapi setiap harinya. Sapi yang berasal dari
Banyuwangi, Besuki, Pasuruan Tuban, dan Madura itu dibeli rumah
potong tadi dengan Rp 2.000 per kg dalam keadaan hidup. Setelah
sapi disembelih, daging segar tadi dijual ke distributor Rp
2.000. Dari sini daging tadi dijual kepada konsumen antara Rp
2.000 dan Rp 2.400 per kg.
Menurut Soewadji, kepala Perusahaan Pembantaian Pegirian, rumah
potong yang dipimpinnya "tak mungkin kebobolan" sapi yang
terkena penyakit mulut dan kuku. Sebab, sebelum dipotong, sapi
yang masuk ke rumah potong itu harus mendapat semacam surat
tanda lulus sehat dari Dinas Peternakan. Sesudah dipotong pun,
daging sapi tadi masih perlu diperiksa lagi, apakah binatang itu
terserang penyakit hati atau tidak. Bila hati sapi kedapatan
rusak, "maka langsung dimusnahkan," katanya.
Sementara itu, di Medan, rumah potong milik Pemerintah Daerah
Sum-Ut setiap hari juga masih memotong sapi sekitar 30 ekor. Tak
ada penurunan permlntaan kendati sebagian sapi di Aceh
kejangkitan penyakit kelamin. Kenyataan itu tampaknya
membuktikan, sebagian besar konsumen masih percaya rumah potong
cukup hati-hati menyeleksi sapi yang bakal disembelih. Atau
karena kurang periksa?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini