STATUS Institut Teknologi Tekstil, Bandung, memang aneh.
Sementara ia dipercaya Dep. P&K menguji mahasiswa perguruan
tinggi tekstil swasta, ijazah mahasiswa ITT sendiri tak
dilegalisasi departemen itu. "Susahnya lagi," kata Ismangun SH,
Pembantu Rektor Bidang Administrasi ITT, "tidak semua orang tahu
bahwa tidak ada bedanya antara ijazah ITT yang tidak
dilegalisasi P&K dengan ijazah perguruan tinggi di bawah Dep.
P&K."
Status itulah yang pekan lalu menjadi pembicaraan ramai dalam
panel diskusi tentang 'Peranan ITT dalam Pembangunan di Masa
Mendatang'.
Sebetulnya keresahan karena mengambangnya status ITT sudah
muncul sejak 1972. Ini terutama dirasakan mahasiswanya. Kata
Syafril, 25 tahun, mahasiswa angkatan 1975: "Belajar kami tidak
tenang, karena status yang belum jelas itu."
ITT berdiri 1922, dengan nama Textil Inrichting Bandoeng. Semula
tujuannya memang hanya mendidik tenaga teknis pertenunan untuk
kepentingan pemerintah (Hindia Belanda). Indonesia merdeka, dan
institut tersebut dikelola Dep. Perindustrian (Tekstil).
Berganti nama beberapa kali, sebelum ditentukan bernama Institut
Teknologi Tekstil dengan SK Menteri Perindustrian Tekstil
Februari 1966.
Entah karena alpa atau memang terbentur peraturan, ternyata ITT
belum dimasukkan secara struktural ke dalam Dep, Perindustrian.
Hampir semua jabatan di ITT adalah jabatan rangkap. Staf
pengajar dan pegawai administrasi (kecuali rektor) tercatat
sebagai karyawan Balai Besar Tekstil, Dep, Perindustrian.
Keluarnya Kepres 34 tahun 1972 dan Inpres 15 tahun 1974 -- yang
menunjuk Dep. P&K sebagai satu-satunya instansi pembina
pendidikan umum dan kejuruan --membuat status ijazah ITT tak
jelas. Kecuali itu, jabatan rektor pun tak sesuai dengan
peraturan pemerintah. Pemimpin institut yang seharusnya 4 tahun
sekali ditetapkan pengangkatannya kembali itu, di ITT merupakan
"jabatan kedinasan" -- yang diangkat oleh Menteri Perindustrian,
kata D, Soenllno M.Sc. Pembantu Rektor Bidang Akademis. Dan
Mayjen (Purnawirawan) Soerjosoejarso, 64 tahun, adalah Rektor
ITT sekarang sejak 1966.
Bab Ijazah
Akibatnya, bagi karyawan ITT, kenaikan pangkat mereka sangat
tergantung pada Dep. Perindustrian -- dan bukannya karir di
ITT-nya sendiri. "Paling tinggi, sampai sekarang ini, pangkat
karyawan di ITT III-D. Untuk mencapai lebih tinggi dari itu,
karena formasi tak ada, sampai pensiun punya tak akan tercapai,"
kata Drs. K. Bangun, Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan.
Sampai tahun ini ITT sudah menghasilkan 100 sarjana tekstil dan
sekitar 1.900 sarjana muda. Hampir semuanya, menurut K. Bangun,
bekerja di perusahaan swasta. "Perusahaan swasta itu yang
meminta tenaga ke sini," katanya. Jadi, apa persoalannya
sehingga ada yang meminta pengesahan ijazah dari Dep. P&K?
Prof. Dr. Setjadi, pejabat Sekretaris Tim Koordinasi Pembinaan
Pendidikan dan Latihan, menafsirkan keresahan ITT sekarang
disebabkan oleh tujuan lulusannya yang tak lagi seperti dulu.
"Dulu, lulusan sudah ditampung perusahaan swasta, sehingga
status ijazah tak begitu menentukan. Tapi rupanya sekarang
banyak yang ingin jadi pegawai negeri," katanya kepada TEMPO
benar.
Tapi rupanya memang ada keinginan yang lain. Ijazah ITT,
misalnya untuk mereka yang hendak melanjutkan ke program doktor,
masih harus dilegalisasi P&K. Demikianlah misalnya dengan ijazah
dua orang sarjana ITT yang sedang mengikuti program doktor di
ITB dan IPB.
Sebuah Kasus
Bagi para pimpinan ITT, ini tentunya merupakan pertanda institut
mereka itu "tidak boleh berkembang" ITT misalnya sampai sekarang
belum punya senat guru besar. Di tahun 1975, satu Tim Konsorsium
Pembina Science & Teknologi Dep. P&K, diketuai Dr. Ir Kho Kian
Hoo, melaporkan bahwa ITT memenuhi standar Dep. P&K. Tapi lalu
mengusulkan agar dalam bidang akademis institut tersebut
dikelola saja oleh salah satu perguruan tinggi SKALU (UI, ITB,
UGM, IPB atau Unair).
Lalu Juli 1977, Menteri P&K dr. Sjarif Thajeb menjanjikan ITT
akan diintegrasikan ke dalam salah satu perguruan tinggi yang
dikelola Dep. P&K. Sebaliknya Ir. Wibowo Moerdoko, Kepala Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Tekstil yang
merangkap Pembantu Rektor ITT, mengarakan susahnya ITT digabung
dengan perguruan tinggi P&K. Katanya, kepada Hasan Syukur dari
TEMPO "Semua tenaga dosen administrasi dan sarana pendidikan
ITT milik Dep. Perindustrian. Anggaran ITT setahun sekitar Rp 1
milyar."
Jadi, menurut dia, itu agaknya akan menjadi beban berat bagi
Dep. P&K. Beberapa waktu lalu, Menteri Daoed Joesoef juga
mengatakan, kalau sampai sekarang masih ada lembaga pendidikan
yang dikelola sendiri oleh masing-masing departemen, "itu
karena, terus terang saja, Dep. P&K belum mampu sepenuhnya
menampung semuanya." Dan sementara itu nasib ITT sendiri,
setidaknya menurut para pimpinannya, terkatung-katung.
Usaha pemecahan bukan tak ada. Januari tahun ini, pihak Pusat
Pendidikan dan Latihan Pegawai Dep. Perindustrian (yang selama
ini mengelola ITT) mengirim surat kepada Tim Koordinasi
Pembinaan Pendidikan dan Latihan Dep. P&K. Isinya berupa saran.
Pertama: agar secara resmi pembinaan fungsional atas unit
pendidikan diletakkan di bawah Dep. P&K. Tetapi pengelolaan
administratif tetap pada Dep. Perindustrian. Adapun teknik
edukatif disarankan pengelolaannya di bawah direktorat jenderal
yang bersangkutan di P&K-atau diintegrasikan ke salah satu
universitas yang ditunjuk Dep. P&K.
Jawaban yang pasti memang belum ada. Menurut Sekretaris Tim
tersebut Prof. Dr. Setijadi, "pihak Ditjen Perguruan Tinggi
ingin menurunkan satu kebijaksanaan yang menyeluruh, bukan hanya
untuk ITT saja." Jadi ini hanya sebuah kasus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini