Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Ranting-Ranting Lapuk

9 Maret 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JURU kamera itu duduk termenung di ruang penyuntingan gambar. Di sudut, tiga alat editing merek Betacam teronggok diam. Tak ada pekerjaan baginya hari itu. Sebagian rekannya juga tak lagi datang ke kantor. Sejak pekan lalu, akibat krisis pembiayaan, Manajer TVRI Medan telah merumahkan separuh teman-teman sekerjanya.

"Syukur kalau masih ada order dari luar," ujar Irwansyah, sang juru kamera. Kini, untuk membuat dapur mereka tetap mengepul, para kru televisi itu—khususnya tenaga honorer seperti Irwan—harus berdwifungsi jadi tukang rekam perhelatan sebangsa pesta perkawinan atau khitanan. Kalau lagi mujur, mereka diminta membuat klip iklan tentang berbagai program pemerintah setempat.

Begitulah cara sebagian pegawai TVRI Medan kini bertahan di tengah krisis. Stasiun televisi tertua di luar Pulau Jawa itu tengah mengalami senjakala. Sudah terlihat tanda-tandanya sejak Juli tahun lalu, TVRI Medan akhirnya angkat tangan, tak sanggup lagi menanggung beban biaya operasional Rp 9 miliar setahun—termasuk di dalamnya Rp 5 miliar untuk biaya produksi.

Nazief, Manajer TVRI Medan, mengaku terpaksa mengambil keputusan pahit itu untuk sekadar menyambung napas. Dia menggilir kerja karyawannya untuk mengurangi biaya uang makan dan lembur. Selain itu, ia terpaksa mengurangi jam siaran. Acaranya kini praktis hanya mengandalkan siaran TVRI Pusat. Program lokal dipotong jadi satu setengah jam saja. Jam tayang pun dipangkas, cukup dari petang sampai tengah malam. "Dulu kita sanggup siaran 20 jam, tapi sekarang 8 jam saja berat," ujarnya.

Karena 15 tiang pemancar tak lagi berfungsi, daya jangkau siaran mereka juga menciut. Sebelumnya, dengan 22 pemancar transmisi, TVRI Medan mampu merambah sudut terpencil di Sumatera Utara. Siarannya ditangkap jelas sampai di Tarutung, Tapanuli Utara, sekitar 400 kilometer dari Medan, bahkan menembus ke Lhokseumawe, Aceh Utara. Jika dana tak turun juga, semua harus stop beroperasi. Paling yang mengudara hanya pemancar Medan.

Penutupan itu, kata Nazief, dilakukannya dengan berat hati. Soalnya, di pedesaan masih banyak warga yang menikmati acara lokal mereka. Mimbar Rakyat adalah salah satunya. Program perbincangan tentang politik daerah yang disajikan secara kritis itu selalu ditunggu-tunggu warga pedesaan di Tarutung. "Daerah itu belum tersentuh siaran televisi swasta nasional," Nazief menambahkan.

Situasi darurat mulai terasa sejak Januari lalu. Dana dari anggaran belanja negara belum juga mengucur, menyusul kericuhan antardireksi di kantor pusat di Jakarta. Sampai 14 Februari lalu, saldo kas TVRI Medan tinggal Rp 600 juta. "Itu hanya cukup sampai Maret," kata Nazief. Kalau dana dari pusat tak juga mengucur, selanjutnya dia terpaksa memecat 62 orang tenaga honor.

Di Pulau Jawa, nasib TVRI daerah tak jauh berbeda. TVRI Semarang, misalnya. Kalau biaya tak bisa lagi ditutup, mereka akan berhenti siaran awal April nanti. Karyawan honorer juga waswas karena belum ada dana buat membayar gaji mereka bulan ini. "Belum lagi biaya perawatan alat-alat yang sudah tua," ujar Effendi Anwar, Manajer TVRI Semarang.

Karyawan TVRI Semarang 375 orang, 60 di antaranya tenaga kontrak. Setiap bulan harus tersedia dana Rp 100 juta buat mengupah golongan yang terakhir ini, uang makan, plus kesejahteraan karyawan. Di luar itu, dana produksi saja menyedot sekitar Rp 250 juta per bulan, untuk siaran sekitar lima jam sehari.

Agar bertahan hidup, TVRI Semarang terpaksa menjual jam tayangnya kepada lembaga pemerintah daerah yang butuh promosi. Salah satunya adalah dengan menayangkan pidato pertanggungjawaban gubernur atau melalui mata acara dialog Lesehan Simpanglima, yang acap jadi iklan politik pemerintah daerah. "Gubernur bayar Rp 7,5 juta sekali tampil," Effendi mengaku.

Di mata dia, kondisi televisi milik negara ini sudah lampu merah. Stasiun daerah, kata Effendi bertamsil, adalah ranting dan akar TVRI pusat. Sekarang, ranting dan akar itu mulai melapuk dan patah satu per satu. Kalau begini terus, ia khawatir jangan-jangan pokoknya pun segera menyusul roboh.

Nezar Patria, Bambang Soed (Medan), Ecep S. Yasa (Semarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum