Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Genit

4 Mei 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Eko Endarmoko
Penyusun Tesaurus Bahasa Indonesia, bergiat di Komunitas Salihara

MEMILIH kata di dalam berbahasa pada prakteknya sering tidak mudah. Akan selalu terasakan sebuah kata kurang persis mewakili sesuatu maksud. Namun juga, akan selalu ada godaan bergenit-genit, memamerkan berbagai model gaya. Ini paling gampang kita lihat di dalam penggunaan kata. Ada penulis yang gampang tergoda lebih mengutamakan efek—entah kemerduan bunyi, entah kesan intelektual, atau entah cuma ingin beda sendiri—daripada keperluan menyampaikan pengertian yang terang, dan ini biasanya diusahakan antara lain lewat pemakaian kata-kata yang pelik—mungkin bentuk arkais, mungkin dicomot dari bahasa asing, atau mungkin pula yang terkesan dibuat-buat, seperti: ”dicermatmaknai”, ”berjumpa-kenal”.

Mementingkan efek ketimbang keperluan menyampaikan pengertian yang terang itu dilakukan mungkin demi memikat pembaca, satu hal yang, jika dikerjakan tidak dengan hati-hati, dapat mengakibatkan pesan menjadi kabur. Sebaliknya, apabila seorang penulis mampu menggarap dengan tepat dan tekun terus-menerus, ini boleh jadi justru dapat melahirkan idiosinkrasi, gaya dia seorang. Tapi bayangkan ada seorang penyair yang berkilah bahwa ia, secara sadar dan sengaja, sedang bereksperimen mendobrak kaidah tata bahasa dalam puisi-puisinya. Padahal, ada bagian yang memperlihatkan bahwa ia tidak memahami benar perbedaan cara menuliskan ”keluar” dan ”ke luar”.

Entah apa gerangan yang mendorong para penulis bergenit-genit, tapi tidak ia mengerti kaidah bahasa yang mendasar seperti itu, atau sekurang-kurangnya menampakkan sikap abai.

Itukah yang disebut licentia poetica? Boleh jadi soal ini tidak asing lagi, atau jangan-jangan malah sudah cukup sering ”mengganggu”, dalam dunia tulis-menulis. Konsep penting demi kreativitas dalam dunia tulis-menulis yang diperkenalkan filsuf Romawi kelahiran Kordoba, Lucius Annaeus Seneca ini di negeri kita beberapa waktu belakangan tampaknya malah menjadi tempat banyak penulis bersembunyi dan mencari suaka. Mungkin inilah salah satu pokok soal yang paling membuat pening kalangan penyunting. Konsep tersebut seolah telah menjelma hukum yang tampaknya cenderung lebih memihak dan memanjakan penulis.

Licentia poetica adalah semacam lisensi, izin, tak tertulis yang dikantongi penyair untuk menyimpangi kaidah bahasa demi mencapai efek tertentu yang dia inginkan. Kemudian, entah bagaimana keleluasaan ini seolah-olah dianggap menjadi milik sastrawan pada umumnya, bukan hanya yang menulis puisi. Inilah kuasa sastrawan menabrak rambu-rambu bahasa demi pengungkapan nilai-nilai artistik yang, dengan demikian, dipandang lebih penting dari aturan bahasa. Apakah ”efek” atau ”nilai-nilai artistik” ini kalau bukan sebuah kualitas atau sifat, sebentuk kesan, yang terasakan oleh pembaca? Maka yang jadi soal sebenarnya bukan ”bagaimana membuat”, tapi ”bagaimana menyampaikan” efek, nilai artistik, atau kesan itu kepada pembaca. Maka laku melanggar bukanlah sebuah tujuan, melainkan sarana belaka. Jalan berpikir ini mengantarkan kepada kita kesimpulan bahwa kebebasan dalam licentia poetica bukan terutama dimaksudkan untuk membuat (baca: mencari-cari) efek alias bergenit-genit, melainkan lebih menyerupai alat bantu bagi penulis guna menerabas kebuntuan—dalam keadaan darurat.

Lisensi ini sebetulnya bekerja dengan sejumlah asumsi: pertama, mereka yang melaksanakannya sungguh-sungguh terdorong oleh keperluan menyatakan satu hal, tapi ia merasa terhambat oleh daya ungkap bahasa. Ini mengisyaratkan bahwa penyimpangan kebahasaan olehnya tadi adalah, katakanlah, suatu tindakan darurat, setelah ia habis-habisan menjelajahi pelbagai kemungkinan yang tersedia dalam bahasa Indonesia. Dan ini mengantarkan asumsi kedua, bahwa mereka yang mempraktekkannya tahu, sadar akan apa yang ia langgar. Artinya, sebenarnyalah si pelanggar mafhum akan hukum atau kaidah bahasa yang berlaku.

Pertanyaannya kemudian, bisakah seseorang melanggar aturan bahasa, demi licentia poetica, padahal, seperti sudah disinggung di atas, ia tidak tahu perbedaan cara menuliskan ”ke luar” dan ”keluar” dalam kalimat? Tidak tahu perbedaan kata depan dan awalan? Tidak tahu kaidah bahasa Indonesia yang sangat mendasar, elementer, dan mungkin sekali itu sebabnya ia bersembunyi di sana, di balik ”mantra” licentia poetica?

Melanggar aturan bahasa demi licentia poetica adalah satu hal, sedangkan buta kaidah bahasa Indonesia adalah hal lain. Dua soal itu saya kira tidak dapat diperbaurkan. Bagi saya, kepatuhan pada kaidah dalam berbahasa menunjukkan bukan sebuah sikap taat, tunduk, melainkan wujud sebentuk rasa hormat kepada, dan rasa bangga terhadap, norma, yaitu norma-norma bahasa Indonesia, yang memang sudah sepatutnya kita junjung bersama.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus