Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Musim Dingin Mendekat Siapa Mau...

Panitia monitoring OPEC mengatakan pasaran minyak masih rapuh. Negara-negara anggota memproduksi melebihi kuota. Iran & Meksiko membujuk Jepang. APBN akan bersisa Rp 5,2 trilyun untuk pembangunan. (eb)

1 Oktober 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PASARAN minyak selama kuartal ketiga sekarang ini ternyata cukup bikin kecut organisasi negara-negara eksportir minyak (OPEC). Tadinya diramalkan, dengan mulai pulihnya ekonomi dunia dari resesi, konsumsi minyak dunia akan membaik, sehina produksi minyak OPEC yang dalam kuartal pertama berjumlah 15,5 juta barrel sehari diharapkan naik menjadi sekitar 20 juta barrel sehari pada kuartal keempat tahun ini. Proyeksi itu agaknya sulit dicapai, karena ternyata tambahan permintaan akan minyak hanya datang dari AS. Itu pun masih sekitar tiga persen di bawah konsumsi tahun lalu. Negara industri di luar AS sampai sekarang masih belum menambah konsumsi minyaknya. Nordine Ait Laousinne, direktur International Energy Development Corporation, Jenewa, juga salah satu konsultan OPEC, merasa khawatir terhadap perkembangan ini. Katanya baru-baru ini, "Situasinya bisa lebih buruk, kalau musim dingin mendatang ini akan terasa sedang-sedang saja. Keperluan akan minyak pun akan bisa dipenuhi dari stok. Itu berarti perusahaan minyak akan mengurangi pembelian." Panitia monitoring OPEC, yang pertengahan September rapat di Wina, juga berkesimpulan bahwa pasaran minyak sekarang ini masih "rapuh". OPEC, yang dalam sidangnya di London bulan Februari lalu memutuskan menurunkan harga patokan minyaknya US$ 5 per barrel, sekarang masih bisa mempertahankan produksinya pada tingkat 17,5 juta barrel sehari, sesuai dengan konsensus. Tapi ketua panitia monitoring OPEC, Saeed Mana Al-Otaiba dari Uni Emirat Arab, mensinyalir, beberapa anggota OPEC secara diam-diam telah memproduksi melebihi jatah yang ditetapkan. Sheik Otaiba tidak menyebutkan negara anggota yang melanggar konsensus. Tapi beberapa ahli mencatat, selama ini Iran, Arab Saudi, dan Nigeria telah memompa produksi minyaknya melebihi kuota. Dia memperkirakan produksi OPEC sehari kini mencapai 18 juta barrel 500.000 barrel lebih banyak dari jumlah yang disepakati. Karena pasaran belum mampu menyedot minyak OPEC sebanyak itu, dikhawatirkan bisa berpengaruh terhadap harga minyak. Melemahnya harga minyak itu sudah mulai terasa di pasar tunai (spot): selama tiga minggu ini harga spot mulai turun terus, sesudah naik dalam kuartal kedua. Menteri Pertambangan dan Energi Subroto, seelum bertolak ke Wina, bicara optimistis bahwa pasar akan menelan lebih banyak minyak OPEC. Subroto memang tak menyebutkan apakah kenaikan permintaan minyak di AS itu termasuk dari Indonesia. Tapi, bagi Indonesia, yang perlu diperhatikan adalah pasaran minyaknya di Jepang, pembeli paling besar. Iran dan Meksiko sedang berusaha meningkatkan ekspornya di Jepang, sedang Jepang sendiri diketahui belum bisa menambah konsumsi minyaknya. Untuk menarik Jepang, maka Meksiko sudah memasang pipa di pantai Pasifik agar mempermudah pemuatan minyak, di samping memperbaiki jenis Isthmus, minyak mereka yang berkualitas tinggi. Iran, yang suka melanggar konsensus OPEC, sudah pula menawarkan potongan yang cukup menarik kepada Jepang. Sampai awal tahun ini minyak Indonesia masih merupakan 15% konsumsi minyak Jepang. Tapi pertengahan tahun ini kabarnya posisinya sudah turun menjadi 14%. APBN 1983/1984 yang sudah disahkan DPR masih mendasarkan perhitungan atas harga minyak US$ 34 per barrel, dan produksi 1,3 juta barrel sehari. Sesudah harga minyak resmi turun menjadi US$ 29 per barrel, mengikuti devaluasi rupiah pada Maret lalu, APBN sekarang ini tentunya kurang menggambarkan kenyataan. Tapi sampai sekarang pemerintah belum merevisi perkiraan APBN-nya secara resmi. Mungkin dengan mengevaluasikan rupiah sebanyak 38% terhadap satu dollar AS, pemerintah berharap bisa menambah kekurangannya, dengan menerima lebih banyak rupiah dari hasil ekspor minyak. Tapi, yang kini terjadi, dengan turunnya harga minyak US$ 5 barrel, penerimaan menjadi berkurang Rp 600 milyar. Karena devaluasi rupiah, pembayaran utang luar negeri tahun ini menjadi Rp 500 milyar lebih tinggi dari jumlah yang tertera dalam APBN yang sudah disahkan. Pada akhirnya, pemerintah diperkirakan akan mempunyai sisa Rp 5,2 trilyun untuk peneluaran pembangunan, bukan Rp 6,5 trilyun seperti dalam APBN semula. Secara riil itu berarti penurunan 16% dari jumlah tahun lalu, satu hal yang untuk pertama kalinya terjadi sejak Orde Baru.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus