Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TOPI berpuluh jenis tak bisa menutup pening di kepala Sumita Tobing. Sejak duduk di kursi Direktur Utama Televisi Republik Indonesia (TVRI), Juni 2001 silam, wanita energetik ini selalu dirundung masalah. Belum lagi konfliknya dengan anggota dewan direksi lain beres, kini meletup problem baru yang lebih gawat. Stasiun pelat merah yang dipimpinnya terancam mati lemas dicekik problem anggaran. Sejumlah stasiun daerah malah sudah lebih dulu tak berkutik.
TVRI Aceh, Lampung, Bengkulu, dan Kalimantan Tengah, sudah berhenti siaran sejak Oktober tahun lalu. Ini yang menggunakan solar untuk menjalankan pemancarnya. Yang memakai listrik, seperti Medan, Semarang, dan Padang, juga telah menimbun utang di PLN. Mereka pun telah menyalakan lampu kuning tanda segera bangkrut. Stasiun Medan bahkan telah mengumumkan, jika Jakarta tak segera mengucurkan dana, per 1 April nanti mereka tak punya pilihan selain menyetop siaran.
"Memang ada beban berat di pundak. Hampir tiap hari saya harus menampung keluhan pimpinan TVRI daerah yang terancam tutup," kata Sumita.
Kisruh ini bersumber dari tak menentunya status TVRI, yang ujung-ujungnya lalu menggeret soal pendanaan. Dalam APBN 2003, pos dana operasional dicoret. Penyebabnya, telah keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 2002 tentang pengalihan bentuk TVRI dari semula berupa perusahaan jawatan (perjan) menjadi perseroan. Pemerintah beralasan, karena perubahan status itu, sejak 17 April 2002 TVRI tak perlu disubsidi kas negara lagi.
Celaka buat TVRI. Masa transisi dari perjan ke persero tak berlangsung mulus. Di satu sisi ia dipandang telah berstatus persero, tapi secara operasional ia masih harus mengacu pada PP No. 36/2000. Beleid ini yang menyatakan TVRI adalah salah satu perusahaan negara berbentuk perjan, dan karenanya wajib dihidupi anggaran pemerintah.
Mendadak disetop, sontak TVRI kelojotan. Kasnya bolong besar. Tahun sebelumnya, pemerintah masih mengalokasikan anggaran sekitar Rp 157,87 miliar—termasuk buat gaji karyawannya sebanyak 5.635 orang. Disuntik begini saja anggaran TVRI masih kembang-kempis. Soalnya, hanya untuk keperluan operasional siaran, TVRI memerlukan dana Rp 894,25 miliar setahun. Belum termasuk biaya perawatan dan penggantian peralatan teknik. Total jenderal, kebutuhan anggaran TVRI setahun mencapai Rp 1,2 triliun. Padahal, penerimaannya cuma seperlima dari itu, Rp 235,21 miliar.
Untunglah, gaji karyawan untuk setahun ini sudah aman. Karena masih berstatus pegawai negeri, gaji mereka akan diambil dari pos "eks karyawan perjan TVRI" yang telah dialokasikan dalam APBN 2003.
Memang ada piutang yang bisa dipakai menambal kebutuhan. Tapi, sialnya, selama ini juga sulit ditagih. Apalagi, sejak Oktober 2001 perjanjian (yang amat aneh) dengan kelima TV swasta (RCTI, SCTV, TPI, ANTV, Indosiar), untuk membagi 12,5 persen dari pendapatan iklannya kepada TVRI, telah diakhiri. Hingga kini totalnya mencapai sekitar Rp 200 miliar.
Menurut Deputi Menteri Negara BUMN, Roes Aryawijaya, mati surinya TVRI tak terkait dengan perubahan bentuk badan usahanya. Akhir tahun lalu, katanya, telah ada sidang pleno tim yang membahas pergeseran status tersebut. Rapat sudah menetapkan TVRI akan mendapat anggaran sebagai perjan hanya sampai 31 Desember 2002. Harusnya ketika itu direksi sigap mempersiapkan masa transisi ini dan mengajukan rancangan keuangan ke Dirjen Anggaran Departemen Keuangan. "Ini salah mereka karena tidak pernah mengajukannya," kata Roes.
Namun Sumita balik menuduh Roes-lah yang lempar batu sembunyi tangan. Menurut dia, segala persiapan disetop karena itulah yang diperintahkan Kementerian BUMN. "Masa, kementeriannya yang malas kok saya yang disalahkan," katanya. Sumita yakin, penyelesaiannya sangatlah sederhana: Menteri BUMN segera mengesahkan akta TVRI sebagai persero dan menetapkan jajaran direksi.
Jadi, kapan TVRI akan resmi berganti kulit? Roes menyatakan belum dapat memastikan kapan persisnya penyusunan akta perseroan bakal dirampungkan. "Kami masih menunggu nama-nama calon direksi dan komisaris TVRI untuk menggantikan pengurus lama," katanya.
Roes sendiri tak yakin TVRI akan mengalami krisis keuangan dengan perubahan status ini. Menurut perhitungannya, kas TVRI masih bisa ditutup pemasukan iklan. Stasiun daerah pun bisa menjalin kerja sama dengan pemerintah setempat.
Sumita terang tak sependapat. Jika dibiarkan terus berlarut-larut begini, ia yakin stasiun daerah akan tutup semua. Yang bisa bertahan paling-paling cuma TVRI Jakarta, karena punya pendapatan iklan Rp 5 miliar lebih sebulan. Ini pun sejatinya hanya cukup untuk menutup ongkos operasional siaran yang sederhana. Advertensi belum bisa diharapkan jadi sumber kehidupan TVRI daerah. Dari laporan keuangan per Oktober 2002, stasiun lokal seperti Ambon, NTB, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah tak mampu meraup pendapatan iklan sepeser pun.
Jadi, salah-salah 300-an pemancar TVRI di seantero Nusantara segera jadi besi loak.
Rommy Fibri, Setri Yasra
Proses Berganti Kulit
6 Juni 2000
Peraturan Pemerintah (PP) No. 36/2000: TVRI berubah status dari direktorat/yayasan di bawah Departemen Penerangan menjadi perusahaan jawatan (perjan). Karyawan berstatus pegawai negeri sipil Departemen Keuangan yang dipekerjakan di Perjan TVRI.
Juni 2001
Sumita Tobing dilantik menjadi Direktur Utama TVRI, bersama empat direktur lain: Sutrimo, Badaruddin Achmad, Ahmad Adiwijaya, dan Barita Effendi Siregar.
Oktober 2001
TVRI mengakhiri perjanjian dengan kelima TV swasta (RCTI, SCTV, TPI, ANTV, Indosiar) untuk membayarkan 12,5 persen pendapatan iklannya kepada TVRI. Menurut Sumita, hingga kini TVRI masih mempunyai piutang Rp 200 miliar kepada kelima TV swasta tersebut akibat utang di tahun-tahun sebelumnya.
17 April 2002
PP No. 9/2002: pengalihan bentuk Perjan TVRI menjadi perusahaan perseroan. Di peraturan disebutkan penyelesaian pendiriannya dilakukan Menteri Negara BUMN.
Mei-Juni 2002
Tim interdepartemen bersama TVRI mempersiapkan rencana korporat dan bisnis, standar prosedur operasional, dan peraturan perusahaan.
September 2002
Pernyataan Sekretaris Kementerian BUMN Bacelius Ruru: peraturan perusahaan dan seluruh kelengkapannya agar diselesaikan oleh direksi perseroan yang bakal terpilih. Seluruh persiapan persero dihentikan.
21 Oktober 2002
Deputi Menteri BUMN Roes Aryawijaya minta direksi TVRI menyampaikan rencana keuangan dan anggaran perusahaan (RKAP) 2003 untuk diusulkan dalam APBN. Sumita menjawab: karena Menteri BUMN belum menunjuk Direksi PT TVRI, RKAP belum bisa disusun.
November 2002
- Surat Sumita ke Dirjen Anggaran Departemen Keuangan: pengajuan belanja pegawai Perjan TVRI 2003 sebesar Rp 67,3 miliar.
- Surat Sumita ke Menteri BUMN: mengingatkan bila sampai tahun 2003 perseroan belum berdiri, TVRI daerah terancam tutup.
2 Desember 2002
Surat Sumita ke Menteri Keuangan dan BUMN: permohonan dana operasional dari APBN 2003 sebesar Rp 157,873 miliar.
Januari 2003
- Surat Dirjen Anggaran Anshari Ritonga, 24 Januari: gaji dan tunjangan beras pegawai TVRI hanya akan ditalangi hingga Maret 2003.
- Sumita membuat surat edaran ke semua TVRI daerah agar berutang untuk menutup biaya operasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo