KAPAS dalam kemasan plastik yang memakai banyak huruf kanji itu
bermerk Facial Cotton dan Maria. Jangan kaget kalau produk
komersial ini - kapas kecantikan, kapas kesehatan, dan pembalut
wanita - adalah hasil industri rumah tangga Desa Cigentur,
Bandung. Di seluruh desa tercatat 144 unit industri semacam ini,
yang melibatkan sekitar 1.000 tenaga kerja, yang setiap bulan
menghasilkan 60 ton pelbagai produk kapas.
Pada mulanya penduduk desa yang miskin itu, sekitar 30 km arah
selatan Bandung, punya mata pencaharian sebagai penarik becak
dan buruh pabrik tekstil. Perubahan segera terasa sesudah Utjin
dan Otjid, yang diberhentikan sebagai buruh pabrik tekstil,
1971, berusaha mengolah limbah (buangan) kapas dari industri
tekstil jadi kapas kecantikan. Oleh industri tekstil, kapas
berserat pendek 1 sampai 3 cm itu memang disisihkan.
Bagaimana mengolah limbah itu? Di dalam sebuah drum, kapas yang
sudah dicuci dengan typol oleh Utjin dan Otiid direbus semalaman
- biasanya dibubuhi pula soda api. Sesudah direbus, kapas masih
dicuci dengan kaporit sebelum pada akhirnya direbus kembali
dengan pemutih. Dari sini kapas tadi dibentuk menjadi lempengan
setebal 2 cm dengan berbagai ukuran, lalu dijemur di bawah
mataharn Bila kapas itu akan dijual sebagai kapas kecantikan,
sebelumnya diberi banyak warna, sedang untuk pembalut wanita,
kapas itu diberi kain kasa. Pengemasan kapas kering, yang siap
dijual itu, hanya dilakukan dengan lampu senter.
Metode itu kini sudah dipraktekkan secara massal. Bahkan bagi
Jejen, bekas penarik becak, dari hasil mengolah kapas limbah itu
dia bisa memperbaiki rumah gubuknya menjadi sebuah rumah tembok.
Kini dia malahan sudah mempekerjakan 5 buruh dengan gaji tiap
hari Rp 50a-Rp 1.500 per orang.
Dari seorang bandar (makelar), limbah kapas tadi dibeli Jejen Rp
650, dan setelah diolah dijual Rp 1.000 per kg untuk kapas
putih, dan Rp 1.250 per kg untuk kapas berwarna. Jika tiap hari
Jejen mampu mengolah limbah kapas itu satu kuintal,
penghasilannya jelas besar sekali. Kendati 50 orang dari perajin
itu sudah memperoleh fasilitas Kredit Investasi Kecil (KIK),
masing-masing Rp 600 ribu, banyak juga di antara mereka yang
mendapat pinjaman dari bandar.
Ny. Dina, 65 tahun, bandar besar, meng aku cuma mengambil untung
Rp 100-Rp 150 dari setiap kilo penjualan limbah kapas pabrik
pada para perajin itu. Dia, katanya, membeli limbah kapas itu Rp
500 per kg dari pelbagai pabrik pemintalan dan tekstil di
sekitar Bandung. Ketika dikonfirmasikan, pabrik pemintalan dan
tekstil keberatan mengungkapkannya. "Kami tak tahu kapas sisa
dibikin apa. Yang jelas kami dapat untung," ujar S. Sinaga,
direktur PT Unilon, pabrik pemintalan dan tekstil terkemuka di
Bandung.
Setiap bulan, Unilon memproses 140 ton kapas eks Amerika dan
Australia untuk diolah jadi tekstil. Jika limbah itu tak
dimanfaatkan penduduk Cigentur yang secara tak sengaja telah
menyambung proses daur ulang, di pabrik itu tiap bulan akan
menumpuk sedikitnya 10 ton kapas buangan. Karena bertahun-tahun
pemanfaatan limbah kapas itu tak menimbulkan keluhan pemakainya,
Sinaga menjamin limbah kapas itu terbebas dari zat kimia
beracun. Toh sejauh ini, kapas Cigentur, yang sudah beredar
sampai Jakarta, Bandung, Semarang Surabaya, dan Palembang itu,
belum mendapat sertifikat Departemen Kesehatan. Karena itu,
produk rumah tangga ini sulit masuk supermarket.
Dalam kaitan itulah, KUD Cigentur kabarnya sedang berusaha agar
kapas olahan tadi bisa memperoleh sertifikat tanda lulus uji
dari instansi tersebut. Pihak Lembaga Ekologi Universitas
Padjajaran, yang paling getol menangani soal limbah industri,
sampai kini belum meneliti apakah kapas eks Cigentur tadi bisa
merusakkan kulit pemakainya atau tidak. Jalan panjang tampaknya
harus dilalui penduduk Cigentur, mengingat untuk memperoleh
sertifikat sehat itu mereka harus memenuhi syarat higienis dalam
pengolahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini