Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Perkumpulan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras (Perpadi) Sutarto Alimoeso mengatakan penggilingan padi keberatan dengan harga pembelian pemerintah untuk beras yang tetap dipatok Rp 12 ribu per kilogram. Padahal, HPP gabah telah naik dari Rp 6 ribu menjadi Rp 6.500 per kilogram.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Presiden Prabowo mengatakan petani harus untung, pengusaha harus untung. Tidak boleh ada yang buntung,” ujar Sutarto dalam diskusi bertema 'Investasi Pemerintah untuk Cadangan Beras' di Attap Jakarta, pada Jumat 21 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan HPP gabah Rp 6.500 per kilogram, Sutarto mengatakan, petani kini telah untung. Tapi penggilingan padi, menurut dia, masih berjuang agar mendapatkan harga yang layak. Selama ini, Perum Bulog menebus beras dari penggilingan padi seharga Rp 12 ribu per kilogram.
Eks Direktur Utama Bulog ini mengatakan penggilingan padi keberatan dengan harga yang dipatok pemerintah ini. Terlebih pada musim penghujan, rendemen beras rata-rata hanya 50 persen. Beras yang dihasilkan penggilingan padi sulit ditebus dengan harga ini.
Sutarto telah melaporkan keluhan ini kepada Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan, Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi, Menteri Pertanian Amran Sulaiman, hingga Presiden Prabowo Subianto. Tapi belum mendapatkan jawaban.
“Pak Presiden malah mengatakan, oke nanti kita bicarakan lagi Pak Tarto. Nanti Pak Tarto saya undang ke Istana. Tapi belum diundang. Kami masih menunggu,” ujar dia mengutip Prabowo.
Penggilingan padi, kata dia, siap dan senang menjadi captive market dari pemerintah, terutama penggilingan-penggilingan padi kecil yang jumlahnya mencapai 161 ribu. Pasalnya, mereka selama ini mengalami kesulitan dalam mengakses modal, pasar, dan gabah.
Akses modal susah didapatkan penggilingan padi kecil, ujar dia, karena bank selalu menganggap risiko meminjamkan uang kepada mereka besar. Padahal, menurut dia, tidak demikian. Yang berisiko besar justru penggilingan padi besar karena kapasitas produksinya yang juga besar.
"Kalau penggilingan padi kecil yang datang ke bank, itu baru sampai di pintunya sudah ditolak. Tapi kalau yang gede, didatangin,” ujar dia.
Selain itu, kata dia, penggilingan padi kecil pasti memperoleh bunga yang lebih tinggi dibandingkan penggilinhan padi besar. Bahkan bank-bank Himbara, menurut dia, juga memberikan bunga yang tinggi kepada mereka.
Ia berharap, pemerintah dapat meringankan beban penggilingan padi. Ia pun menyatakan pemerintah tak perlu meragukan komitmen Perpadi berkontribusi dalam pengadaan cadangan beras. Ia melaporkan sejauh ini, anggotanya telah menyetor beras ke Bulog sekitar 400 ribu ton dengan harga Rp 12 ribu per kilogram, baik melalui maklon maupun beras. “Meskipun megap-megap,” ujar dia.