PASAR tekstil lokal masih lesu. Tapi lima pabrik baru di Jawa
Tengah justru dibuka pekan lalu. Keberanian para pengusaha ini
dipuji Menteri Perindustrian Hartarto. Didampingi sejumlah
menteri, hari itu Menteri Hartarto meresmikan pabrik PT
Madukaran Sandang Indah di Pekalongan, Saritex Jaya Swasthi, dan
Mafahtex di Batang. Esoknya, 22 September, di Solo ia meresmikan
dua pabrik lagi: PT Dan Liris dan Kusuma Hadi Santoso. Kelima
pabrik itu total menyerap investasi Rp 192,7 milyar, dan
sebagian besar dana diperoleh dari bank.
Mengapa bank berani membiayai? "Ini permintaan Investasi tahun
1981," ujar Teuku Abdullah, direktur BNI 1946. Kala itu pasar
tekstil memang masih bagus. "Kalau sekarang mereka minta kredit,
kami harus pikir-pikir," tambahnya.
Dengan suntikan kredit antara lain dari BNI 1946 itu, Madukaran
yang menanamkan dana seluruhnya Rp 3 milyar membeli 300 mesin
tenun berkapasitas 518 ribu yard sebulan. Bersama Indian Bank di
Singapura, BNI 1946 juga memberi kredit Rp 4 milyar pada PT
Saritex.
Dengan dana itulah, antara lain, Saritex lantas membangun pabrik
di Batang, di atas tanah seluas 25 ribu m2 dan mampu menyerap
720 tenaga kerja. "Pabrik baru ini berkapasitas 700 ribu yard
bahan celana, serta 400 ribu yard bahan kemeja," kata H. Sachur
Muknin, dircktur Saritex pada TEMPO.
Setelah devaluasi Maret lalu, menurut Direktur Utama BBD Omar
Abdallah, pengusaha tekstil kini bisa merevisi perhitungan
untung-rugi. Hasilnya, "mereka mulai bisa mengekspor hasil
produksi, dan kami berani membiayai lagi pabrik tekstil,"
katanya pada Kastoyo Ramelan dari TEMPO.
Padahal, sebelum devaluasi, kata Omar, pabrik tekstil bagaikan
orang yang bisa makan, tapi tak bisa "ke belakang". Alias sakit.
Karena itulah, pihak perbankan berani membiayai pabrik tekstil
terintegrasi seperti PT Dan Liris dan PT Mafahtex. Dan Liris,
yang dipimpin kakak beradik Handoko dan Handiman yang tersohor
dengan Batik Keris, misalnya, mendapat kredit Rp 46,5 milyar
dari konsorsium bank pemerintah dan swasta. Didirikan tahun
1974, Dan Liris bisa memperluas pabriknya 1982, dan mulai
berproduksi Juni tahun ini. Kini Dan Liris menjadi pabrik
terpadu. Ia memproduksi benang tenun, kain (tetoron cotton) dan
juga kain katun. "Setahun, kapasitas produksi kami 43 ribu bal
benang tenun, serta 80 juta yard yang berwujud kain," kata
Handoko, yang mempekerjakan 8.500 karyawan ini. Hanya separuh
produksinya yang dijual di pasar lokal, selebihnya diekspor. BBD
juga memberi kredit pada Mafahtex Rp 1,5 milyar untuk membuka
unit finishing. Berkapasitas 500 ribu meter sebulan dan
menyerap 493 tenaga kerja, unit ini yang total memakan dana Rp
2,7 milyar melengkapi unit tenun dan printing yang sudah ada.
"Dengan tiga unit ini, kami menjadi pabrik terpadu," kata Munir,
asisten direktur Mafahtex. Untuk mengatasi kelesuan pasar,
pemerintah memang mengambil beleid jangka pendek: menyelamatkan
lebih dulu kelangsungan hidup 24 pabrik tekstil besar yang
terpadu dan menghasilkan tekstil kualitas tinggi untuk ekspor.
Para pengusaha yang tergabung dalam Persatuan Pembatikan
Indonesia Pekalongan (PPIP), yang sangat terpukul resesi,
meminta agar pemermtah juga memberi "cagar alam" pada pabrik
tekstil kecil. "Jangan hanya anoa di Sulawesi saja yang
dicagaralamkan. Juga industri kecil," kata H. Noor Basya
Djunaid, ketua PPIP.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini