PENGHARGAAN ternyata tidak selalu untuk keunggulan. Karena sudah
tua, misalnya, bisa dihargai juga. Setidaknya itu dialami oleh
18 koran yang sudah berusia 30 tahun. Menteri Penerangan Ali
Moertopo menyediakan piagam penghargaan untuk mereka dan
menyerahkannya ketika HUT ke-34 PWI diperingati 9 Februari di
Semarang. Berikut ini diperkenalkan beberapa di antara yang tua
tadi:
Pewarta Surabaya. Koran ini yang didirikan 28 April 1905 oleh
The Kian Sing melayani masyarakat Cina. Lama sebelum ejaan baru,
namanya tertulis Pewarta Soerabaia. Di aman Jepang, penerbitnya
ditawan dan percetakannya disita. Seusai Perang Pasifik, ia
bangkit lagi dan pernah unggul di Jawa Timur.
Santosa Teja -- generasi III yang melanjutkan koran keluarga The
itu -- dalam suatu interpiu TEMPO mengingat kembali bahwa PS
paling disukai kaum pemasang iklan pada awal 1960-an, ketika
Surabaya Post, yang kini jaya, "masih ingusan" dengan ukuran
tabloid. Justru karena memuat iklan sampai melebihi 50% dari 4
halaman harian itu, PS sempat dibreidel sebentar oleh penguasa
setempat tahun 1964. Ia sering mengalami intimidasi golongan
PKI, tapi masih bisa bertahan.
Tahun 1970-an, PS mulai kehilangan golongan pembaca
tradisionalnya, antara lain karena ada perubahan dalam
pimpinannya. Pengaruh keluarga The tersingkir. Kemudian oplah
dan penghasilan iklannya jadi menurun. Dan SIT-nya berpindah
tangan. Ricuh di dalam manajemennya. Sejak akhir 1978, P.S
berhenti terbit. Toh piagam masih diperolehnya. Masih ada
kemungkinan terbit lagi?
Waspada. Mohammad Said, wartawan sejak aman kolonial di Medan,
mendirikan koran ini 11 Januari 1947. Medan waktu itu di bawah
pendudukan Belanda, sedang koran ini menegakkan suara kaum
Republik, yang berakibat ia dibreidel beberapa kali. Pernah
pembreidelan terhadap Waspada menjadi pembicaraan di Tweede
Kaner, parlemen negeri Belanda.
Menjelang peristiwa G-30-S/PKI, koran ini sempat diganyang
karena dituduh antek BPS (Badan Pendukung Sukarnoisme). Ia
bangkit kembali dengan kedatangan Orde Baru. Dengan cetakan
offset, kini oplahnya mencapai 30.000 -- terbilang besar buat
Medan.
Mohammad Said sudah sejak 5 tahun lalu menyerahkan pimpinan
Waspada pada istrinya, Ani Idrus. Orang tua itu kini melanjutkan
kegemarannya menulis buku. Suami-istri itu, yang tadinya
berbahagia membangun koran, tahun lalu berpisah.
Kini Ani Idrus dibantu oleh anak-anaknya meneruskan Waspada,
yang kelihatan stabil. Namun pertumbuhannya lamban.
Suara Merdeka. Usaha suami-istri juga dijumpai dalam koran ini
yang terbit di Semarang. Hetami, sang suami mendirikannya 11
Februari 1950. Kehadirannya membuat sejumlah koran lain gulung
tikar.
Keluarga Hetami beruntung mendapat bantuan Soewarno, orang luar
yang setia dan kini menjadi "motor" di koran itu. Terakhir
oplahnya mencapai 80.000 -- cukup besar di ibukota Jawa Tengah
itu.
Penanggung jawab Soewarno membanggakan bahwa Suara Merdeka
umumnya dibaca oleh mereka yang berpendidikan menengah ke atas.
Belum ada rencananya untuk mengarahkan penyajiannya supaya jadi
"koran masuk desa" karena, kata Soewarno lagi, orang suratkabar
ibarat pedagang yang harus mengetahui apa yang laku.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini