Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"SAYA puas karena saya tahu saya bisa berjalan tegak dan tidak menghamba pada satu manusia pun. Saya tidak sendiri di jalan ini. Banyak wartawan yang berjalan bersama saya: sebagian besar dari mereka meninggal, dipenjarakan tanpa proses peradilan, atau hidup di pengasingan.”
Begitulah kutipan tulisan Lasantha Wikramatunga, Pemimpin Redaksi The Sunday Leader, dalam editorial ”And Then They Came for Me” yang terbit pada 11 Januari 2009. Tiga hari sebelum editorial itu diterbitkan, si penulis meninggal, dibunuh dengan senjata api di dekat rumahnya, di Kolombo selatan, oleh pengendara sepeda motor yang hingga kini identitasnya masih misterius. Editorial itu pun bak obituari diri.
Pada peringatan Hari Kebebasan Pers Dunia, 3 Mei ini, Badan Perserikatan BangsaBangsa untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Budaya (UNESCO) di Paris menganugerahkan World Press Freedom Prize ke13 kepada Lasantha. Penghargaan yang diberikan sejak 1997 itu memang untuk orang atau organisasi nonpemerintah yang berjuang menegakkan kebebasan pers serta kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Tentu saja, Lasantha tak bisa menerima penghargaan itu, yang diserahkan di Doha, Qatar. Istrinya, yang juga wartawan The Sunday Leader, Sonali Samarasinghe, juga tak datang karena mendapat teror yang mengancam jiwanya. Namun, dari jauh, rekanrekannya di The Sunday Leader dan wartawan di Sri Lanka yang independen menyatakan bertekad mempertahankan semangat dan kegigihan Lasantha dalam menulis berita yang menyuarakan kebenaran dan keadilan. ”Apa yang menimpa Lasantha adalah kesewenangwenangan,” kata Paikiasothy Saravanamuttu, Direktur Eksekutif Centre for Policy Alternatives, kelompok riset yang berbasis di Kolombo.
Memang, seperti diungkap Lasantha dalam tulisan terakhirnya, lakilaki 52 tahun itu sadar benar profesinya memiliki risiko besar yang bisa berakhir pada kematian. Bukan sekali itu saja dia diserang. Pada November 2007, kantor percetakannya juga dirusak.
Apalagi media yang dia pimpin telah menempatkan diri sebagai media independen dan mengkritik pihak mana pun yang melakukan kesewenangan, korupsi, penindasan, dan ketidakadilan. Ditambah situasi perang saudara selama 25 tahun antara mayoritas Sinhala dan minoritas Tamil, yang diwarnai dengan pertempuran bersenjata antara tentara pemerintah dan Macan Tamil, posisi koran ini makin sulit saja. Sebab, media ini tidak mempedulikan sensor pemerintah. Informasi apa pun, asalkan itu benar dan layak berita, pasti diberitakan. The Sunday Leader pun pernah dibredel pemerintah pada 2000. ”Bila akhirnya saya terbunuh, pastilah pemerintah yang membunuh saya,” demikian dia pernah menulis.
Seperti moto media ini, ”Unbowed and Unafraid”, tidak tunduk dan tidak takut, The Sunday Leader berkalikali harus berbenturan dengan penguasa yang korup. Menteri Pertahanan Gothabhaya Rajapaksa, yang juga saudara Presiden Mahinda Rajapaksa, menuntut The Sunday Leader karena pencemaran nama baik.
”Saya sudah terjun ke dunia jurnalisme dalam waktu lama. Dalam masa itu, saya juga bisa melihat Sri Lanka berubah, terutama ke arah yang lebih buruk,” tulis Lasantha. Pesan itu terutama dia tujukan kepada Mahinda.
Dalam editorial itu, Lasantha menyebutkan pernah berteman dekat dengan Mahinda. Bahkan, pada suatu masa, dia tahu benar, temannya itu adalah orang yang berani memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Ketika Mahinda terpilih menjadi presiden pada November 2005, Lasantha sempat menulis editorial yang optimistis. Namun, menurut Lasantha, Mahinda berubah menjadi kejam dan korup, seperti penguasa lainnya. ”Saya merasa kasihan kepadamu,” tulisnya, ditujukan kepada Mahinda. Teman seide dan seperjuangannya telah berubah 180 derajat. Maka Lasantha bilang: and then they came for me.
Bina Bektiati (Time, The Sunday Leader, BBC, The Economist)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo