PASARAN minyak selama kuartal ketiga sekarang ini ternyata cukup
bikin kecut organisasi negara-negara eksportir minyak (OPEC).
Tadinya diramalkan, dengan mulai pulihnya ekonomi dunia dari
resesi, konsumsi minyak dunia akan membaik, sehina produksi
minyak OPEC yang dalam kuartal pertama berjumlah 15,5 juta
barrel sehari diharapkan naik menjadi sekitar 20 juta barrel
sehari pada kuartal keempat tahun ini.
Proyeksi itu agaknya sulit dicapai, karena ternyata tambahan
permintaan akan minyak hanya datang dari AS. Itu pun masih
sekitar tiga persen di bawah konsumsi tahun lalu. Negara
industri di luar AS sampai sekarang masih belum menambah
konsumsi minyaknya.
Nordine Ait Laousinne, direktur International Energy Development
Corporation, Jenewa, juga salah satu konsultan OPEC, merasa
khawatir terhadap perkembangan ini. Katanya baru-baru ini,
"Situasinya bisa lebih buruk, kalau musim dingin mendatang ini
akan terasa sedang-sedang saja. Keperluan akan minyak pun akan
bisa dipenuhi dari stok. Itu berarti perusahaan minyak akan
mengurangi pembelian."
Panitia monitoring OPEC, yang pertengahan September rapat di
Wina, juga berkesimpulan bahwa pasaran minyak sekarang ini
masih "rapuh". OPEC, yang dalam sidangnya di London bulan
Februari lalu memutuskan menurunkan harga patokan minyaknya US$
5 per barrel, sekarang masih bisa mempertahankan produksinya
pada tingkat 17,5 juta barrel sehari, sesuai dengan konsensus.
Tapi ketua panitia monitoring OPEC, Saeed Mana Al-Otaiba dari
Uni Emirat Arab, mensinyalir, beberapa anggota OPEC secara
diam-diam telah memproduksi melebihi jatah yang ditetapkan.
Sheik Otaiba tidak menyebutkan negara anggota yang melanggar
konsensus. Tapi beberapa ahli mencatat, selama ini Iran, Arab
Saudi, dan Nigeria telah memompa produksi minyaknya melebihi
kuota. Dia memperkirakan produksi OPEC sehari kini mencapai 18
juta barrel 500.000 barrel lebih banyak dari jumlah yang
disepakati.
Karena pasaran belum mampu menyedot minyak OPEC sebanyak itu,
dikhawatirkan bisa berpengaruh terhadap harga minyak. Melemahnya
harga minyak itu sudah mulai terasa di pasar tunai (spot):
selama tiga minggu ini harga spot mulai turun terus, sesudah
naik dalam kuartal kedua.
Menteri Pertambangan dan Energi Subroto, seelum bertolak ke
Wina, bicara optimistis bahwa pasar akan menelan lebih banyak
minyak OPEC. Subroto memang tak menyebutkan apakah kenaikan
permintaan minyak di AS itu termasuk dari Indonesia. Tapi, bagi
Indonesia, yang perlu diperhatikan adalah pasaran minyaknya di
Jepang, pembeli paling besar.
Iran dan Meksiko sedang berusaha meningkatkan ekspornya di
Jepang, sedang Jepang sendiri diketahui belum bisa menambah
konsumsi minyaknya. Untuk menarik Jepang, maka Meksiko sudah
memasang pipa di pantai Pasifik agar mempermudah pemuatan
minyak, di samping memperbaiki jenis Isthmus, minyak mereka yang
berkualitas tinggi.
Iran, yang suka melanggar konsensus OPEC, sudah pula menawarkan
potongan yang cukup menarik kepada Jepang.
Sampai awal tahun ini minyak Indonesia masih merupakan 15%
konsumsi minyak Jepang. Tapi pertengahan tahun ini kabarnya
posisinya sudah turun menjadi 14%. APBN 1983/1984 yang sudah
disahkan DPR masih mendasarkan perhitungan atas harga minyak US$
34 per barrel, dan produksi 1,3 juta barrel sehari. Sesudah
harga minyak resmi turun menjadi US$ 29 per barrel, mengikuti
devaluasi rupiah pada Maret lalu, APBN sekarang ini tentunya
kurang menggambarkan kenyataan.
Tapi sampai sekarang pemerintah belum merevisi perkiraan
APBN-nya secara resmi. Mungkin dengan mengevaluasikan rupiah
sebanyak 38% terhadap satu dollar AS, pemerintah berharap bisa
menambah kekurangannya, dengan menerima lebih banyak rupiah dari
hasil ekspor minyak. Tapi, yang kini terjadi, dengan turunnya
harga minyak US$ 5 barrel, penerimaan menjadi berkurang Rp 600
milyar. Karena devaluasi rupiah, pembayaran utang luar negeri
tahun ini menjadi Rp 500 milyar lebih tinggi dari jumlah yang
tertera dalam APBN yang sudah disahkan.
Pada akhirnya, pemerintah diperkirakan akan mempunyai sisa Rp
5,2 trilyun untuk peneluaran pembangunan, bukan Rp 6,5 trilyun
seperti dalam APBN semula. Secara riil itu berarti penurunan 16%
dari jumlah tahun lalu, satu hal yang untuk pertama kalinya
terjadi sejak Orde Baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini