Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Prabowo Subianto menargetkan pertumbuhan ekonomi 8 persen setahun.
Surplus perdagangan terus merosot dan devisa kian tergerus.
Pemerintah rentan terjebak kebijakan yang keliru.
PRESIDEN terpilih Prabowo Subianto punya ambisi besar: ekonomi Indonesia tumbuh 8 persen dalam setahun, bahkan lebih tinggi. Berbicara dalam Qatar Economic Forum dua pekan lalu, Prabowo menegaskan bahwa ia mampu mewujudkan target pertumbuhan ekonomi itu dalam dua-tiga tahun ke depan. Namun, jika melihat berbagai data ekonomi mutakhir yang baru terbit menjelang libur panjang pekan lalu, Prabowo perlu menghitung ulang target ambisius itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sinyal pertama bahwa target Prabowo terlalu tinggi datang dari Kementerian Keuangan yang tengah menyiapkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2025. Salah satu asumsi dasar penyusunan RAPBN itu adalah pertumbuhan ekonomi 2025 sebesar 5,1-5,5 persen, amat jauh dari target 8 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Memang, ini baru target tahun depan. Masih ada waktu satu-dua tahun lagi buat Prabowo Subianto untuk mewujudkan keinginannya. Namun itu juga berarti, dalam periode dua tahun tersebut, pemerintahan Prabowo harus mampu membuat kinerja ekonomi Indonesia melonjak dengan amat signifikan.
Ini sungguh amat sulit kalau tak mau disebut mustahil. Sebab, berbagai data justru menunjukkan kecenderungan sebaliknya. Jangankan melompat kinerjanya, ekonomi Indonesia dalam satu-dua tahun ke depan justru bisa makin tertekan berbagai persoalan yang berisiko menurunkan potensi pertumbuhan.
Sebagai contoh, kita perlu melihat tren negatif yang sudah tecermin pada statistik perdagangan. Selama empat bulan pertama 2024, angka surplus perdagangan Indonesia merosot amat tajam jika dibanding empat bulan pertama 2023, US$ 10,96 miliar versus US$ 16 miliar. Ada penurunan tajam sebesar 32 persen.
Surplus perdagangan (penghasilan dari ekspor dikurangi pengeluaran untuk impor) merupakan komponen penting pertumbuhan ekonomi. Bagaimana ekonomi bisa tumbuh pesat jika salah satu faktor pendukungnya justru merosot?
Melihat perkembangan geopolitik dan ekonomi dunia, tingkat surplus perdagangan kita bahkan terancam melorot lebih dalam. Cina dan Amerika Serikat, dua pasar tujuan ekspor Indonesia yang amat penting, kini malah terlibat perang dagang yang makin sengit. Kedua negara adikuasa ekonomi itu sama-sama menerapkan tarif bea masuk tinggi yang bisa menghambat perdagangan kedua negara. Pada gilirannya, jumlah permintaan akan berbagai komoditas, termasuk yang berasal dari Indonesia, ikut menurun.
Jumlah dana investasi asing yang masuk pun cenderung merosot. Padahal ini juga salah satu komponen penting pertumbuhan ekonomi. Neraca pembayaran Indonesia per kuartal I 2024 menunjukkan dana investasi langsung atau investasi di sektor riil yang masuk ke Indonesia turun tipis menjadi US$ 4,35 miliar dari US$ 4,38 miliar pada kuartal I 2023. Sedangkan dana investasi portofolio asing di pasar keuangan merosot amat tajam menjadi minus US$ 1,79 miliar, dibanding positif US$ 3 miliar pada kuartal I 2023.
Yang terakhir ini merupakan tren yang amat mengkhawatirkan. Jika keluarnya dana investasi portofolio milik asing terus berlangsung, dampak negatifnya merambat ke mana-mana. Pasar keuangan Indonesia menjadi tidak stabil, yang membuat nilai rupiah bergejolak. Bank Indonesia harus melakukan intervensi pasar yang menguras cadangan devisa. Selain itu, BI harus menaikkan bunga yang pada akhirnya justru memperlambat pertumbuhan.
Menciptakan pertumbuhan ekonomi memang bukan perkara gampang. Selalu ada keterbatasan kapasitas yang membuatnya tak mungkin melonjak dengan cepat. Ekonomi tak berlaku seperti tentara, langsung bergerak begitu ada komando jenderal. Banyak faktor pertumbuhan yang bahkan berada di luar kendali pemerintah. Prabowo sebaiknya lebih bersabar dan realistis menetapkan sasaran. Itu bisa menjadi sinyal positif bagi pasar finansial dan investor.
Sebaliknya, mematok target pertumbuhan ekonomi yang tak masuk akal sungguh berbahaya. Pemerintah bisa mengambil kebijakan keliru. Misalnya, terus menambah utang demi mencapai target itu. Ini bisa menjadi jebakan berbahaya yang tercipta karena ambisi terlalu tinggi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Bahaya Ambisi Target Pertumbuhan Ekonomi Prabowo"